Chapter 27

1430 Kata
Dua minggu setelah hilangnya Amir. Brak! Kretak! "Aaaaakhh!" Naufal meraung marah. Dia membanting termos kecil yang berisi air panas itu hingga pecah. Wajah semua orang tidaklah terlihat baik. Mereka sama halnya seperti Naufal yang sekarang benar-benar tertekan jiwa dan raganya. Kurang tidur dan terus banyak berpikir membuat Naufal tidak lagi dapat mengontrol akal pikirannya untuk hari ini. Pasalnya, sudah dua minggu semenjak sang anak menghilang dan pencarian mereka tidak membuahkan hasil apapun di mana sang anak berada. "Aaaaarrgghh!" Naufal berteriak frustrasi di tengah hutan itu. Dia meluapkan kekesalan, kemarahan dan semua emosinya. Dua minggu tidak mengeluarkan emosi yang terpendam membuat Naufal benar-benar stres. Askan melihat sang kakak sepupunya berteriak dari arah akar pohon besar. Dia tidak ingin berniat untuk menangkan sang kakak, sebab dia juga butuh ditenangkan. Mata Askan terlihat memerah dan dia juga kurang tidur. Sementara itu Lia hanya terduduk diam sambil menatap hutan yang gelap karena tertutupnya ruang hutan oleh pohon-pohon besar. "Aku sudah mencari! aku suka ke barat! aku juga sudah ke timur, utara dan selatan dari hutan ini, tapi kenapa aku masih saja tidak bisa menemukan anakku?!" teriak Naufal frustrasi. "Kenapa?!" "Kenapa masalah pemberontak bisa aku hentikan, kenapa masalah mencari anggota kelompok pemberontak bisa aku lakukan dengan baik, tapi masalah mencari keberadaan anakku sendiri saja tidak bisa? kenapaaaaa?!" Naufal benar-benar tertekan dan frustrasi "Amiiiiir!" Beberapa detik kemudian sunyi. Bahu Naufal bergetar dan hebat, pria berusia 35 tahun itu rupanya sedang menangis tanpa suara. "Kakek Ran selalu bilang … laki-laki jangan menangis … tapi … aku sekarang adalah seorang ayah … anakku hilang, apakah aku tidak boleh menangis saat ini?" Suaranya terdengar serak dan pilu. Bunyi langkah kaki terdengar melangkah pelan ke arah Naufal. Tak lama kemudian, sentuhan terasa di bahu kiri Naufal, tangan itu terlihat sangat indah dan mulus, itu adalah tangan perempuan. "Menangislah!" pinta Lia. Naufal melirik ke arah Lia. "Lia kecil … aku adalah ayah yang buruk … aku meninggalkan dua anakku dan sekarang satu anakku hilang." Tatapan mata Lia terlihat agak terbelalak setelah Naufal memanggilnya dengan sebutan 'Lia Kecil'. Sudah lama sekali tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu setelah kakek dan nenek buyutnya meninggal sekitar tiga belas tahun yang lalu. Lia menatap dalam mata Naufal. Wajah Naufal menunjukkan betapa dia sangat tertekan dan bersalah. "Aku … bukan suami yang baik bagi Ariella, bukan ayah yang baik bagi Adam dan Amir dan juga bukan sepupu yang baik untuk kamu." Lia memeluk Naufal. Askan agak terbelalak saat melihat Lia memeluk Naufal. Naufal pun demikian, tidak disangka bahwa Lia akan memeluknya. "Kau sudah berusaha, sepupu," ujar Lia. Setelah itu dia menarik kembali pelukannya dan memberi jarak antara dia dan Naufal. Wajah Lia terlihat agak salah tingkah. Ini pertama kalinya dia yang memulai inisiatif untuk memeluk Naufal, selebihnya mereka saling menjaga jarak dan menjaga privasi masing-masing, yah itu terjadi hanya padanya dan Naufal, namun itu tidak berlaku bagi Naufal dan Ariella. Lia berbalik dan berkata, "Kita istirahat dua atau tiga hari dulu, biarkan bodyguard dan yang lainnya mencari, setelah istirahat, kita akan melanjutkan pencarian. Tubuh kita butuh istirahat." Lia berjalan menjauh dari Naufal dan yang lainnya, dia pergi untuk menenangkan dirinya. Meskipun di depan semua orang dia hanya menunjukkan wajah dingin dan ketidakpedulian, namun pada dasarnya dia merasa khawatir. °°° Ben terlihat diam dan tak ingin berbicara apapun dengan siapapun hari ini. "Jangan pernah putus harapan," ujar Eric pada Ben. Ben berkata, "Sudah dua minggu lebih Amir menghilang dan sampai saat ini tidak kita temukan juga." "Kita akan terus mencari cucu kita, di manapun Amir berada, kita pasti akan mendapatkannya dan membawanya pulang," balas Eric. "Delapan belas hari telah berlalu sejak insiden hilangnya Amir, aku merasa seperti akan segera gila," ujar Ben. Ya, Ben merasa akan segera gila. Gila karena tak menemukan keberadaan sang cucu. Eric mengatupkan bibirnya. Mulai ada bibit-bibit putus asa dalam dirinya setelah Ben mengatakan cucu mereka telah hilang selama delapan belas hari. "Jangan bilang seperti itu …," ujar Eric agak lirih, dia mengusap matanya yang memerah tergenang air mata, "Amir pasti kita bawa pulang-hmph!" Eric tak bisa menahan isakan yang berhasil lolos dari tenggorokannya. Jika saja presiden Perancis melihat Eric menangis saat ini, mungkin presiden Perancis akan tercengang. Sekelas menteri luar negeri yang hebat seperti Eric menangis, itu adalah sebuah keajaiban. Dua orang kakek itu sedang merasa hampir putus asa. Hampir putus asa karena tidak menemukan keberadaan cucu mereka. Dari arah belakang Ben dan Eric, wajah Adelio terlihat tidak enak dipandang. "Papa." Ben melirik ke arah Adelio. "Adel, kamu datang?" Adelio mengangguk. "Jangan tinggalkan istrimu, dia sedang hamil dan berbahaya jika meninggalkan dia sendirian," ujar Ben. "Aku membawanya tinggal untuk sementara di Dubai, ada keluarga besarnya di sana, semuanya akan baik-baik saja jika Caty tinggal di Dubai," balas Adelio. Ben mengangguk pelan. Adelio melihat wajah lesu ayahnya. Dia tahu, keponakannya belum juga ditemukan. "Adel akan mencari Amir sekarang," ujar Adelio. "Kamu baru saja datang, istirahat dulu," balas Ben. Adelio menggeleng pelan. "Tidak ingin membuang-buang waktu." Ben terdiam. Ya, benar. Tidak ingin buang-buang waktu. Namun, sudah delapan belas hari cucunya hilang, apakah itu tidak membuang-buang waktu? Ben benar-benar tertekan. °°° Jakarta. Wajah-wajah keluarga Amir tidak terlihat bahagia. Terlebih lagi Popy yang sekarang duduk melamun. Wajah Bushra terlihat agak tidak enak dengan situasi ini, dia memasukkan ponsel seluler ke dalam saku cardigan dan berkata, "Eric meminta tambahan izin beberapa hari lagi di Papua untuk mencari Amir. Sudah lebih dari dua minggu kita keluar dari Perancis, meskipun presiden yang sekarang adalah teman baik dan kerabatnya, tapi Eric tidak bisa terus-menerus meninggalkan tugasnya. Beberapa pertemuan internasional telah dilewati oleh Eric." Popy melirik ke arah sepupunya. "Kamu dan Eric kembali lah ke Paris, urusan negara bukan main-main," ujar Popy. "Urusan Amir hilang juga bukan main-main, Kak," balas Bushra. Popy menggenggam tangan Bushra. "Sira, dengan kamu datang ke sini dan tiap hari melihat Ayah Ran dan Atika, itu sudah lebih dari cukup kamu peduli, apalagi suami kamu yang turun langsung mencari Amir. Aku tahu, kamu dan suami kamu juga sangat mencintai Amir." Bushra membalas genggaman tangan Popy. "Tiga hari lagi kami sini, setelah itu, terserah Eric apakah dia ingin kembali ke Paris ataukah tidak. Tapi aku akan tetap berada di sini." Poppy menggeleng pelan. "Jangan. Kamu harus mendampingi suami kamu." Wajah Bushra terlihat tertekan. Dia menarik nafas dan menghembuskan udara frustrasi. Randra yang sedang duduk bersandar di di atas bed rumah sakit terlihat diam. Semenjak sakit dan masuk rumah sakit, Randra tidak menyentuh buku diary miliknya. Randra tak akan bisa menulis dengan beban pikiran yang menimpanya, yaitu hilangnya sang cucu. Di ruang rawat Atika. Perempuan yang telah berusia lebih dari 66 tahun itu berusaha berdiri dan berjalan dibantu oleh perawat terampil yang dibayar lebih oleh Nibras agar mengurus kebutuhan sang istri. Atika berjalan pelan mengelilingi ruang rawatnya. Ada Chana yang sedang berusaha untuk mengupas apel dengan dua kakinya. Selama kurang lebih 28 tahun cacat permanen pada dua tangannya, dia telah mahir menggunakan dua kaki. Aqlam sedang melihat sang ibu berjalan pelan agar sendi-sendi ibunya tidak kaku. Serangan jantung membuat sang ibu sampir mati. Beruntung cepat ditangani oleh dokter. "Aqlam …," panggil Chana pelan. "Ya, Chana?" sahut Aqlam. "Aku kemarin berbicara dengan Anas, dia sibuk mengurus proposal untuk skripsi, aku khawatir Anas kurang mementingkan kesehatannya karena terlalu sibuk mengurus kuliah, apalagi dia tidak di sini, jangan sampai Anas sakit. Bisakah kamu meminta tolong pada orang untuk memberi makanan pada Anas agar dia tidak telat makan? aku lihat Mama Poko agak kurus karena tidak mau makan, aku juga takut pada Anas," ujar Chana setelah dia selesai memotong apel dengan kakinya. Aqlam mengambil kain lap lalu membersihkan air sisa apel di kaki sang istri. "Chana, Anas sudah dewasa, kamu tidak perlu khawatir padanya. Nanti aku akan menelponnya." "Jangan memarahinya …," ujar Chana. "Ya." Aqlam mengangguk. °°° "Jangan buat Ibumu khawatir dengan memikirkanmu apakah sudah makan atau belum. Kondisi ibu kamu tidak begitu baik di sini, jadi kamu jangan melupakan kesehatanmu," ujar Aqlam lewat panggilan telepon pada anak sulung. "Baik, Ayah. Anas mengerti. Maaf, Anas telah membuat Ibu Chana khawatir." Suara balasan dari Anas terdengar menyesal. "Um," sahut Aqlam singkat. "Setelah selesai kuliah, jangan berlama-lama di sana, Ibumu tidak akan tenang jauh-jauh," ujar Aqlam. "Baik, Ayah." Anas mengangguk mengerti. Percakapan antara Aqlam dan anak sulungnya terbilang cukup singkat karena Aqlam tidak terlalu suka berbicara panjang lebar selain dengan istrinya. Sebagai seorang laki-laki yang dari kecil telah mengikuti kemanapun Chana pergi, Aqlam sangat hafal semua tentang Chana. Aqlam sebenarnya tidak keberatan hidup dengan Chana tanpa anak, dia tidak ingin tubuh istrinya sakit karena mengandung bayi, namun Chana memaksa untuk tetap memiliki anak. Pada akhirnya, Aqlam mengalah dan mengikuti keinginan sang istri. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN