Chapter 17

1487 Kata
Balo dan tiga temannya terlihat menunduk takut ke arah Pace dan Yoke. "Aduh, kalau mau menangkap udang, tunggu Kaka Liben jua. Jangan tangkap sendiri. Baru ko ini Balo, Mama Ina sudah kasih ingat ko untuk terus jaga Amil, tapi kenapa ko lepas itu tangan Amil?" tanya Pace. Balo menunduk diam. "Untung saja itu dia punya tangan tra dapat tusuk dari kalajengking," ujar Mace. Mace terlihat sangat menyayangkan kejadian ini. Beruntung saja kalajengking yang dikira Amir adalah udang itu tidak menusukkan racun ke dalam tangannya. Setelah Balo berlari sekuat tenaga untuk membuang hewan kalajengking yang ditangkap oleh Amir, Balo dan kawan-kawan langsung berlari ke rumah Mace. Balo sendiri menggendong Amir di belakang lalu berlari sekuat tenaga. Dia mengatakan pada Mace dengan nada panik bahwa hewan beracun yang adalah kalajengking itu telah menusuk tangan kanan Amir. Mace langsung panik dan hampir menangis keras, dia melihat dan membolak-balikan dua tangan Amir dan melihat sebuah goresan tipis dan kecil, Mace kira itu adalah sengatan kalajengking namun itu adalah goresan yang diakibatkan karena Balo menerjang Amir untuk membuang kalajengking dan membuat tangan Amir tergores batu kecil. "Balo e … Mama Ina sudah bilang, ko jaga ini ko pung sodara laki-laki, jaga dia macam ko jaga ko punya mata itu. Ko tra ingat kah pas dia selamatkan ko di hutan sana dari orang jahat?" tanya Mama Ina. "Sa ingat, Mama Ina … sa salah-" "Mace … jangan Mace malah Kaka Balo lagi, itu Amil yang salah … Amil yang mau pergi tangkap udang tidak bilang-bilang Kaka Balo," potong Amir atas ucapan Balo yang terdengar menyesal. Mamade Yona mengusap kepala anaknya yaitu Balo, lalu mengusap kepala Amir. "Lain kali Balo, ko harus lebih hati-hati lagi, ingat?" "Yo, Mama. Lain kali sa lebih hati-hati lagi," sahut Balo sambil mengangguk. Kryuuk kryuuk. Mace dan Mamade Yona melirik ke arah perut Amir yang berbunyi. "Mari makan siang," ujar Mace menggendong Amir. "Mace, Amil mau makan siang dengan Kaka Balo, Kaka Cilo, Kaka Jele dan Kaka Polo," ujar Amir. "Ok, mari semua." Mace mengangguk mengerti. Mereka didudukan di depan rumah Pace. Amir melihat hidangan siang hari ini. Tidak ada beras atau nasi seperti di rumahnya. Di tempat yang dia tinggali sekarang ini, makanan sehari-hari mereka adalah ubi, sayur hutan dan hewan yang diburu. Amir tidak pilih-pilih karena dia lapar. Namun, hari ini entah kenapa wajah Amir terlihat sedih. Amir tidak mengambil ubi rebus yang ada di depannya. Piring makan orang lain sudah setengah habis, namun piring makan milik Amir belum juga berubah berkurang sedikitpun. Liben melirik ke arah Amir. "Amil, kenapa tidak makan?" tanya Liben. Wajah sedih Amir terlihat di mata Liben. "Kaka Liben … Amil ingat Eyang Lan … lindu Kakak Adam," jawab Amil lirih. Liben berhenti makan, begitu juga dengan Balo dan lainnya. "Amil lindu Eyang Lan … kalau siang-siang begini, Eyang Lan suka makan sup ayam … nasi lembut … dan ayam kecap …," ujar Amir, matanya memerah. "Oh, Amil tidak boleh menangis, Eyang Lan bilang laki-laki sejati itu tidak boleh menangis," ujar Amir, mulutnya hendak menangis namun dia cepat-cepat menelan suara tangis dan melap dua matanya dengan telapak tangan agar tak ada butiran air mata yang turun. "Um?" Amir mendongak, rupanya dia telah berada di pangkuan Pace. Pace tersenyum, tangan kiri Pace mengusap sayang kepala Amir. "Nanti kalau kota sudah aman, Pace yang akan bawa pulang Amil." Wajah Amir terlihat sedih. Meskipun dia merasa senang dengan keluarga angkatnya, namun dia juga merindukan keluarga aslinya. Pada kenyataannya, Amir adalah anak yang berusia dua setengah tahun yang di dalam keluarganya dia adalah anggota keluarga yang terkecil setelah sang kakak. "Amil, Pace janji, Pace tidak bohong," ujar Pace. "Ada orang jahat di jalan, kalau kita pergi sekarang ke kota, takutnya pas di jalan kita berpapasan dengan orang jahat yang kemarin-kemarin Amil tembak," ujar Pace. Amir mengangguk pelan. Pace mengambil ubi rebus lalu menyuapi Amir. "Ini, makan dulu." Amir membuka mulutnya dan menerima suapan dari Pace. Jadilah Amir makan di atas pangkuan Pace. "Eh, Kaka Balo, itu udang yang tangkap tadi di mana?" tanya Amir ke arah Balo setelah dia menyadari bahwa mereka kembali ke rumah tanpa membawa udang tangkapan mereka. Wajah Balo dan lainnya terlihat kikuk. "Hehehe, biar sudah di sana, besok saja kita pergi dengan Kaka Liben untuk tangkap udang lagi," balas Balo. "Yah … dilepas kah? padahal sudah banyak loh udangnya," ujar Amir dengan nada menyesal. "Heheh, abis tadi ko bikin sa mau jantungan, jadi lupa semua barang-barang yang ada dan hanya bawa lari ko ke rumah takut jangan sampai kenapa-napa," balas Balo. Amir melirik ke arah Liben. "Kaka Liben, nanti besok kita tangkap udang sama-sama yah?" Liben mengangguk. "Pace, kalau mau pelgi belbulu nanti ajak-ajak Amil kah," ujar Amir ke arah Pace, dia mendongak melihat ke arah wajah Pace yang sedang memangkunya. "Hum, ok Anak. Ko tenang saja, besok kah lusa kah, kalau Pace pergi berburu nanti Pace ajak ko," balas Pace. "Siap, Pace-ku!" Amir mengangguk senang. "Hahaha." Pace dan yang lainnya terbahak geli dengan tingkah lucu Amir. °°° Pencarian Amir yang dilakukan oleh Naufal dan Ariella terpaksa berhenti setengah hari pada hari ini. Pasalnya, Ariella terlalu lelah karena sudah beberapa hari ini tidak istirahat dan tidak tidur, alhasil tubuhnya lelah dan sakit, membuat kepribadian ketiga muncul dan ingin bunuh diri. Naufal menggendong Ariella di atas bahu kirinya, sementara tangan kanan memegang *pistol dan berjalan kembali ke arah kemah tempat di mana mobil pikap menabrak pohon. Setelah keluar dari hutan, Naufal meletakkan tubuh sang istri yang sedang tertidur di tempat tidur lipat. Sementara telapak tangan kanannya terlihat ada bekas darah yang merembes keluar melalui perban. "Tolong siapkan mobil, saya ingin ke rumah sakit tentara di kota," ujar Naufal. "Baik, Pak!" prajurit mengangguk siap. Naufal melirik ke arah wajah sang istri yang tertidur pucat. Dia menarik dan menghembuskan napas susah. Hari ini tidak menemukan anaknya yang hilang, namun malah bertemu dengan kepribadian sang istri yang misterius. Gagal lagi pencarian anak mereka hari ini. Jujur saja, Naufal stres sekarang. °°° Irfan melirik ke arah Naufal yang duduk di kursi luar rumah sakit. Kursi itu berada di depan kamar rawat sang istri. "Bukan salahmu atau salah Aril," ujar Irfan. "Kalian terlalu khawatir jadi tidak istirahat dan terus melakukan pencarian, akibatnya tubuh lelah dan butuh istirahat. Apalagi tidur tidak nyenyak dan selalu terjaga, ini tidak baik bagi tubuh semua orang, termasuk Aril dan kamu," ujar Irfan. Irfan menyentuh bahu kiri Naufal. Naufal sedang menutup wajahnya dengan dua telapak tangan, kentara sekali betapa stresnya Naufal karena hilangnya sang anak. Bahu Naufal bergetar. "Amir masih terlalu kecil, Om …." Wajah Irfan terlihat iba. "Dia memang sangat nakal, tapi memang itulah anak-anak. Di usia yang sekarang, Amir terlalu aktif, aku tidak marah saat bertemu Amir dan Amir akan mengerjaiku, aku sadar karena selama ini aku meninggalkan dia dan Adam jauh dariku dan Aril … dia masih kecil … terakhir kali aku bertemu dengan Amir dan Adam yaitu pada pernikahan Adel, itu sudah mau hampir setahun yang lalu," ujar Naufal. Naufal sangat menyesali bahwa anaknya hilang. Dia menghapus air matanya. Naufal bukanlah orang yang cengeng atau mudah menangis, dia menangis bukan sebagai seorang pria dewasa namun sebagai seorang ayah yang sedang kehilangan anaknya. Beberapa orang melihat penuh iba ke arah Naufal yang sedang menangis sedih. Naufal tidak pernah menunjukkan sisi rapuhnya pada siapapun selama bersama prajurit Lia di perbatasan. Dia adalah pria yang kuat dan jago beladiri. Namun sekarang, pria itu terlihat rapuh karena hilangnya sang anak. Di dalam ruang rawat Ariella. Air mata turun membasahi bantal. Kelopak mata Ariella bahkan masih tertutup namun pendengarannya masih berfungsi. Terlalu lelah membuat Ariella tak mampu membuka matanya lagi untuk hari ini. °°° Pada jam tujuh malam, Ben sampai ke rumah sakit tentara yang berada di kota Jayapura. Meskipun penerbangan dilarang untuk sementara ke Jayapura, namun Ben mengambil jalur helikopter dan turun di lapangan heli di kota Jayapura. "Naufal," panggil Ben. Naufal yang sedang menatap langit penuh bintang itu berbalik ke arah sang ayah. "Papa." Ben mendekat ke arah anaknya. Wajah Naufal terlihat sedih dan menyesal. "Amir masih belum ditemukan, Pa." Ben berhenti melangkah, dia melihat wajah sang anak yang terlihat stres. Ben tahu, anaknya ini pasti tertekan karena hilangnya sang cucu. "Istirahat," ujar Ben. "Aril belum bangun," balas Naufal. Naufal takut jika dia tidur dan istrinya bangun, lalu kepribadian ketiga masih muncul, pasti usaha bunuh diri akan terulang lagi. "Ada bodyguard yang akan berjaga di dalam ruang rawatnya," ujar Ben. "Kamu harus tidur, kalau sakit, kamu tidak akan bisa mencari Amir, besok biarkan Papa yang melakukan pencarian," ujar Ben. Naufal melihat badan sang ayah. "Papa, Opal tidak yakin Papa bisa memasuki hutan dengan umur yang sudah tujuh puluh tiga tahun ini, takutnya Opal akan mencari orangtua yang hilang." Ben menyipitkan matanya ke arah sang anak. "Jangan remehkan Papa. Meskipun sudah tujuh puluh tiga tahun, tapi masih sehat dan kuat. Tidur sana!" Naufal mengangguk. Dia berjalan memasuki ruang rawat istrinya lalu tidur di sofa. Seorang bodyguard perempuan masuk dan berjaga-jaga agar Ariella tidak bangun. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN