Mereka berdua bergulat di lantai, Sean langsung mengambil jarum suntik yang berada di dekat kakinya kemudian mengarahkan itu pada Andrew. Andrew perlahan menjauh ketika melihat Sean yang mengambil ahli jarum suntik yang tadi ia maksudkan untuk menyuntik Klara agar tak sakit jika dibedah.
“Ah, Sean. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, lo tahu kan bahwa jarum suntik itu berbahaya? Ayo turunkan jarum suntik itu gue akan dengarkan keluhan lo dan sebisa mungkin membantu lo atau lo mau keluar dari dunia game ini? Boleh kok kita bisa bicarakan,” kata Andrew yang tersenyum kecut sambil masih fokus ke arah jarum suntik yang mengkilat itu.
Berbagai penawaran sudah Andrew lakukan, namun itu semua tidak ada yang menarik di pendengarannya. Walaupun ia ingin sekali keluar dari dunia game itu, tapi tetap saja ia masih tidak akan puas dengan penawaran tersebut.
“Ini obat bius?” tanya Sean yang masih terlihat santai, Andrew mengangguk membenarkan ucapan Sean. Ia senang ketika melihat Sean yang sepertinya sudah mulai melunak.
“Iya dan itu bisa 3 jam ngebiusnya, jadi lebih baik kita bicarakan ini baik-baik aja kan dari pada pake bius-biusan?” ucap Andrew yang berusaha menegoisasi.
Sean mengangguk membenarkan, anggukan kepala Sean membuat Andrew bernapas lega. Ia tahu bahwa Sean bukanlah orang yang emosian seperti Gilang atau pun Darren.
“ARRGHH!” teriak Andrew dengan kencang ketika Sean menusuk jarum suntik itu ke lengan Andrew dengan cepat. Sean memang kalem, namun urusan tusuk-menusuk, tembak-menembak itu adalah keahliannya.
Sean yang dari dulu suka tawuran dan termasuk cowok badboy di sekolah sepertinya berguna dalam keadaan mendesak seperti ini. Beberapa detik kemudian terlihat Andrew yang mulai melemas dan tertidur di lantai dengan jarum suntik yang masih menancap di lengan kirinya.
Saat Sean melihat Andrew yang sudah dalam keadaan tak berdaya, ia langsung menggendong Klara dan membawa gadis itu keluar dari rumah tersebut. Ia melihat tak ada satu pun zombie di luar, kesempatan bagus untuk melarikan diri.
Sean cepat-cepat memasuki Klara di mobil dan membawa Klara ke rumah pohon yang berada cukup jauh dari sana. Sean sengaja memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari rumah pohon tersebut agar ketika Andrew mencari mereka, ia tak mencurigakan rumah pohon tersebut.
“Nah, kita sudah aman. Andrew tak akan bisa menemukan kita di sini, semoga saja yang lainnya cepat kembali menyelamatkan kita,” ucap Sean sambil menggendong Klara di punggungnya, sedikit kesusahan ketika harus memanjat tangga tersebut, namun untung saja Sean bisa menanganinnya.
Perlahan tapi pasti Sean memanjat tangga demi tangga sampai akhirnya mereka berada di atas rumah pohon tersebut. Ia meletakkan Klara dengan pelan kemudian menutup akses masuk ke rumah pohon tersebut. Sean juga menyalakan mode penyamaran agar tak ada satu pun dari zombie maupun orang yang bisa menemukannya di sini, ia juga masih bisa mengintip lewat lubang kecil dibalik beberapa daun.
“Klara, bangun!’ seru Sean pelan sambil menggoyang-goyangkan bahu Klara yang tampak pucat saat ini.
Beberapa menit kemudian akhirnya Klara bangun dengan kepala yang sedikit pusing. Ia melihat sekeliling yang berubah drastis, ia berada di rumah pohon saat ini bukan di rumah Andrew.
“Sean? Kamu pasti yang bawa aku ke sini! Kamu kenapa sih nyebelin banget? Aku udah bilang kalau aku akan baik-baik saja,” kata Klara yang terlihat panik dan berdiri.
“Duduklah, Andrew sedang pingsan dalam waktu 3 jam. Sementara itu jelaskan dulu padaku alasan kamu bertahan sama Andrew? Kalau tidak menyelamatkan kamu mungkin tadi kamu sudah dioperasi oleh Andrew, ia akan membedah kamu.” Sean mengucapkan itu dengan wajah serius.
Mendengar itu Klara terdiam, ia tidak bisa menjelaskan ini pada Sean karena akan sangat sulit dipahami oleh Sean. Klara menunduk sambil memainkan jarinya gugpup.
“Ra, kita ini sahabat kenapa sih kamu sembunyiin ini dari aku? Kamu tahukan bahwa aku bisa menyelamatkan kamu dari kesulitan ini kalau kamu cerita?” tanya Sean dengan lembut, ia tidak tega melihat keadaan Klara yang sekarang karena wajah yang dulu ceria kini tidak ada lagi, yang ada hanya wajah penuh tekanan dan sangat pucat.
“Kita bukan sahabat lagi, mana bisa manusia bersahabat dengan zombie?” ucap Klara pelan dengan wajah yang masih menunduk.
Namun, ucapan Klara masih sempat didengar oleh telinga Sean. Wajah Sean memucat ketika mendengar ucapan gadis yang berada di hadapannya ini, kemudian Sean tertawa keras.
“Apaan? Kamu zombie? Astaga kamu jangan banyakan nonton film begitu, kalau kamu zombie pasti sudah jadi zombie sekarang, tapi kamu gak jadi tuh,” kata Sean yang masih melihat wajah Klara dengan serius.
“Aku memang tidak menjadi zombie setiap saat, tapi aku akan jadi zombie ketika Andrew mengontrolku. Aku bukan lagi Klara, kamu tidak bisa menganggapku sebagai Klara jadi, mulai sekarang menjauhlah dariku, aku akan kembali ke rumah Andrew di mana seharusnya aku berada,” kata Klara dengan air mata yang sudah meluncur dipipinya.
Sean tak menahan kepergian Klara, ia tidak menyangka jika itu adalah alasan Klara berkata bahwa hanya dia manusianya dan ia tidak menyebut dirinya sebagai manusia karena ia sudah menjadi zombie.
Klara tampak balik lagi ke rumah pohon itu kemudian tersenyum untuk terakhir kalinya pada Sean.
“Untuk kali ini jangan membukakan pintu rumah pohon sekali pun aku yang memintanya karena aku tidak tahu kapan aku akan menjadi zombie lagi, tolong kali ini jangan melanggar. Aku sangat mencintaimu, An. Kamu juga harus mencintai dirimu sendiri dengan menjaganya baik-baik dan mendengarkan ucapanku,” kata Klara kemudian turun dari tempat itu dan melangkah pergi.
Sean benar-benar terkejut karena untuk pertama kalinya Klara mengatakan bahwa ia mencintai dirinya setelah sekian lama penantian. Wajah Sean benar-benar tak bisa menyangkal bahwa ia benar-benar sedih karena waktunya tidak tepat.
“Gue udah mendapatkan apa yang ingin gue dengar setelah sekian lama, tapi apa harus ini waktunya?” tanya Sean yang sudah tak bisa menahan tangisnya lagi. Di rumah pohon itu ia benar-benar meratapi nasibnya yang entah kapan akan berakhir menyenangkan.
Sementara itu di dunia nyata mereka berenam tampak memutar otak mengira-ngira siapa yang bisa menangani hal ini karena walaupun zaman sudah maju dan teknologi sudah mumpuni tetap saja dunia game seperti itu belum diketahui sedikit pun.
“Apa kita harus ke dukun untuk menanyai hal ini? Karena gue pikir semua ini gak akan kelar kalau kita ga ke dukun. Cari ahli teknologi mana pun juga tidak akan ada yang bisa jelasin ini semua,” kata Gilang yang membuat yang lainnya bertambah pusing.
“Di dunia ini masih banyak banget orang cerdas gak Cuma Andrew dan Pak Heri doang, pasti ada yang paham mengenai dunia game ini. Kita harus cari dulu,” kata Alefukka yang masih memikirkan siapa kira-kira yang bisa mereka minta tolong.
Sebenarnya mereka ingin mengadakan sayembara, namun hal tersebut tentu saja membuat media massa gempar dan akan lebih runyam ketika Anjani tahu bahwa hanya anaknya yang menjadi korban. Namun, jika mereka tidak mengadakan sayembara sudah pasti akan sangat sulit mencari orang yang bisa mengeluarkan Sean dari dunia game tersebut membuat mereka benar-benar bimbang.