"Sekarang, kita harus bagaimana, Pa?? Lily butuh solusi. Bukan malah disalahkan terus menerus seperti ini."
Jasmine memulai pembicaraan dari hati ke hati. Setelah laki-laki yang menjadi suaminya itu, telah lebih tenang.
"Harus apa?? Tentu saja kita harus mencari laki-laki itu, dan meminta pertanggung jawabannya!" cetusan kalimat yang tidak serta merta membuat Jasmine setuju. Dan malah ditolak dengan tegas.
"Tidak bisa, Pa! Lily adalah korban dalam hal ini! Setelah apa yang dia lakukan kepada Lily. Apa Papa masih yakin untuk meminta pertanggungjawabannya??" tolak Jasmine.
"Lantas, apa yang ingin kamu lakukan??" tanya Jason.
"Kita laporkan dia. Dia harus diberi hukuman, atas segala perbuatan jahatnya itu!" cetus Jasmine berambisi.
"Dan bagaimana dengan Lily?? Kamu ingin membiarkan dia jadi aib di keluarga kita ini?? Membiarkan setiap orang tahu, bila kita memiliki anak yang hamil di luar nikah. Begitu kah mau mu?" ujar Jason tak kalah ngotot.
Jasmine tertunduk diam. Ia malah semakin bingung saja sekarang. Terjebak di dalam pilihan yang begitu sulit. Antara membiarkan calon cucunya tidak memiliki status yang jelas, atau menjebloskan ayah dari calon cucunya itu ke penjara.
Namun, bila ia pikirkan lagi. Mana mungkin Lily bisa hidup bersama, dengan orang yang jelas-jelas memaksanya dan membuat Lily harus kehilangan kehormatannya.
Ya, tidak bisa. Ia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Lily tidak boleh berakhir menyedihkan dengan laki-laki itu.
"Mama tetap tidak akan membiarkan orang itu tenang, Pa! Dia tidak pantas untuk anak kita. Dia harus mendapatkan hukuman!" cetus Jasmine penuh penekanan.
Jasmine bangkit dari posisi duduk dan berkata,
"Mama akan lihat kondisi Lily dulu," ujar Jasmine seraya berjalan keluar dari dalam kamarnya, menuju kamar putrinya, Lily.
Ketukan pintu Jasmine lakukan pada pintu kamar putrinya. Ia lakukan hingga beberapa kali. Namun, tidak ada jawaban.
"Lily? Buka pintunya, sayang. Kamu sudah tidur?"
Tidak ada yang menyahut atau sekedar membukakan pintu untuk Jasmine. Dengan rasa inisiatif yang begitu besar. Jasmine mengulurkan tangan kanannya dan memutar pegang pintu.
Pintu terbuka dan didorong oleh Jasmine. Dahinya mengernyit, ia tidak menemukan Lily di dalam sana. Namun, pintu kamar mandinya tertutup. Mungkin, ia sedang berada di dalam sana pikir Jasmine.
Tak ingin mengganggu. Mengingat hari sudah malam. Jasmine memutuskan untuk meninggalkan kamar putrinya dan kembali ke kamarnya sendiri.
Membiarkan putrinya itu beristirahat lebih dulu. Sebelum memulai pembahasan yang tidak pernah ada habisnya ini.
Sementara itu di tempat lain.
Lily yang hanya berbalut piyama polos berwarna merah muda, tengah berjalan sendirian sambil mendekap tubuhnya sendiri.
Ia melangkah tanpa tujuan, hanya terus berjalan, mengikuti sepasang kakinya. Tatapan matanya pun kosong.
Namun, pikirannya tengah menerawang jauh. Memikirkan hal apa yang harus ia lakukan sekarang. Benar yang ayahnya katakan. Ia hanya jadi beban dan aib bagi keluarganya.
Mungkin, pergi jauh dari rumah orang tuanya, akan sedikit mengurangi beban moral mereka. Tidak harus memikirkan nasibnya. Tidak perlu lagi merasa malu harus memiliki anak seperti dirinya. Dan yang terpenting dari itu semua, mereka tidak lagi memusingkan harus berbuat apa.
Helaan napas Lily lakukan. Ia bingung. Ia kebingungan sendiri di jalanan yang sepi. Perutnya terasa kram. Efek dari ia yang sudah melangkah dengan cukup jauh. Tanpa peduli, bila kini ia tengah berbadan dua.
Malam kian larut, udara dingin terasa menusuk kulit Lily. Lily masih terus berjalan sambil mengapit kedua tangannya di depan tubuhnya, hingga langkahnya terhenti di sebuah jembatan yang sepi. Lily berbalik dan menatap ke bawah jembatan dengan air yang mengalir tenang.
Mungkin, kalau aku nggak ada. Papa dan Mama tidak akan bingung dan malu. Mungkin sebaiknya, aku pergi. Ya, aku harus pergi. Pergi sangat jauh, sampai tidak ada yang bisa menemukan aku. Berhenti jadi beban untuk Mama dan Papa.
Kedua tangan Lily menyentuh pagar pembatas jembatan. Dilihatnya air di bawah sana. Terlihat menakutkan. Tapi, tidak lebih menakutkan dari kehidupannya yang kelabu ini.
Ya, harus diakhiri. Semuanya harus diakhiri saat ini juga. Jangan sampai ditunda-tunda lagi.
Tiba-tiba saja sebuah mobil melintas. Seseorang yang duduk di kursi belakang tengah menopang dagunya, sambil melihat ke arah luar melalui kaca mobil, mengernyitkan dahi melihat seorang wanita yang mulai mengangkat satu kakinya ke pagar pembatas jembatan.
"Stop! Hentikan mobilnya!" perintah orang tersebut.
Mobil berhenti saat pria di kursi belakang memberi perintah. Kini seorang pria berjas hitam nampak keluar dari dalam mobil, menghampiri wanita yang sudah bersiap melompat ke bawah.
Dengan sigap pria itu menarik pakaian bagian belakang wanita tersebut dengan kasar dan membuat wanita itu jatuh pada d**a bidangnya.
"Hei wanita bodoh! Apa yang sedang kamu lakukan!" pekik pria itu, yang menahan tubuh wanita yang jatuh ke dalam dekapannya.
Wanita itu pun mendongak ke arah pria yang bertubuh tinggi yang mendekap tubuhnya saat ini. Kedua bola mata pria itu membulat, lalu dahinya pun mengerut, melihat wajah wanita dengan rambut panjang, yang menutupi sebagian wajahnya.
Tapi, iris matanya, bibirnya, hidungnya sangatlah familiar. Ia pernah melihatnya. Bukan hanya melihat saja. Tapi, wanita itu adalah wanita yang pernah ia sentuh lebih jauh dan memberikannya kehangatan di malam itu.
"Kamu!!" Kedua mata pria tersebut terbuka lebar dan memekik keras.
Lily membeliak, lalu mendorong kasar tubuh kekar yang mendekapnya dan bergegas menjauh. Dan lelaki tadi adalah orang yang menghancurkan hidup Lily.
Sebuah sunggingan bibir tercipta laki-laki itu ciptakan sambil menatap Lily dengan begitu lekat.
"Hei siapa ini? Kenapa kamu berada di sini hm? Apa kamu sudah bosan hidup? Atau sedang bermain-main dan ingin menarik perhatian orang di tengah malam begini?" cibir laki-laki, yang tidak lain adalah Rainer.
Napas Lily terengah-engah. Muak, marah dan kesal berkumpul menjadi satu di dalam rongga dadanya.
"Pergi kamu!! Pergi dari sini!!!" pekikan yang sangat lantang Lily berikan, saking muak nya.
"Hei, santai lah sedikit. Tidak perlu berteriak. Teriakan kamu itu akan mengundang perhatian banyak orang," ucap Rainer sambil berusaha menyentuh pipi Lily.
Namun, belum sempat tersentuh Lily menepis kasar tangan Rainer dari wajahnya. Rainer tersenyum lebar. Ia benar-benar tidak menyangka, akan bertemu dengan gadis, yang memberikannya sensasi berbeda melalui sebuah penyatuan. Bahkan membuatnya ingin lagi dan lagi.
"Sebenarnya, apa yang sedang kamu lakukan di sini hm?" tanya Rainer lagi.
"Bukan urusan kamu!!" Lily kembali memekik keras. Ia hendak melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah. Kepalanya terasa berputar. Lily bergeming sejenak. Sebelum akhirnya tubuhnya tumbang.
Dengan gerakan cepat, Rainer menangkap tubuh Lily yang mungil. Mencoba menepuk-nepuk pipinya, guna menyadarkan Lily kembali.
"Hei sadarlah!" ucap Rainer.
Tak kunjung membuka kelopak matanya. Rainer mulai membopong tubuh Lily dan membawanya ke dalam mobil miliknya
"Ayo jalan!" perintah Rainer.
Mobil kembali melaju pergi. Membawa turut serta Lily di dalamnya.