Sean menghembuskan nafasnya pelan mengingat perjuangannya masuk universitas ini tidaklah mudah, untuk beberapa bulan ia vakum dari dunia game untuk mengejar nilainya yang tertinggal akibat dirinya yang terlalu fokus mengembangkan bakatnya itu.
Pemuda berusia dua puluh dua tahun itu sekarang sudah duduk disemester akhir jurusan teknologi game di universitas ternama yang berada di Jakarta. Ia harus membuktikan pada kedua orang tuanya bahwa ia bisa menjadi orang sukses dengan caranya sendiri.
“Bro, lo udah ada bayangan gak bakal gimana gamenya nanti?” tanya Darren yang tiba-tiba muncul di kostan Sean.
Sean yang masih fokus dengan laptopnya pun hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Darren, ini adalah tugas akhir dan mereka harus benar-benar fokus pada kualitas game yang sedang mereka rancang. Kelompok Sean terdiri dari empat orang yaitu, Aleffuka, Gilang, Darren dan Sean sendiri sebagai ketua kelompok seperti biasanya Sean selalu menempati posisi ketua karena dianggap sebagai yang selalu bisa diandalkan.
“Eh serius lo udah tau kita bakal bikin game apa?” tanya Aleffuka dengan heboh sambil berpindah tempat ke meja Sean. Sean lagi-lagi hanya mengangguk masih enggan menjelaskan apapun kepada ketiga temannya.
“Ck, ditanya angguk-angguk mulu kayak mainan di mobil yang angguk-angguk,” celetuk Gilang. Alefukka mencoba memberi kesabaran pada Gilang agar tidak ada emosi diantara mereka.
Setelah sepuluh menit mereka menunggu kabar dari Sean. Pemuda itu pun menutup laptopnya dengan wajah berseri-seri, ia akan membuat game tersebut viral secara nasional bahkan mancanegara sekali pun.
“Udah dapet idenya?” tanya Darren yang sedari tadi menunggu kabar dari Sean begitu pun dengan Alefukka dan Gilang yang tidak sabar dengan game apa yang sudah terpikirkan diotak Sean.
“Kita bakal bikin game dengan konsep survival dan berhubungan dengan zombie-zombie, gue bakal bikin ini senyata mungkin dan ini gue yakin bakal sangat menggemparkan dunia. Kalian tinggal bantu aja yang gue perintahin,” ujar Sean dengan optimis, ia yakin game tersebut akan sangat menantang gamers dunia dan menghebohkan seluruh jagat maya.
Darren dan kedua temannya menepuk dahi mereka masing-masing, bagaimana bisa tema survival dan yang menyangkut zombie akan menjadi sesuatu yang viral?
“Hadeh dari tadi kita nungguin konsep bagus ternyata gitu doang dan lo berharap game ciptaan lo itu bakal jadi sesuatu yang menggemparkan dunia? Omong kosong, game zombie udah banyak kali dan si Bu Marni nantang kita buat satu game yang bisa viral di dunia maya dan diakui secara nasional maupun internasional, gue gak yakin buatan lo akan berhasil,” ujar Gilang dengan wajah kesal.
“Iya gue juga setuju dengan perkataan Gilang. Konsep kayak gitu gak mungkin jadi terkenal dan pasti Bu Marni akan kasih kita nilai jelek, emang lo mau tanggungjawab?” tanya Darren yang mulai kesal dengan Sean pasalnya waktu mereka tidak banyak untuk mengumpulkan tugas itu.
“Sorry, tapi gue setuju sama Darren dan juga Gilang. Game itu terlalu monoton, Sean. Kita butuh yang wow.” Kini giliran Aleffuka yang paling sabar mengemukakan pendapatnya bahkan Aleffuka yang selalu berpihak pada Sean pun kali ini memilih untuk tidak berpihak pada pemuda itu.
Sean mengusap wajahnya kasar, ia tidak tahu harus menjelaskan itu dengan cara apa. Namun, Sean yakin bahwa game ini bukanlah game zombie yang monoton seperti yang teman-temannya katakan.
“Guys, gue ngomong belum selesai loh dan kalian belum tahu sampai gue merintahin kalian untuk bikin itu game. Please jangan ngeraguin kayak gini, gimana kalian tahu kalau belum mulai? Dan waktu kita udah mepet gak bisa mikirin konsep lain selain ini, apa kalian ada ide untuk konsep lainnya?” tanya Sean menatap ketiga temannya itu dengan tajam. Ketiga temannya hanya bisa diam, Sean benar mereka tidak punya pilihan untuk memikirkan konsep lagi apa salahnya jika mereka mengikuti saja konsep Sean yang sudah ada?
“Ck, oke kita ikutin konsep lo, tapi kalau sampai nilai kita anjlok lo harus tanggungjawab,” kata Darren akhirnya, ia berusaha menurunkan ego dengan harapan apapun hasilnya adalah bukan tanggungjawab mereka melainkan tanggungjawab Sean sebagai ketua sekaligus pencetus ide konsep tersebut.
Sean menghela nafasnya kasar kemudian mengangguk cepat. “Gue yang tanggungjawab, kalian tenang aja,” kata Sean yang berusaha mempertaruhkan jiwa dan nama baiknya sebagai mahasiswa terpintar di kampus itu. Bahkan ketika ini gagal pastilah ia harus menanggung malu di kampus itu dan pemuda itu tidak akan memberikan celah untuk orang mencapnya sebagai si gagal.
Darren, Alefukka dan Gilang pun akhirnya setuju untuk bekerja sama dengan Sean kalau anak itu yang menjadi penanggungjawabnya mereka pastilah akan percaya karena Sean tidak akan pernah mencoba hal-hal buruk di kampusnya.
Mereka pun bekerja sama dengan baik, Sean merancang konsepnya sedangkan beberapa temannya menunggu sambil memainkan ponsel hingga mendapatkan tugas dari Sean. Mereka mengerjakan itu dengan sungguh-sungguh dan ingin melihat hasilnya apakah sama seperti yang dikatakan Sean atau malah sebaliknya nilai akhir mereka yang menjadi taruhan.
“Lo yakin si Sean gak bikin nilai kita anjlok?” tanya Darren yang masih tak percaya, Gilang dan Aleffuka hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
“Apa pun hasilnya yang penting kita udah ngelakuin yang terbaik, banyakin zikir makanya,” kata Aleffuka yang sebenarnya sedikit muak dengan Darren yang banyak mengoceh dan membuat orang lain kepikiran.
“Tau lo, bukannya kerjain aja. Kritik terus, mikir gak,” celetuk Gilang yang kesal dengan tingkah Darren, toh Sean sudah berjanji agar mereka tidak mendapatkan nilai tugas akhir yang jelek.
“Ya gue kan cuma bilang! Lo kenapa sih ngotot amat?” tanya Darren yang mulai emosi dengan ucapan Gilang. Tiba-tiba saja suasana kostan Sean berubah menjadi horor, dua orang yang sering bertengkar satu sama lain sekarang dijadikan satu kelompok oleh Bu Marni, dosen yang benar-benar tidak punya pikiran.
“Udah dong! Kalau lo orang berdua cuma mau berantem nanti gue bakal coret nama lo berdua,” ancam Sean sambil memukul mejanya, ia benar-benar hilang konsentrasi karena pertengkaran dua temannya itu.
“Kalian niat kuliah gak sih? Jangan komen terus dong, waktu kita udah mepet!” kata Alefukka dengan wajah memerah menahan emosi. Bagaimana pun Aleffuka yang paling pintar mengendalikan emosinya, ia tidak pernah terpancing amarahnya hanya karena hal-hal sepele, tidak seperti Gilang yang emosian dan cepat meledak-ledak amarahnya.
Darren maupun Gilang terdiam mendengar teguran dari Sean dan Alefukka, dua orang itu kembali duduk dan menatap layar laptopnya lagi. Kali ini kamar kostan Sean hening namun membuat gelisah karena api amarah diantara Darren dan Gilang belum padam.