09 - Duka dan Kenyataan 2

1309 Kata
Nana terbangun dalam keadaan pusing bukan main. Kepalanya benar-benar terasa sakit. Namun, tubuhnya juga terasa dingin meski ia sudah diselimuti dan AC ruangan pun bekerja normal sebagaimana mestinya. “Kakak, Kak Arsen,” panggil Nana, pada dua pria yang tampak sedang sibuk mengobrol di ruangan yang sama dengannya itu. Dua pria itu menoleh. Salah satunya langsung menghampiri Nana dengan raut wajah khawatir. “Ada apa? Apa kamu perlu sesuatu? Ada yang sakit? Atau kepala kamu pusing?” berondong pria itu. Nana tersenyum lemah. “Cuma pusing sedikit. Tapi pelan-pelan sudah mendingan.” Pria itu menghela napas lega sebelum akhirnya menoleh ke belakang, ke arah pria yang satunya. “Kamu nggak ada niatan coba memeriksa keadaan Nana, Sen?” tegur pria itu - Arka. Arsen menghela napas panjang. Ia menatap Nana sekilas, kemudian membalas tatapan Arka padanya. “Maaf, Kak. Aku harus kerja.” Dingin. Nana bisa merasakan sikap suaminya itu berbeda dari biasanya. Bahkan, tatapannya beberapa waktu yang lalu pun terasa berbeda. Nana berusaha mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi padanya sebleum ini. Dan akhirnya ia sadar, jika saat ini ia berada di sebuah kamar rawat di rumah sakit. Nana bangkit dalam sekejap. Pupil matanya melebar, menoleh ke segala penjuru seolah sedang mencari sesuatu. “Kak, HP Nana di mana?” tanya Nana pada sang kakak. Arka pun segera memberikan ponsel adiknya yang tadi sempat Arsen titipkan padanya. Nana meraih benda pipih itu cepat, lalu membuka beberapa riwayat pesan terakhir untuk memastikan sesuatu. Selang satu menit kemudian, ponsel itu terjatuh dari pegangan Nana, membuat Arka terkejut dan kembali mengkhawatirkan keadaan adik tirinya itu. “Na, ada ap-” “Raga! Di mana Raga, Kak? Dia masih hidup, kan? Dia nggak mungkin meninggal, kan?” tanya Nana. Perempuan itu memaksakan diri untuk turun dari brangkar meski keadaannya belum kuat. Alhasil, ia hampir saja terjatuh andai bukan karena Arka yang sigap menolongnya. “Nana!” sentak seorang pria paruh baya yang baru saja datang. “Papa?” lirih Nana. Ia begitu takut melihat raut amarah di wajah ayahnya. Namun, untuk saat ini Nana juga tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya tentang Raga. “Kamu masih memikirkan pria itu, bahkan meski pun kamu sudah menikah?” heran Pak Chandra. Beliau tidak sengaja mendengar Nana mengucapkan nama mantan kekasihnya itu tadi. Dan ia sangat marah mengetahui hal tersebut. Membayangkan bagaimana jika Arsen ada di sana dan turut mendengarnya. “A- aku mau ketemu Raga,” ucap Nana. Kaki lemah perempuan itu berusaha melangkah. Namun, ia tak bisa melakukannya tanpa bantuan Arka. “Aku mohon, Kak, kali ini saja! Raga … dia meninggal.” Arka tidak tampak terkejut mendengar berita itu. Berbeda dengan Pak Chandra yang tampaknya baru saja mendengar kabar itu dari mulut putrinya. “Aku mohon. Aku cuma mau bertemu Raga untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin mengantar dia pergi ke peristirahatan terakhirnya,” cicit Nana, berharap sang kakak luluh dan bersedia membantunya. “Oke. Tapi hanya kali ini saja ya, Na. Setelah itu, janji sama Kakak kalau kamu akan jadi wanita yang lebih kuat, meski tanpa dia!” pinta Arka. Nana mengangguk. “Aku janji. Antar aku sekarang, Kak!” Arka membantu Nana untuk duduk, lalu ia mengambil kursi roda di luar. Pak Chandra hanya terdiam. Pria paruh baya itu seolah sedang memikirkan banyak hal. Sebenarnya, ia tidak setuju jika Nana akan menemui Raga, meski itu hanya untuk yang terakhir kali, persis seperti yang Nana katakan. Ia khawatir hal itu akan sampai di telinga keluarga besannya dan menimbulkan masalah bagi mereka kelak. Namun, sebagai seorang ayah, Pak Chandra bisa merasakan apa yang kini sedang bergejolak di hati putrinya. Nana sedang hancur. Benar-benar hancur, seperti saat ia kehilangan ibu Nana belasan tahun yang lalu. Pak Chandra tak kuasa untuk menahan langkah Arka yang mendorong kursi roda Nana pergi dari sana. Meski tahu hal itu bisa sangat berbahaya untuk keharmonisan keluarganya dengan keluarga Arsen, nyatanya untuk lali ini Pak Chandra memilih untuk berempati pada putri kecilnya. “Papa memang nggak bisa melakukan banyak hal buat bahagiain kamu. Tapi, Papa melakukan semua ini demi kebaikan kamu sendiri, Na. Maafin Papa. Papa harap kamu bisa mengerti suatu hari nanti,” monolog Pak Chandra setelah putra-putrinya keluar dari ruang rawat tersebut. *** Terlambat. Nana terlambat mengikuti acara pemakaman Raga. Pria itu sudah dikebumikan pagi tadi, dan kini makamnya sudah sepi. Hanya ada Dara dan Alice di sana. Mereka menatap Nana sebentar sebelum akhirnya mundur untuk memberi ruang bagi Nana agar bisa mendekat ke pusasra Raga. Nana menjatuhkan dirinya di tanah. Ia dekap nisan bertuliskan nama sang mantan kekasih itu dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir dari kedua matanya. “Andai kamu ikut aku waktu itu, mungkin Raga tidak akan pergi dengan semenyedihkan ini, Nana. Kamu yang t***l! Kamu egois dan bodoh sampai-sampai kamu mengabaikan permintaanku saat itu!” sentak Alice. Dara menahan Alice agar tidak bicara lebih jauh. Biar bagaimana pun, mereka semua sedang dalam keadaan berduka saat ini. “Aku nggak tahu semua akan jadi seperti ini. Aku nggak tahu kalau kamu-” “Kamu memang bodoh, Na! Dan aku nggak terima melihat orang sebaik Raga harus mengalami penderitaan ini hanya untuk wanita bodoh sepertimu!” potong Alice. “Alice, diamlah! Lebih baik kamu pulang sekarang!” usir Dara. “Kak, Kakak sudah tahu semuanya, kan? Kakak tahu gimana menderitanya Raga selama ini karena dia, kan? Apa Kakak masih akan diam saja? Wanita sialan ini bahkan masih bisa tertawa dengan suaminta itu di saat Raga kritis dan terus mengigau menyebut namanya. Hatiku sakit, Kak, tiap kali mendengar nama itu terus keluar dari bibir Raga. Aku sakit menyadari bahwa Raga masih terus mencintai wanita yang telah menghancurkannya,” ujar Alice. Nana hanya bisa menangis tersedu tanpa menyahuti sedikit pun ucapan Alice. Ada beberapa hal yang ia baru tahu bahkan. Mulai dari Raga yang selama ini menyimpan penderitaannya sendirian, Raga yang terus mengingat dan mencintai Nana dalam keadaan komanya, dan sebagainya. Berbulan-bulan Nana menganggap Raga sebagai penjahat di hidupnya yang harus ia lupakan. Tanpa ia tahu jika selama ini Raga masih terus mencintainya, dan sengaja menjauhinya agar Nana tak terlalu kehilangan saat ia pergi seperti ini. Nana yang dulunya menganggap Raga telah mengkhianati hubungan mereka, justru kini berbalik, merasa seolah dirinya lah yang telah mengkhianati pria itu. “Maaf. Maafkan aku, Ga. Aku benar-benar nggak tahu. Maaf karena udah menyerah begitu saja. Harusnya saat itu aku tetap keras kepala menempel padamu. Harusnya aku tetap berada di sisimu, bukannya berusaha move on dan malah melupakanmu,” isak Nana. Nana dapat merasakan tepukan pelan di bahunya. Saat Nana menoleh, ia mendapati Dara berdiri di belakangnya. “Ini bukan salah kamu, Na. Raga memang sengaja melakukan ini demi kamu, agar kamu bisa terbiasa tanpanya. Jika saat itu kamu tetap bertahan, justru Raga pasti akan semakin sedih. Ia tidak mungkin sanggup melihat air matamua yang tumpah karena dia setiap hari,” terang Dara. Sepupu Raga itu berusaha untuk menguatkan Nana. Karena Dara tahu, betapa berharganya Nana untuk Raga. “Raga pasti akan sangat sedih kalau melihat kamu seperti ini. Plis, bangkit, Na! Wujudin harapan Raga! Demi Raga, kamu harus bisa meraih kebahagiaanmu sendiri! Kamu harus bisa bangkit dan melupakan dia. Itu yang Raga mau, Na,” lanjut Dara. Dada Nana terasa sangat sesak. Ia masih belum menyangka jika Raga akan pergi secepat ini, dengan cara yang seperti ini pula. Nana benar-benar merasa sangat kehilangan. ‘Ga, ternyata aku lebih ikhlas merelakan kamu untuk wanita lain, dibanding aku harus melepasmu pergi untuk selamanya dengan cara seperti ini.’ ‘Terima kasih sudah singgah di hidupku dalam waktu yang cukup lama. Terima kasih kamu sudah mengajarkanku tentang apa itu indahnya cinta. Terima kasih sudah menjadi salah satu alasanku untuk bahagia beberapa tahun belakangan.’ ‘Ga … istirahat yang tenang di sana, ya! Bantu aku biar bisa melepasmu dalam damai. Bantu aku untuk bisa meraih bahagiaku sendiri, seperti yang kamu inginkan. Kamu pria yang baik. Aku akan selalu berdoa untukmu, agar kamu diberi tempat terbaik di sana.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN