Beberapa jam sebelumnya. Lily Silvia Kusuma. Seorang gadis penyuka bunga, sama seperti sang Mama, Jasmine. Berusia sembilan belas tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Gadis dengan iris mata coklat terang, yang diturunkan dari neneknya yang merupakan keturunan Belanda. Rambut panjangnya yang bergelombang melewati bahu. Menambah kecantikan parasnya.
Pukul 19.00
Lily pergi berpamitan kepada orang tuanya dengan dalih, ingin membeli camilan di luar. Ia pergi dengan sepeda motor matic miliknya.
Tidak sepenuhnya salah. Karena memang Lily menginginkannya. Namun, di tengah jalan. Ia kembali teringat dengan pertengkaran yang sempat terjadi antara ia dan kekasihnya, Russell. Saat kawan lelakinya kedapatan merangkul bahu Lily, tepat dengan kedatangan Russell.
Russell yang pencemburu berat. Karena mengingat, sulitnya mendapatkan Lily yang awalnya tidak ingin menjalin sebuah hubungan pun. Langsung menghakiminya begitu saja dan menuduhnya yang bukan-bukan. Tidak mau mendengarkan penjelasan Lily dan bahkan, menonaktifkan ponselnya.
Lily pun berpikir, apa tidak sebaiknya ia menemui Russell sebentar saja. Menjelaskan apa yang terjadi siang tadi dan pergi setelahnya.
Ya, Lilly melakukannya. Ia pergi menemui Russell. Pergi ke sebuah apartemen, yang tidak pernah sekalipun ia datangi. Tapi, Russell pernah menceritakannya. Bila ia tinggal di sana sementara waktu. Karena sang kakak, yang sedang pergi melakukan business trip ke luar negeri.
Tinggal sedikit lagi. Hanya tinggal beberapa meter, Lily sampai ke apartemen yang dimaksud. Namun, ia tidak menyangka, bila tiba-tiba saja, hujan mengguyur dengan begitu deras, tanpa ia bisa menghindarinya.
Tubuh Lily yang mungil basah kuyup, saat mencapai parkiran. Di usapnya wajah serta didekapnya tubuh, oleh diri Lily sendiri.
Kenapa tiba-tiba saja turun hujan sederas ini? Padahal, tadi begitu cerah.
Tak ingin menunggu lama. Lily meneruskan langkah kakinya. Tak peduli dengan pakaian basahnya dan hanya ingin menjelaskan kepada Russell apa yang terjadi. Setelah itu, ia bisa kembali pulang.
Lily bukanlah seorang wanita yang dengan mudahnya, melakukan hal yang tidak-tidak bersama seorang pria.
Tapi, Russell adalah lelaki yang begitu berbeda. Ia memahami prinsip Lily. Bila kasih sayang, tidak harus ditunjukkan dengan sebuah kontak fisik.
Maka dari itu, Lily pun bisa luluh kepada Russell. Laki-laki pertama, yang tidak pernah mau menyentuhnya lebih. Sangat langka dan Lily pun jadi sangat menyukainya.
Kini, Lily sudah berada tepat di depan pintu apartemen. Ia memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan. Begitu sepi dan senyap. Padahal, baru pukul delapan malam. Mungkin, karena hujan deras di luar para penghuni apartemen. Memilih untuk pergi tidur lebih awal.
Diulurkannya tangan kanan Lily yang mengepal dan diketuknya pintu apartemen, untuk membuat sang penghuni keluar. Namun, tidak ada respon. Tidak ada siapapun yang keluar dari dalam sana, atau sekedar untuk membukakannya pintu.
Lily kembali mencoba untuk mengetuk yang kedua kalinya dan hasilnya pun tetap sama. Hingga ketukan pintu yang ketiga, akhirnya pintu pun terbuka.
Awalnya, Lily tersenyum tipis. Hingga saat orang yang asing baginya menyembul dari balik pintu. Lily malah memperlihatkan kerutan yang begitu banyak di dahinya.
Dia siapa? Begitulah pertanyaan pertama yang ada di batin Lily.
"M-maaf. Sepertinya, saya mengetuk pintu yang salah," ucap Lily cepat, karena tidak menemukan kekasihnya di dalam sana.
"Memangnya, siapa yang kamu cari?" tanya Laki-laki bersuara berat, dengan baju tidur bermodel kimono warna navy, yang melekat di tubuhnya yang tinggi dan kekar.
"Russell."
Satu kata yang Lily ucapkan dan membuat lelaki di depannya menyunggingkan bibir.
"Ayo masuklah!" perintah lelaki tersebut kepada Lily.
Lily tak serta merta menurut. Ia bergeming di tempat dan terlihat begitu ragu. Hingga akhirnya, lelaki itu pun berkata lagi dan entah kenapa, dengan bodohnya Lily menurutinya.
"Saya ini kakaknya. Ayo masuk. Kamu pasti Ingin bertemu dengan Russell bukan?" ucapnya dengan sebuah senyuman tipis.
Lily mengangguk dan melangkah masuk. Ia tidak curiga sedikitpun, karena mengira, Russell memang berada di dalam sana.
Lelaki itu pun menggiring Lily ke ruang tamu dan menyuruhnya untuk menunggu di sana.
"Perkenalkan, saya Rainer Cristian Wilson. Kakaknya Russell," perkenalan diri yang lelaki itu lakukan kepada Lily dengan tangan terulur.
Lily tersenyum kaku dan menyambut uluran tangan, dari kakak kekasihnya itu.
"Lily, Kak. Namaku Lily," ucap Lily yang ikut memperkenalkan diri.
Tautan tangan dilepaskan. Rainer nampak memperhatikan tubuh Lily dengan seksama. Terutama, pada bagian atas tubuh Lily.
Rupanya, air hujan yang mengguyurnya tadi. Membuat sesuatu yang berada di depan tubuh Lily menyembul dengan begitu jelas, dan Lily belum menyadari hal itu.
"Kak? Russell dimana ya?" tanya Lily yang membuyarkan sebuah lamunan, yang berisi fantasi liar dari seorang laki-laki dewasa, berusaha dua puluh delapan tahun di hadapannya.
"Tadi Russell mengirim pesan. Dia terjebak hujan di rumah temannya. Tapi, sebentar lagi juga dia kembali. Tunggu dan duduk dulu di sini ya?" ucap Rainer yang dijawab anggukan oleh Lily.
Lily menunggu sejenak. Hingga Russell benar-benar datang. Lalu akan berpamitan pulang setelahnya. Lagipula, di luar sana sedang turun hujan yang sangat deras. Tidak mungkin juga Lily pergi dalam situasi seperti ini.
"Ini ambil. Gantilah pakaian kamu. Nanti kamu sakit. Setelah itu, kamu bisa mengeringkan pakaian kamu dan mengenakannya lagi," perintah Rainer dengan tangan terulur. Ketika ia kembali ke hadapan Lily.
Lily sempat tertegun sebelum akhirnya meraih apa yang lelaki di depannya berikan. Rainer menunjukkan arah kamar mandi dan menggiring Lily ke sana.
Tidak curiga. Dan tidak menyangka. Bila hal tersebut, merupakan awal petaka bagi diri Lily sendiri.
Dan hal itu terjadi, ketika ia yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan mengganti pakaian basahnya, dengan handuk bermodel kimono warna putih.
"Kak? Pakaiannya dikeringkan dimana?" tanya Lily dengan begitu polos. Kepada lelaki yang memandang lapar ke arahnya.
Rainer semakin mendekat kepada Lily, diulurkannya tangan kanan oleh Rainer dan disentuhnya dagu Lily, dengan sembarangan. "You're so beautiful, Dear," ucap Rainer seraya mendekatkan wajahnya.
Seketika Lily membeliak. Ia mendorong tubuh orang yang ingin mendekati itu dan hendak berlari pergi. Namun, sebelum hal itu terjadi. Direngkuhnya tubuh Lily dan dibawanya oleh Rainer ke atas ranjang besar miliknya.
"Kak! Kakak mau apa!" pekik Lily dengan lantang dan dengan kedua kelopak mata terbuka lebar-lebar. Saat tubuhnya dihempaskan begitu saja ke atas ranjang.
"Aku, hanya ingin mencicipi sedikit milik Russell. Aku rasa, dia tidak akan keberatan," ucap Rainer dengan senyum menyeringai, seraya membuka tali baju tidur bermodel kimono, yang melekat di tubuhnya dan melemparkannya dengan secara sembarangan.
Lily terbelalak. Apalagi, setelah melihat enam undakan pada tubuh pria dewasa di depannya. Ia hendak pergi dan turun dari atas tempat tidur. Namun, kakinya direngkuh, serta tubuhnya pun dikungkung oleh Rainer.
"Kak, saya mohon lepaskan saya. Saya mohon jangan seperti ini," lirih Lily dengan nada memelas.
Namun, tidak dihiraukan oleh lelaki yang telah kehilangan kewarasannya. Saat mencium aroma tubuh Lily.
"Sangat wangi. Aku jadi semakin tidak sabar untuk mencicipinya," ucap Rainer dengan senyuman menyeringai.
Rainer berusaha melakukan penyatuan, ditengah Lily yang berusaha melakukan pemberontak. Hingga penyatuan yang akhirnya terjadi dan tak terelakkan lagi.
"What the hell?" ucap Rainer dengan kelopak mata yang terbuka lebar. Saat melihat warna merah segar di bawah sana.
"Are you still a virgin???" pertanyaan yang Rainer layangkan. Kepada wanita yang hanya bungkam, dengan air yang luruh dari sudut matanya yang sendu.
Tak ada jawaban. Bagi Lily, hal itu percuma saja untuk dijawab. Karena apa yang lelaki itu pertanyakan. Sudah berhasil ia ambil saat ini.
"Damn it! I don't care!" cetus Rainer, yang sudah tidak dapat lagi mundur ditengah hasratnya yang sudah sangat menggebu-gebu dan memilih untuk meneruskan kegilaannya.