Chapter 29

1645 Kata
Jadi seperti sekarang inilah. Mace sedang memotong-motong ular yang dilihat oleh Amir di rumpun bambu. Wajah Amir terlihat bengong ketika melihat Mace memotong ular itu menjadi bagian-bagian kecil. "Mace … itu ulal mau dimakan kah?" tanya Amir heran. Mace mengangguk dan menjawab, "Iya, Anak." "Di gambal dinding rumah Amil, Eyang Lan bilang olang muslim tidak makan ulal, kalau belut yang waktu itu boleh bisa dimakan," ujar Amir, dia masih heran. Mace tersenyum ke arah Amir. "Anak, tenang saja. Ko pung Om Yoke tadi pas pulang dari kebun langsung ke sungai cari ikan untuk ko makan," balas Mace. (Ko pung = kamu punya) "Ah, yang benal kah?" wajah Amir terlihat senang. "Benar, Anak. Ini Mace mau bakar ko pung ikan dulu baru bakar ular," jawab Mace. Mace menyisihkan potongan daging ular di pinggir tungku dan mencuci tangan lalu mengambil sebuah tempat anyaman kecil bambu yang sudah ada dua ikan seukuran dua jari orang dewasa. Mace membakar ikan itu lebih dulu. Bau ikan bakar tercium memasuki indera penciuman Amir. "Huuum, haluuuum!" Amir mencium dalam-dalam aroma ikan bakar. Dia bahkan membuat gerakan seperti sedang mengusap air liur. Mace tersenyum geli. Setiap bakar ikan atau udang hasil tangkapan, Amir selalu duduk di pinggir tungku dan mencium aroma ikan atau udang bakar. Di tungku sebelah, ada rebung yang direbus. Makanan cukup sederhana, ada sedikit persediaan garam yang dibawa dari perkampungan di dekat kota sebelum mereka kembali ke hutan pedalaman. Meskipun Mace dan yang lainnya tinggal di hutan pedalaman, namun mereka juga pernah ke perkampungan di pinggir kota Sentani. Rebung rebus itu hanya diberikan sedikit garam agar menambah cita rasa alami. Sedangkan gembolo yang tadi digali oleh Pace, kini telah selesai direbus. …. Amir makan sangat lahap malam ini. Dia menikmati ikan bakar yang ditangkap oleh Yoke. Sementara itu Jingjing dan Cingcing ikut makan di sampingnya. Cingcing memilih makan ikan bakar yang diberikan oleh Amir, sedangkan Jingjing lebih memilih ular yang telah dibakar. Mungkin karena Jingjing tahu kalau dia ikut makan ikan bakar, maka temannya yang bernama Amir itu tidak akan punya cukup ikan bakar untuk dimakan. "Makan yang banyak Anak, biar ko sehat-sehat trus," ujar Mace. "Um!" sahut Amir sambil menggigit ubi rebus. Mace tersenyum senang melihat Amir yang tidak pilih-pilih makanan. Sedangkan Pace melirik penuh sayang ke arah Amir. "Ini anak memang rejeki e, Tuhan kasih berkat untuk kita lewat dia," ujar Pace. Mace mengangguk mengerti dan membalas, "Yo, Bapa, benar sekali." "Setiap kita cari ikan, udang atau apa pun itu, selalu saja dapat meskipun sedikit, kita tra pernah pulang dengan tangan kosong. Baru ini anak sifatnya pemberani Macam Maipe-" Pace menghapus air mata yang jatuh tiba-tiba. Mace juga sama, dia mengusap dua matanya, sementara itu Liben terlihat sedih. Amir berhenti menggigit ikan bakar dan melirik ke arah Pace. "Pace, Maipe itu siapa?" Pace dan Mace saling melirik. Amir masih menunggu jawaban dari Pace. "Amil tidak pelnah beltemu yang nama Maipe," ujar Amir. "Maipe itu Bapa punya anak pertama, dia Liben punya Kaka," jawab Pace. "Oh?!" Amir melirik ke arah Liben. "Jadi Kaka Liben punya kakak?" tanya Amir. Liben mengangguk. "Belalti sama sepelti Amil, Amil juga punya kakak, nama Kakak Adam. Tapi Kakak Adam tukang nangis, penakut, heum!" Amir mendengkus ketika mengingat sangat kakak. Liben dan yang lainnya melirik ke arah Amir. "Pace, lalu Kaka Maipe di mana kah?" tanya Amir penasaran. Wajah Pace terlihat sedih. Dengan suara sedih, Pace menjawab, "Kaka Maipe sudah meninggal, Anak." Amir, "...." terdiam melihat ke arah wajah sedih Pace. Melihat wajah sedih Pace, wajah Amir juga ikut terlihat sedih. Pace tersenyum tipis ke arah Amir dan mencubit gemas hidung mancung Amir lalu berkata, "Jangan sedih kah, ko bikin Bapa mau tertawa saja." "Kata Eyang Lan, kita halus tulut belduka cita pada kelualga yang meninggal. Kata Eyang Lan, olang meninggal akan masuk sulga kalau dia belbuat baik di dunia. Humm, Kaka Maipe pasti olang baik, nanti masuk sulga-" Pace memeluk Amir. Bahu Pace bergetar setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Amir. "Iya Anak, Kaka Maipe itu orang baik e. Orang baik. Stalalu baik lagi sampe mati bantu orang." Pace menangis sedih saat mengingat kematian sang anak sulung. Amir meletakan ikan bakar yang berada di tangan kanannya dan dia mulai mengusap lengan Pace. "Pace jangan menangis, jangan sedih, ada Amil di sini." Pace mengangguk sesenggukan. Mata Mace terlihat sedih dan memerah, dia menghapus air matanya. Sementara Liben telah sesenggukan menangis. °°° Bushra menahan tangis saat dia dan suaminya akan naik mobil ke bandara. Hari ini adalah hari terakhir sang suami meminta izin cuti dari tugas negara yang diembannya. Eric harus segera kembali ke negara asal untuk melakukan tugasnya sebagai menteri luar negeri Perancis. Popy berkata, "Sira, jangan menangis, kita-" Popy juga hendak menangis. "Amir belum ditemukan, tapi aku akan pulang ke rumah, Kak Poko, aku sedih, aku ingat Amir terus," balas Bushra. "Sira, kalau ada kabar terbaru mengenai Amir, pasti kamu juga akan tahu," balas Popy. Bushra mengangguk. Dua perempuan sepupu yang sekarang adalah besan itu saling berpelukan. Wajah Eric tidak terlihat bahagia saat meninggalkan Jakarta. Sebab, sang cucu belum juga ditemukan. …. Kediaman Nabhan. Atika duduk sambil memandangi foto Amir dan cucu-cucunya yang lain. Air mata perempuan itu turun. "Sudah tiga minggu Amir belum juga ditemukan …," ujar Atika lirih. Nibras melirik ke arah sang istri yang baru satu hari keluar rumah sakit. Wajah Nibras terlihat sedih. "Apa yang sedang dilakukan anak itu?" "Apakah dia sudah makan?" "Amir makan apa?" "Dia … dia tidur di mana?" Nibras merangkul sayang bahu sang istri. "Kita hanya bisa berdoa pada Allah, Atika. Pasrah dalam pencarian." Atika mengangguk pelan. Wajah Fahmi yang duduk berseberangan dengan sang kakek nenek terlihat sedih. Sementara itu di kamar Chana dan Aqlam, wajah Chana terlihat layu. "Aku akan kembali ke Papua untuk melakukan pencarian lagi," ujar Aqlam. Chana mengangguk. Dia melirik ke arah sang suami. "Aqlam … kita harus menemukan Amir … atau Kakek Ran akan sakit terus … Chana takut terjadi apa-apa pada Kakek Ran … itu … juga salah kita karena tidak sadar ada Amir di dalam mobil." Aqlam mengangguk mengerti. "Aku mengerti. Kamu jangan terlalu banyak pikiran." Chana hanya mengangguk pelan, namun sesungguhnya dia juga banyak pikiran. "Papa Ben bahkan sedang sakit setelah pulang dari Papua … Chana lihat wajah pucat Papa Ben, hati Chana sakit," ujar Chana sedih. Aqlam memeluk sayang sang istri. "Jangan bersedih. Aku yakin, kita pasti akan menemukan Amir sesegera mungkin." °°° Ben memeluk foto Amir yang sedang tersenyum lebar. Air mata pria itu tak berhenti turun. Putus harapan telah menyerang hatinya. "Hukum aku ya Allah, tapi jangan Engkau hukum anak cucuku," ujar Ben sedih. Pasca dipulangkan dari Papua, kondisi Ben agak drop dan tidak stabil. Dia terlihat sangat stres dan depresi. Tiga minggu hilangnya sang cucu membuat dia tidak bisa berpikir jernih. Beruntung ada keluarga yang terus saling memberi semangat pada sesama keluarga lainnya. "Dia memang nakal ya Allah … tapi jangan Kau ambil dia dariku …." "Cucu itu memang jahil, tapi jangan Kau jauhkan dia dariku ya Allah …." Ben memohon pada Tuhan agar jangan mengambil cucunya. Mulut Ben bergetar sambil mengucapkan, "Amir …." °°° "Askan, kau dibutuhkan segera kembali ke Surabaya," ujar Ibrahim. Askan mengangguk mengerti. Sudah tiga minggu dia di Papua untuk mencari keberadaan sang ponakan, namun tidak membuahkan hasil. "Hanya seminggu, nanti kamu bisa balik lagi ke sini untuk membantu mencari Amir," ujar Ibrahim. Askan mengangguk. "Akan ngerti. Bagaimanapun juga, tugas negara adalah yang nomor satu. Tapi Om Rahim, Askan minta, pencarian jangan dihentikan." Ibrahim mengangguk. "Pencarian tidak akan dihentikan sebelum Amir ditemukan. Kalau tidak, arwah Nenek Cika kalian akan selalu datang menghantui Om." Terdengar langkah kaki dari arah luar menuju ke dalam ruangan. Wajah lesu Alan terlihat. "Medan di di sini sangat susah. Bagaimana bisa tempat terakhir ditemukannya *pistol yang dibawa oleh Amir berada di tempat seperti itu? aku rasa orang lain telah lebih dulu merebut *pistol itu," ujar Alan sambil mencari tempat duduk di sebelah Askan. Ibrahim menghembuskan napas susah. "Aku akan ada di sini untuk beberapa hari," ujarnya. "Aku belum bisa kembali ke Jakarta, Amir sangat penting," balas Alan. "Opal dan Aril masih melakukan pencarian. Aku melihat wajah Opal, dia terlihat depresi dan stres," ujar Alan sedih. "Biar bagaimanapun juga, Amir adalah anaknya," balas Ibrahim. Alan mengangguk membenarkan. "Ditambah Ayah Ran masih di rumah sakit dan Ben juga tidak terlihat sehat, Opal bertambah stres," ujar Alan iba. "Semuanya akan kembali normal jika Amir ditemukan," ujar Askan. Semua orang mengangguk mengerti. °°° Malam hari. Amir tidur di samping Liben. Amir bertanya, "Kakak Liben, Kakak Maipe olangnya gimana?" Liben melirik ke arah Amir. Dia terlihat berpikir selama beberapa detik lalu menjawab, "Menurut Bapa, Kaka Maipe itu orangnya baik, pemberani dan tegas." "Kalau menulut Kaka Liben?" tanya Amir. Liben tersenyum masam dan kikuk, dia menggaruk kepalanya. "Kaka Liben masih kecil waktu itu, belum terlalu ingat dengan Kaka Maipe. Tapi Kaka Liben senang punya Kakak. Kaka Maipe suka menggendong Kaka Liben di belakang leher." "Kalau kakaknya Amil namanya Adam," ujar Amir. Liben mengangguk. "Um, Amil sudah cerita." "Kakak Adam itu cengeng. Tukang nangis, sudah cengeng, penakut pula," ujar Amir terkesan mencibir sang kakak. "Pfftthahaha-mph!" Liben menahan tawa geli setelah mendengar cibiran dari Amir. "Tapi sebenalnya Kakak Adam itu baik. Bialpun Amil jail dan suka ganggu Kak Adam, tapi Kak Adam tidak pelnah lapol ke Eyang Lan, Nenek Poko atau Kakek Ben," ujar Amir. Liben tersenyum setelah mendengar ucapan Amir. "Amil di sini tidak ada Kakak Adam … Amil lindu Kakak Adam … Kalau Amil pulang nanti, Amil mau baik-baik dengan Kakak Adam. Amil janji tidak akan jahil lagi ke Kak Adam … Kaka Liben tidak punya Kakak lagi, tapi Amil punya … jadi, Amil halus sayang Kakak Adam," ujar Amir, nada suaranya terdengar agak sedih. Liben mengangguk setuju, dia menepuk-nepuk pelan tangan Amir. Di sisi lain. Mata Adam terlihat memerah saat melihat foto dia berpelukan bersama sang adik. "Amir … Kakak Adam rindu …." °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN