Chapter 25

1595 Kata
"Pace, sudah tidak ada hujan lagi nih, kita tidak pelgi belbulu kah?" tanya Amir ke arah Pace. Pace melirik ke arah Amir, mereka sedang berada di dalam rumah sedang menikmati makan siang sederhana. "Anak, untuk sementara kita tidak bisa berburu, babi dan rusa tidak akan keluar jauh-jauh dari mereka punya tempat tidur karena hujan, jadi tunggu dua atau tiga hari begitu kah baru kita bisa pergi berburu." "Oh begitu, jadi tunggu dulu yah," balas Amir sambil manggut-manggut. Pace mengangguk. Amir bertanya lagi, "Pace, kalau kita bulu babi dan lusa, kira-kira babi dan lusa bisa habis atau tidak?" Pace terlihat berpikir, beberapa saat kemudian Pace menjawab, "Tentu saja abis toh. Kan kita bunuh babi dan rusa trus, jadi pasti banyak yang mati dan habis." "Kalau babi dan lusa habis, telus Pace, Om Yoke dan Kaka Liben mau makan apa?" tanya Amir. Tinggal selama seminggu di sini sudah membuat Amir mulai beradaptasi dengan bahasa, gaya bicara, dan cara hidup. Mungkin dalam beberapa minggu lagi, Amir akan benar-benar mirip dengan keluarga angkatnya dalam segi pertahanan tinggal di hutan pedalaman papua. Pace terlihat berpikir. Benar juga apa yang dikatakan oleh anak angkatnya, kalau babi dan rusa habis, maka mereka akan makan apa? sementara mereka tidak bisa bepergian ke kota atau bepergian mencari ikan di danau Sentani sebab konflik antar suku dan kerusuhan. Pace berpikir lama untuk mencari jawaban. Sementara itu, Amir terus melihat wajah Pace yang sedang memikirkan jawaban. "Pace, bisa tidak e kasih tinggal babi dan lusa bikin kelualga banyak-banyak telus nanti pas mereka sudah banyak kita bulu," ujar Amir. Pace melirik ke arah wajah Amir. Pace tidak menyangka bahwa anak sekecil Amir ini bisa memikirkan hal ini. Menunggu babi dan rusa beranak banyak lalu mereka buru. "Hehehe, bisa saja, Anak. Tapi kita tidak bisa pergi berburu babi dan rusa untuk beberapa bulan," ujar Pace menerima usulan Amir. "Yah … kalau tidak bisa belbulu babi dan lusa, telus Amil nanti mau belbulu apa?" tanya Amir bingung, keningnya mengeriting seperti mie hitam goreng bon cabe pedas level seratus. "Um … biasa kita pergi tangkap udang atau ikan di kali kecil, Anak," jawab Pace. Memang keseharian suku Pace itu mencari ikan dan udang di danau Sentani, namun karena sudah beberapa tahun Pace dan keluarga lari menjauh dari danau Sentani karena konflik antar suku, jadilah mereka tinggal di hutan dan mencari makan dengan cara berburu. "Nah, nanti Amil ikut tangkap udang dan ikan e, Pace? kayak kemalin-kemalin itu Amil dan Kaka Balo pelgi tangkap ikan di sungai kecil," balas Amir. "Bisa, nanti pergi dengan Pace tangkap ikan dan udang di sungai," ujar Pace. "Telus Pace, kalau kita tangkap udang dan ikan telus-telus dan habis, nanti Pace dan kita semua mau makan apa kah? kan semua udang dan ikan sudah kita tangkap untuk dimakan," tanya Amir lagi. Pace kelagapan untuk menjawab. Anak kecil ini rupanya banyak sekali pertanyaan. Namun, meskipun demikian, Pace tidak marah. "Kalau habis … yah … kita nanti bisa cari ulat sagu Anak untuk dimakan," jawab Pace. "Aaaah?!" Amir terbelalak alias terkejood. Dia bahkan menempelkan dua telapak tangan ke arah dua pipinya, mulutnya terbuka lebar. "Hiii Pace, memang bisa kah makan ulat sagu?" tanya Amir geregetan. Setahu Amir, apapun jenis ulat itu tidak bisa dimakan. Namun, Pace mengatakan bahwa mereka akan mencari ulat sagu untuk dimakan apabila ikan dan udang telah habis mereka tangkap untuk dimakan. Pace mengangguk. "Bisa Anak. Rasanya enak. Coba nanti kita cari ulat sagu di pohon sagu yang busuk, nanti Pace kasih rasa Anak supaya Anak tau rasa ulat sagu itu enak sekali," jawab Pace. "Haaaa?! sagu busuk?!" Amir melotot kaget. Ekspresinya membuat Pace tak bisa menahan tawa. "Pftahahahahaah!" Pace mengusap perutnya sambil terbahak. "Hii Pace, jadi nanti kita makan ulat sagu di sagu busuk kah?" tanya Amir. Pace mengangguk sambil menahan tawa. "Haaaaa!" Amir melotot lagi sambil menjatuhkan rahangnya. "Hahahahaha!" Pace terbahak kuat. Liben dan Mace menutup mulut mereka karena melihat ekspresi Amir. °°° Setelah makan siang, Amir, Pace dan Liben berjalan menjauh dari tempat tinggal mereka sejauh kurang lebih seratus hingga dua ratus meter. Mereka pergi ke sungai kecil yang beberapa waktu lalu Amir dan kawan-kawannya pergi menangkap udang. "Pace, jadi kita tangkap udang di sini kah?" tanya Amir ingin tahu. Pace mengangguk. "Iya Anak. Kita tangkap udang di sini." Pace dan Liben memegang tempat anyaman semacam bakul dan anyaman dari bambu. Anyaman itu berfungsi untuk menjaring ikan dan meletakan hasil tangkapan. Di tangan Pace juga ada kain tipis, kain itu digunakan untuk menjaring udang dan ikan. "Ailnya delas Pace, nanti Amil dibawa alus ail," ujar Amir setelah melihat banyaknya volume air di sungai. Karena hujan beberapa hari, membuat volume air sungai naik lebih tinggi, tentu saja melebihi tinggi badan Amir yang hanya sebatas paha orang dewasa. "Nanti Amil lihat saja Bapa dan Kaka Liben tangkap ikan dari atas batu itu," ujar Pace sambil menunjuk ke arah batu besar di pinggir sungai. "Yah … jadi Amil tidak bisa ikut tangkap ikan kah?" tanya Amir dengan nada memelas. Pace, "...." terlihat kikuk. Sementara Liben ingin tertawa. "Ah begini saja Anak, ko ikut Bapa tangkap ikan. Jangan sampai arus air ini bawa ko jauh," ujar Pace pada akhirnya. Amir tersenyum manis memperlihatkan deretan putih giginya. Baru Pace sadari bahwa dua pipi anak angkatnya itu ada lesung pipit. "Ini anak gagah sekali e kalau senyum. Ah, mari! mari!" Pace memanggil Amir untuk mendekat ke arahnya. "Buka kain baju dan koteka, nanti basah. Anak, nanti ko masuk air dengan rok rumbai saja," ujar Pace. "Ok, Pace-ku." Amir mengangguk setuju. Pace membuka kain baju yang dijahit oleh Mace dan koteka kecil yang kini telah menjadi milik Amir. Dua barang itu diletakan di atas batu besar. Setelah itu Amir, Pace dan Liben mulai masuk ke dalam air untuk menangkap ikan dan udang. Setelah hujan, ikan-ikan dan udang mulai keluar dari sarang mereka yaitu di lubang batu sungai. Beberapa Ikan kecil air tawar seukuran jari telunjuk Pace berhasil dijaring oleh oleh Pace, sementara itu Liben bertugas untuk menjaring udang. Amir sendiri berada di depan paha Pace, posisi itu berfungsi agar Amir tidak dibawa oleh arus air sungai yang cukup deras. Amir memeluk satu paha Pace sambil melihat Pace menangkap ikan. "Pace, dingin sekali, e," ujar Amir. Tubuh anak itu mulai menggigil karena kedinginan. Mungkin karena tubuhnya yang kecil jadi tidak bisa terlalu lama berendam di dalam air. Apalagi air sungai hutan itu suhunya dingin. Pace menaikkan badan Amir ke atas belakang lehernya. "Ha, begini tidak dingin lagi toh?" tanya Pace. "Ok, Mantap sekali, Paceku!" Amir menyahut sambil menaikkan jempol kanannya, tangan kirinya memegang kepala Pace agar tidak jatuh. "Hahaha, nah kalau begitu ko duduk tenang di atas Pace, jangan banyak gerak, nanti ko jatuh," ujar Pace. "Aye aye, siap Pace!" Amir memberi pose hormat. "Hahahaha!" Pace tertawa. Liben telah berhasil menangkap beberapa udang yang cukup besar. Besar udang itu sebesar ukuran ibu jari orang dewasa. Beberapa udang kecil dan sedang juga sudah dimasukan oleh Liben ke dalam bakul anyaman. Sementara itu, Pace masih serius dan sibuk mencari ikan. Amir terlihat mengamanatkan ucapan Pace, yaitu duduk diam di atas Pace dan jangan banyak bergerak. Anak itu juga ikut memantau perkembangan pencarian ikan di sungai. Mata Pace melirik ke arah kanan, sementara mata Amir melirik ke arah kiri. Jari telunjuk kanan Amir menunjuk ke arah tepi kiri sungai di mana ada beberapa lubang batu di dalamnya. Mata anak itu terlihat melebar penuh semangat. "Pace! itu ikan panjang! itu! itu! kepalanya sedang lihat-lihat ke arah kita!" seru Amir. Pace melirik ke arah yang ditunjuk oleh Amir. Beberapa bebatuan, di tengahnya ada lubang batu mengarah ke dalam samping sungai. Benar saja, ada seekor ikan yang memasukkan badannya ke dalam lubang dan sedang mengeluarkan kepalanya mengintip ke arah mereka. Bentuk ikan itu seperti ikan gabus. Namun, Pace tidak melihat apakah ikan itu ikan panjang ataukah tidak. Yang pastinya dari gestur kepala ikan itu terlihat cukup besar sebesar kepalan tangan Pace. "Sstt! Anak, ko diam, jangan suara, nanti ikan ini akan lari," ujar Pace memperagakan tanda diam. Amir mengangguk. "Ok, Pace." Amir membentuk gerakan resleting bibirnya. Liben melirik ke arah Amir, sesungguhnya dia ingin tertawa lepas dari tadi. Ekspresi Amir terlalu lucu saat mencari ikan. Pace berjalan perlahan ke arah lubang bebatuan itu. Tangan Pace dengan perlahan mendekat ke arah kepala ikan itu dan …. Hap! Tertangkap! "Yes!" Amir bersorak girang, dia tidak lagi mengindahkan ucapan Pace untuk diam. "Pace, Amil bisa bicara toh? kan Pace sudah dapat ikan itu?" "Hum, boleh." Pace mengangguk. "Heheheh!" Amir terkekeh senang. Tak lama kemudian Pace menarik keluar ikan itu dari dalam lubang. Mata Amir melotot, dia berteriak. "Aaaakhhh! Pace! Pace! Pace! kita tangkap ulal itu, bukan ikan!" Amir bergerak-gerak hendak melompat turun dari leher belakang Pace. Ikan yang Pace tangkap panjang. Panjang ikan itu sekitar satu meter, juga ukurannya besar. Amir mengira itu adalah ular. "Tenang Anak, ini ikan!" balas Pace. "Ah! yang betul boleh Pace? ikan apa yang panjang begitu?" tanya Amir. Dia memajukan wajahnya ke arah ikan yang dipegang oleh Pace. "Ikan ular, Anak," jawab Pace. "Aakh! itu! ikan ulal! jangan dimakan!" ujar Amir. Pace tertawa senang. "Anak, ini kalau orang kota sebut sidat besar. Biasa kalau orang pendatang sering sebut belut. Tapi kita sebut ikan ular, dia panjang dan besar. Hari ini kita beruntung dapat ikan ini," ujar Pace senang. "Selius?" tanya Amir takjub. "Hum, serius ini kah." Pace tertawa. Liben melihat ke arah sidat raksasa itu. "Woah Amil, ko punya mata itu bagus skali e, bisa lihat ikan ini nih!" puji Liben takjub. Mendengar pujian dari Liben, Amr berbangga diri. "Mata siapa dulu dong? Amil!" "Hahahaha!" Pace tertawa senang. "Sudah, kita pulang sudah!" ujar Pace. "Ok, Paceku!" Amir mengangguk. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN