2. Kita Putus!

2099 Kata
Semua orang mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi the f*****g bad days— itu istilah yang dibuat Danil untuk mendefinisikan kepenatan b*****t dalam hidup. Dan Vena berusaha keras membunuh kepenatan itu sama kerasnya dengan alunan musik super beat yang menulikan telinganya. Bartender di depannya sudah mengisi gelas keempat berisi martiny. Coba tebak mereka di mana? Iya, benar. Tonights just for clubbing. Dengan membiarkan tenggorokannya terbakar oleh minuman setan itu sambil berharap semua bayangan tentang Fajar ikut hangus malam itu kelempar ke Jahannam. Vena menyapu ruangan yang gegap gempita dengan teriakan dan DJ yang mengentak adrenalin. Ia menggoyangkan kepalanya mengikuti irama. Danil dan Ita sudah hilang entah kemana, Vena yakin mereka pasti sudah basah di pojok ruangan. Vena melihat ponselnya, terlihat jauh saat ia menggapai sampai satu tangan menyabet ponsel itu lalu memberikan padanya. "Hi, girl," sapanya. Gadis itu menyibak rambut yang menutupi wajahnya dan tersenyum konyol pada orang di depannya. Vena terkekeh. "Hi, Jerk. Thanks ya." Pria di depannya tersenyum geli. "Gue Rendy." "Ah, i'm Vena. You can call me baby, dear or—" Mata di depannya membulat tak percaya. "Seriously?" Rendy tertawa lagi saat melihat tatapan mata Vena yang kosong, pria itu tau kondisi Vena yang mabuk saat ini. Vena tertawa kecil. "Yaaa, lo boleh panggil gue apa aja, gue suka sama lo, Jerk! tapii ..." Jemari Vena bermain di d**a Rendy, meraba d**a Rendy seperti menuliskan sesuatu di sana. "Gue nggak mau lo posesif, lo larang gue ini-itu. Gue capeeeekk. Lo tauu?" Rendy menatap Vena sekali lagi. Ini cewek punya riwayat masalah hidup apa sih, batin Rendy. Dengan tampilan kacau seperti ini Rendy menaksir Vena sedang dalam masalah hidup dengan keluarga, bisa jadi dengan pacarnya yang posesif, atau dia malah sudah putus sampai trauma seperti ini? "Udah gelas ke berapa nih?" Rendy memilih bertanya pada bartender di depannya daripada mengurusi Vena di sampingnya. "Empat atau lima kayaknya." Rendy melotot, kembali melirik Vena yang memainkan ponsel di depannya. "Buseet lo, ini cewek loh Den, kayaknya belum pernah mabok, kalo sampe mabok sama siapa ntar dia balik?" Bartender bernama Deni itu tertawa sembari mengedikkan bahunya. "Dia yang minta nambah, kalo dia pingsan harusnya otak lo pinter dikit buat improvisasi itu cewek." Mata Deni mengerling nakal yang dibalas Rendy dengan satu jitakan. Tangan di samping Rendy bergerak kacau dengan kesadaran yang mungkin masih ada atau malah sudah hilang. Vena memencet-mencet asal huruf di keyboard ponselnya kemudian menghapus lagi, nggak beres nih cewek. And, somebody, coba tebak apakah setelah berulang kali memencet huruf dia bakal bicara asal atau malah sumpah serampah. One, two, and ... three! What? Mampus! dia ambruk. *** Rendy tidak tau lagi mana yang lebih g****k dari nolong cewek yang pingsan gara-gara dia pengen mabuk atau bingung mau naruh itu cewek di mana? Karena semua itu sama gobloknya, yang dilakuin Rendy saat ini adalah refleks menggendong Vena dan mengantarnya ke apartemen, oke, kayaknya kata "mengantar" lebih tepatnya diganti "menolongnya sementara tidur" di apartemen milik Rendy. Bisa dibayangin apa yang bakal dilakuin cowok normal saat menuntun cewek sexy yang lagi mabok ke apartemen berdua. Rendy dan Vena, berdua saja. Cowok normal pasti sudah nggak sabar sampai apartemen, nutup pintu dari dalam, hot kissing sampai memble terus kepentok ranjang, dan ... tidak perlu dilanjut lagi pasti sudah faham, kan. Bukan berarti Rendy cowok tidak normal karena dalam keadaan cewek itu mabuk pun dia tidak berani barang mencium bibir Vena yang sejak tadi mengeluarkan desahan dan bergerak-gerak gelisah. Rendy curiga minuman Vena dibubuhi obat perangsang sama Deni pas di kelab tadi. "Jerk, I know you ... if you wanna me, i lets you see the part of me," racaunya. Rendy kali ini mempunyai keyakinan penuh kalau Deni telah mencampurkan bubuk laknat di minuman Vena. Sebelum kewarasannya menghilang, jemari Vena menaut melingkari d**a Rendy, logikanya berjatuhan saat ia melihat bibir gadis itu terbuka. C'mon, Reeen, dia lagi mabok, batinnya menguatkan. Sebelum semuanya terjadi Rendy menepis jemari gadis itu kuat-kuat dan mengambil ponsel Vena yang tergeletak di kasur. Tanpa pikir panjang, ia menghubungi nomor teratas yang menjadi favorit Vena saking seringnya nomor itu memghubungi Vena, Rendy tidak tahu saja, menghubungi nomor itu sama saja memanggil malaikat maut datang ke apartemennya. "Halo, Ven?" "Teman anda ada di apartemen saya. Tolong cepat kesini." "What?!" Dan terdengar suara telepon dibanting setelah itu. Rendy menatap tidak mengerti tapi, pria itu tetap mengirim alamat apartemennya, selang beberapa menit suara ketukan di pintu yang membabi buta seperti ingin merobohkan apartemen itu. "Di mana Vena?" Rendy menunjuk cewek yang sudah lemas dan tertidur di kasur Rendy dengan penampilan kacau pakai banget. "Lo apain dia, Bangsaaat?!" Pria itu mengirim bogeman mentah ke wajah Rendy yang tak tahu apa-apa. "Gue cuma nolong dia aja. Gue nggak apa-apain dia," teriak Rendy sembari terus menangkis pukulan dari pria di depannya. "Dia mabuk berat! Gue nemu dia sendirian di Marc, udah kacau kayak gitu, dan lagi ... gue cuma niat nolong dia!" Fajar menggantungkan gerak tangannya di udara, mengamati wajah keras kepala milik Rendy yang sejak tadi masih ngotot hanya menolong Vena saja. Gadis itu berangkat bareng dengan dua temannya, jadi di sini yang tidak bertanggung jawab adalah Danil dan Ita. Tapi, pria itu kembali menatap Rendy yang menyeka ujung bibirnya, ada darah yang diusap. "Udah lama dia tidur di sini?" Rendy mengernyit. "Dari gue nelfon elo, gue baru aja nyampe apartemen, terus temen lo ini ...." Rendy menatap Vena yang tertidur. Gadis pengacau, pikirnya. "Temen lo itu tadinya ambruk, terus pas gue bawa ke apartemen dia siuman. Makanya gue cepetan manggil orang. Dan nemunya elo," jelas Rendy sembari menekan nada kesal di akhir kalimatnya. Mata Fajar melotot lagi, harus berapa kali dia melotot untuk malam ini saja, semua itu karena Vena. Gadis itu benar-benar bikin naik darah. Cepat ia menghampiri Vena, bau alkohol masih tercium keras dari napasnya, cowok itu memalingkan muka. "Terimakasih sudah menolong Vena." Fajar membopong gadis itu. Ingin secepatnya ia membawa Vena pulang untuk kemudian memarahi gadisnya habis-habisan. "Tunggu!" Fajar menghentikan langkahnya tanpa membalik badan. "Sorry, gue Rendy. Lo siapanya Vena?" Mendengar pertanyaan itu Fajar mengeratkan rahangnya. Pertanyaan yang harusnya dia tanyakan sejak awal, berurusan dengan Vena sama saja berurusan dengannya. "Gue Fajar ... cowoknya Vena." Cowok itu bergegas melangkah, membawa Vena pergi ikut serta dengannya. Gantian Rendy yang melongo, menatap kepergian Fajar dengan satu penyesalan di hatinya. Vena sudah punya cowok! "Harusnya gue tadi nyium itu cewek, cantik parah tu cewek, lah blo'on banget sih gue," sesal Rendy sembari tersenyum-senyum mengingat adegan saat ia menuntun Vena sampai ke apartemennya. "Gilaaaa! baru gue tau dia cantik banget. Sayang banget dia dijaga cowok ...," gumam Rendy menggantung, pikirannya menerawang ke wajah keras Fajar, "yang mirip gorila." *** Vena menyipitkan matanya, menyeimbangkan kekuatan sinar matahari yang menyapa begitu dia membuka mata. And my God! what happen? Dia yakin seratus persen semalam dia mabuk bareng Danil dan Ita di Marc. Yakin seratus persen semalam dia tidak mimpi, tidak juga halusinasi, dan saat ini dia juga yakin seratus persen kalau dia salah tempat. Kenapa dia sampai tidur di kamar Fajar? Sebelum sempat memikirkan hal lain, kepalanya terasa sangat nyeri, buru-buru cewek itu lari ke toilet dan memuntahkan isi perutnya di sana. Vena menyandarkan badannya dan memijit kepalanya pelan-pelan. Menyadari suara lain bergerak ke arahnya, ia kembali terkejut saat Fajar membuka pintu kamar mandi dan menemukannya berlutut di sana. "Udah baikan?" tanyanya lembut. Vena langsung mencureng. "Kenapa gue bisa nyampe kamar lo?" Wajah Fajar langsung mengeras membuat nyali Vena ciut. Mata Fajar meneliti Vena dari atas sampai bawah. Kemudian, pria itu menghela napas pendek. "Sebenernya gue mau ngomel sama lo panjang lebar. Tapi, gue yakin lo pasti laper. Makanya, gue beliin elo ini," ungkapnya sebal. Vena melirik Fajar sebentar, kalau Fajar sudah memakai gue-elo itu tandanya dia marah. Gadis itu kemudian melirik toast box di tangan Fajar. Perutnya memang melilit. Akhirnya ia mengiyakan ajakan Fajar untuk makan dulu. Pria itu menatap cewek di depannya dengan saksama. Harus dimulai dari mana dulu ia bertanya, Vena masih asyik makan roti isi yang dibelikannya. "Semalem kenapa lo masih pergi sama Ita padahal udah gue larang?" tanya Fajar datar. "Soalnya gue pengen keluar. Refreshing setelah seminggu kerja," jawab Vena santai. Fajar mendengkus. "Yang lo maksud sama refreshing harus mabuk gitu? lo nggak tau apa semalem lo dibopong sama siapa, lo gak tau ada cowok yang bawa lo ke apartemennya padahal lo lagi mabuk berat?" Vena tersedak makanan di mulutnya, gadis itu meletakkan makanannya di meja, ia menatap Fajar yang memerah di depannya. "S-siapa?" Fajar menyeringai, semabuk apa Vena semalam sampai dia tidak bisa mengingat dia sempat tidur di apartemen cowok lain. "Semalem lo tidur di apartemen cowok, namanya Rendy. Lo tau gimana pakaian yang lo pake?" Fajar meneliti pakaian yang masih melekat di tubuh Vena. Gadis itu merasa serba salah, untuk detik kemudian terbentik rasa kesal di matanya. "Gue nggak peduli pakaian apa yang gue pake, apakah gue mabuk atau enggak. Terlepas dari semua itu, gue merasa bebas," seru Vena. Perut Fajar seperti ditonjok keras mendengar ucapan Vena yang nampak ringan mengatakannya. Vena memberi jeda sebentar untuk membuat Fajar mencerna ucapannya. "Gue merasa bebas tanpa lo, Fajar." Fajar benar-benar merasa terlempar, ia ingin marah kepada Vena tapi mulutnya seperti terkunci dan ia hanya bisa membiarkan telinganya mendengar ucapan Vena terus merasuk ke dalam telinganya. "Gue nggak suka lo yang posesif sama gue, gue nggak suka lo ngatur gue ini-itu, gue nggak suka lo ngelarang gue komunikasi sama cowok manapun padahal gue nggak ada apa-apa sama dia. Gue capek Fajar, capeeek!" histeris Vena putus asa. Gadis itu menundukkan kepalanya, jemarinya saling bertautan, wajahnya seperti ragu ingin mengatakan sesuatu. "Gue pengen kita putus." Semesta menghantam Fajar, ia menatap Vena tidak mengerti di tengah kekalutan bayangan Vena yang meninggalkannya pergi. "A-apa maksud kamu, Ven?" tanya Fajar ragu. Ia mendengar dengan jelas ucapan Vena barusan. Vena mengangkat sudut bibirnya. "Ucapan gue udah jelas Fajar. Gue mau putus sama lo." "Karena aku posesif? harusnya kamu tau itu semua demi kamu Ven. Aku nggak ingin ada orang yang menyakitimu. Aku ...." Fajar kehilangan kalimatnya, ia menatap Vena sekali lagi, gadis itu masih saja mematung dengan tatapan datar menghunusnya. "Katakan kalo aku buat kamu tertekan, katakan kalo kamu nggak cinta sama aku, aku tau semua ini ... kamu sama aku, kita udah lama banget Ven, harusnya kamu tau, aku pencemburu sekali." Vena makin dongkol. "Terusin aja sifat buruk lo itu, itu tandanya lo nggak percaya sama gue yang bakal bisa jaga kepercayaan lo. Jaga hati gue cuma buat lo." Vena bangkit, mengambil ponsel dan tasnya di kamar Fajar, ia mematung di samping Fajar yang memandangnya perih di balik wajah tegarnya. "Mau ke mana kamu, aku anter kamu balik." "Nggak usah, gue bisa balik sendiri. Mulai detik ini lo nggak perlu urus gue lagi." "Aku nggak bisa," jawab Fajar cepat. "Sebisa mungkin lo kudu jauhin gue, Jar, gue balik." Fajar mengejar Vena yang terus berjalan cepat bahkan ketika orang-orang menatap mereka tidak mengerti, ada drama apa diantara mereka. "Vena tunggu, Ven!" cegah Fajar menangkap lengan Vena. Gadis itu berontak. "Gue mau baliiikkk, gue mau balik. Mau balik. Gue capek, males, bosen sama lo, puaaasss?!" Spontan tangan Vena terlepas dari genggaman Fajar. Cowok itu seperti mendapat beberapa kali tikaman di ulu hatinya. "Oke, Ven. Aku bakal lepasin kamu, aku bakal jaga jarak dari kamu, seperti yang kamu inginkan, tapi aku nggak bisa untuk berhenti menjagamu. Aku sayang sama kamu, Ven." Vena mendecih pelan. Ia mengabaikan omongan Fajar, gadis itu kembali melangkah sebelum satu teriakan membuat d**a Vena seperti dihantam keras-keras. "Kamu nggak bakal lepas dari aku Ven. Aku sumpahin kamu makin cinta sama aku, Vena Sativaa!" seru Fajar di tengah keramaian pagi itu. What the hell? Cowok gila! *** Vena tersentak saat satu kejadian itu terulang di ingatannya. Ia menunggu Fajar di depan mobil seperti perintahnya dengan nurut. "Fajar sudah jadi mantan gue, kenapa gue masih bisa senurut ini sama dia siiiiih," gerutunya gemas. "Karena kutukan mantan lebih manjur. Itu namanya kekuatan cinta." Sebuah suara menyeletuk dari belakangnya. Fajar menyeringai. Vena melirik paper bag di tangan cowok itu. "Ambil ini, besok jangan pake baju kayak gini, aku nggak suka." "Gue nggak mau, lo itu cuma mantan." Fajar tertawa. "Vena ... Vena, nggak usah childish deh. Meskipun mantan, bukan berarti aku nggak bisa ngasih kamu apa-apa lagi, tenang aja, aku sama sekali nggak kerepotan kok, apalagi ini buat kamu," ujarnya sok manis. Vena memutar bola matanya malas, apalagi saat Fajar mengatainya childish. "Oke, makasih, gue terima nih biar cepet kelar." "Gitu dooongg, besok jangan lupa pake baju warna biru itu, kamu pasti cantik pake warna biru," pesan Fajar. "Ohiya, besok nggak usah pake make up terlalu tebel, kamu udah cantik natural gini, Ven. Meskipun udah luntur-luntur kamu masih cantik." Vena memegang kedua sisi kepalanya. Hanya Fajar, mantan rasa pacar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN