Chapter 2

1476 Kata
"Adam datang sendiri saja?" Atika bertanya ke arah supir Basri. Sang supir menggeleng. "Tidak Nyonya. Tuan Adam datang bersama Tuan Amir," jawab sopir. "Lalu di mana Amir?" Atika celingak - celinguk melihat ke belakang Adam dan sopir, berharap melihat wujud mungil tengil dari Amir. "Bukankah Tuan Amir sudah masuk duluan?" sopir mengerutkan keningnya bingung, "Tuan Amir meminta diturunkan lebih dulu, tidak sabar untuk bermain dengan Tuan Muda Fahmi," lanjut sopir. "Ah, begitu. Ya sudah, pasti Amir sudah main bersama Fahmi-eh! kamar Fahmi di lantai dua! ya ampun! Amir baru dua tahun jangan sampai jatuh di tangga! Ibas!" pekik Atika super panik. Nibras membuang koran yang tadi dia pegang. Jangan sampai cicit dari tuan besar Basri jatuh dari tangga! alamat mereka tamat! alamat dibunuh Om Randra! Pria 68 itu berlari tunggang - langgang ke arah tangga, beruntung tubuhnya sering olahraga jadi tidak banyak sakit pinggang setiap berlari, lantai dua di mana kamar sang cucu bungsu berada. Nibras berpikir, jika badan kecil Amir itu menggelinding dari atas tangga turun ke kaki tangga, maka habislah dia! Jangan sampai hal mengerikan itu terjadi, amit-amit! Saat Nibras sibuk berlari di atas tangga, dia tersadar bahwa tidak ada sosok kecil yang dia cari. Kosong. "Um?" Nibras melihat di sekitar tangga. Hanya ada dua bodyguard yang berjaga, satu di atas dan yang lain di bawah. Jika Amir naik ke atas, pasti dia akan diantar oleh salah satu bodyguard yang berjaga atau pelayan yang lewat. "Di mana Fahmi?" tanya Nibras ke salah satu bodyguard. "Tuan Muda Fahmi ke taman, Tuan besar," jawab bodyguard itu. Nibras mengangguk lega, dia sekarang tidak merasa khawatir dengan Amir. Pasti Amir sudah bermain dengan Fahmi di taman. Pikir Nibras. Nibras tidak perlu lagi khawatir untuk cucu kecil yang nakal sekaligus imut itu. Nibras berjalan turun dari tangga dan ke ruang nonton. "Ada dengan Fahmi?" tanya Atika sambil memangku tubuh kecil Adam, dia tidak melihat sang suami menggendong cucu yang kecil itu. Atika menggenggam tangan mungil Adam dan memainkannya. Sedangkan Adam hanya ikut bermain saja dengan nenek Atika. Dia menurut saja diapakan, tidak banyak bicara, toh dia nyaman-nyaman saja dengan perlakuan dari neneknya. "Ya, mereka di taman," jawab Nibras. Dia berjalan lalu duduk di sofa dekat dengan Atika. Nibras menggendong tubuh Adam. "Ibas ini, aku belum bermain cukup dengan Adam sudah kau angkat," cebik Atika. Dia merasa kurang puas bermain dengan cucunya yang kecil. Dua cucunya dari anak sulung memang ada, namun yang pertama telah kuliah di Oxford sedangkan yang lainnya yaitu Fahmi memilih untuk bermain game dan sebagainya. Jadi kedatangan Adam dan Amir ke rumah mereka membuat dia sangat senang. Nibras tersenyum, dia mencium pipi Adam. "Bagaimana kabar Eyang Ran?" "Eyang Ran baik, Kakek Ibas," jawab Adam teduh. Bocah empat tahun itu senang sekali kakek dan nenek sayang padanya. "Kalau Nenek Poko?" tanya Nibras. "Nenek Poko baik, Kakek Ibas," jawab Adam. Nibras mengangguk paham. "Apa Amir mainnya nakal? Kakek Ibas dengar Amir sering menindas Adam," tanya Nibras lembut. Cucu yang lembut ini dia memperlakukannya dengan lembut. Adam terlihat berpikir, tiga detik kemudian dia menggeleng, "Tidak," jawab Adam pelan. Dia berusaha untuk mengingat kebaikan dari sang adik dan janji dari sang adik ketika mereka dalam perjalanan ke rumah Nabhan bahwa adiknya berjanji tidak akan nakal lagi. Nibras tersenyum geli, "Benar?" Adam terlihat berpikir lagi, lalu dia mengangguk, "Benar," sahut Adam. "Kakek Ibas tidak percaya, bukankah kemarin Adam didorong masuk ke selokan, hum?" Nibras tersenyum geli. Dia tahu bahwa Adam ini sangat penyayang, jadi dia tidak ingin menjelek-jelekan adiknya atau menyalahkan adiknya. Adam tak mengangguk atau menggeleng, dia hanya memeluk Nibras sambil berkata, "Amir sudah janji pada Eyang Ran, bahwa Amir tidak nakal lagi," ucap Adam pelan. "Oh begitu …," Nibras manggut - manggut. Dia mengusap rambut Adam. Dalam hati Nibras, Adam ini adalah cucu yang sangat baik, kebaikan didapatkan dari turunan kepribadian asli sang ibu Adam dan Amir yang memiliki tiga kepribadian. "Adam yang manis, mari Nenek Tika sayang." Atika mencium pipi Adam. Dia sangat gemas sekali dengan Adam. Selama hidupnya, dia hanya memiliki satu anak, dan itu anak laki-laki, itupun anaknya terlihat sangat pendiam dan dingin, beruntung Ariella–ibu dari Adam dan Amir memilih tinggal bersama mereka. "Mina, ambilkan mainan anak - anak di gudang mainan, ada mobil - mobilan, helikopter dan s*****a - s*****a," pinta Nibras. "Baik, Tuan Besar." Mina sang pelayan segera pergi ke gudang mainan. Mainan dari tuan kecil Nabhan sangat banyak, namun sayang yang menggunakannya hanya Fahmi saja. Anas yang merupakan anak sulung pasangan dari Aqlam dan Chana itu tak begitu suka main mainan, dia lebih suka bereksperimen akan sesuatu. Pasangan suami - istri lanjut usia itu bermain bersama Adam. Mereka tak berpikir bahwa cucu mereka yang satunya lagi sedang …. Utak - atik pistol jenis baru selesai. Tujuh buah peluru akhirnya bisa dipasangkan kembali ke dalam tabung peluru oleh anak berumur dua setengah tahun itu. Tepat saat itu juga mobil berhenti dan pintu mobil terbuka. Amir, bocah dua tahun itu tak begitu mempedulikan dia berada di mana, apakah mobil yang tadi dia naik bergerak atau tidak. Yang menjadi fokusnya adalah benda yang bernama pistol yang tak sengaja dia lihat di bawah kolong jok kemudi. Setelah pintu mobil terbuka, Aqlam merangkul Chana untuk keluar, mereka langsung menuju ke landasan pacu, namun di tengah perjalanan, Chana mengeluhkan ingin buang air kecil. "Aqlam, mungkin aku terlalu banyak minum teh tadi waktu sarapan," ujar Chana. Aqlam tersenyum, "Tak apa, ayo kita ke kamar mandi." Aqlam mengantarkan sang istri ke kamar mandi. Sementara itu supir berjalan untuk membuka bagasi. Tubuh mungil Amir dengan lincah berpindah tempat dari bagasi ke jok penumpang, urusan buka - membuka pintu mobil jangan ditanya lagi. Bocah itu bahkan sudah bisa memanjat pagar rumah dengan bergelantungan bagai monyet di sisi - sisi trali. Dia bahkan sering lolos dari pantauan para bodyguard Basri yang berjaga. Hap! Mendarat di tanah dengan mulus. Dan sang supir sama sekali tidak menyadari bahwa Amir baru saja turun dari mobil. Supir sibuk mengeluarkan satu koper besar pakaian milik dua majikannya. Amir terlihat bingung dengan tempat yang dia turun. Tadi perasaannya dia sudah berada di depan rumah Nabhan, depan rumah kakak sepupunya. Dia celingak - celinguk ke kiri dan kanan berulang - ulang. Di mana rumah kakak sepupunya? di mana rumah kakek dan neneknya yang lain? di mana rumah tantenya? Jawabannya adalah tidak ada. Tangan Amir memegang pistol silver, tak ada yang tahu bahwa tangan anak itu memegang pistol asli, orang yang melihat hanya tahu bahwa itu adalah pistol mainan. Sebab, anak kecil seperti Amir mana mungkin memegang pistol asli? pasti jawabannya adalah mustahil. "Ma, nanti belikan Rino pistol-pistolan seperti adik itu, yah?" sebuah suara anak kelak berusia lima tahun terdengar. Dia melihat pistol silver mewah yang dia kira mainan di tangan kanan Amir. "Baik, kalau Rino baik dengan Kakak Reni, nanti Mama belikan pistol-pistolan untuk Rino," sahut perempuan yang merupakan sang ibu dari bocah tadi. Merasa bahwa sepertinya tidak ada rumah yang dia cari, Amir mulai berkelana. Dia berjalan ke sembarang arah tanpa takut, pantang bagi Amir untuk takut, dia selalu mengingat ajaran kakek buyutnya, yaitu jangan takut apapun kecuali Tuhan, meskipun Amir hanya tahu bahwa Tuhan itu lebih besar dan berkuasa dari siapapun termasuk sang kakek buyut. Jadi, jika kakek buyutnya menghormati Tuhan, maka dia juga ikut menghormati. Amir Masuk ke bandara tanpa diperiksa oleh pihak manapun. Siapa yang mau periksa? sebab pihak bandara tahu saja kalau anak yang berpenampilan rapi, kaos bagus, celana khaki melekat imut di tubuhnya, ditambah juga sepatu sport mahal yang dipakai Amir adalah anak dari salah satu calon penumpang yang juga masuk bersama keluarga. Amir melihat sebuah topi piknik anak - anak berwarna pink di letakan di atas sebuah koper, ternyata topi itu adalah milik anak dari penumpang yang baru saja tiba dengan pesawat, mereka hendak memasuki mobil, nantinya supir yang menjemput akan menaikan barang - barang mereka. Hap. Tangan kecil itu meraih saja topi itu. "Panas," ujar Amir. Mungkin karena kota Jakarta cerah, jadi dia merasa panas. Amir memakai topi dan berjalan masuk ke dalam bandara lebih dalam. Entah dia berjalan bagaimana cara hingga tersesat di bagian mobil troli pengangkut barang kargo! Banyak barang yang akan dikirim, diantaranya adalah buah - buahan segar, barang pakaian, paket dan lain sebagainya. Lelah berjalan, bocah itu duduk di antara celah benda yang akan dikirim. Beruntung benda itu berupa lukisan mahal yang akan dikirim ke sebuah kota di Indonesia. Penjaga baru saja memeriksa kualitas lukisan itu, takut jika terjadi lecet pada lukisan mahal, satu hal yang dia lupa, karena mengangkat telepon dari atasan, dia lupa menutup rapat kardus itu. Jadi sedikit diberi ruang. Ketika Amir duduk, tak sengaja penutup karton terbuka, dari pada panas karena matahari jam sepuluh pagi, dia masuk saja ke dalam kartun. Aksinya tak ada yang lihat! Entah orang - orang buta atau memang tubuh Amir saja yang terlalu kecil. Broom! Mobil berjalan menuju pesawat yang akan membawa kargo itu. Semua benda dan karton yang akan dikirim, masuk ke dalam pesawat dan tak lama kemudian pesawat lepas landas dan …. Selamat tinggal kota Jakarta. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN