Dua bulan sudah Nana berpisah dengan Raga. Kosong. Ia masih saja merasakan ada yang kurang dalam hidupnya. Biar bagaimana pun, berpisah dengan seseorang yang telah mengisi hari-hari kita selama bertahun-tahun itu tidak mudah. Begitu pun dengan Nana yang masih sering merasa rindu akan hadirnya sang mantan kekasih.
Dua minggu terakhir - tepatnya setelah sang ayah tahu jika hubungan Nana dan Raga sudah kandas, beliau mulai berniat untuk mengenalkan Nana dengan anak-anak rekan kerjanya. Pria-pria yang menurut beliau lebih baik dan layak bersanding dengan seorang Karina Maharani, putri kesayangannya. Namun, tentu saja Nana tidak mau.
“Kamu nggak mau coba pertimbangkan saran dari Papa?” tanya Arka, kakak tiri Nana yang saat ini berkunjung ke apartemen gadis itu.
Nana menghela napas panjang. Ia pikir, Arka akan menjadi satu-satunya orang yang netral dan tidak mendukung niat ayah mereka itu.
“Soal rencana Papa buat kenalin kamu ke anak teman-teman Papa,” imbuh Arka. Mungkin ia pikir Nana belum mengerti ke arah mana pembicaraannya saat ini.
“Kakak dukung ide Papa itu? Kok gitu, sih? Aku udah berharap banyak kalau Kakak bakalan ada di pihak aku, loh,” keluh Nana.
“Kakak nggak dukung siapa-siapa. Cuma Kakak ngerasa, saran dari Papa nggak ada salahnya buat dicoba. Lagian mau sampai kapan kamu galauin cowok yang jelas-jelas udah nyakitin kamu kayak gitu?” ketus Arka.
Nana memikirkan ucapan Arka. Sesekali, mereka masih memiliki bahan untuk berdebat. Namun, semakin banyak yang mereka perdebatkan, maka semakin condong pula Nana untuk setuju dengan pandangan sang kakak.
Satu minggu kemudian, setelah menghadiri beberapa perkenalan dengan anak-anak teman sang ayah, Nana bertemu dengan pria lain yang kali ini cukup menarik perhatiannya.
Namanya Arsen. Dia adalah seorang dokter spesialis patologi klinis di salah satu rumah sakit milik keluarganya. Hal pertama yang membuat Nana merasa sosok kali ini berbeda adalah, saat pertama Arsen menghubunginya. Pria itu langsung berterus terang dan mengatakan semuanya dengan jelas.
Arsen juga mengatakan jika dia bukan pria yang sudah siap dengan komitmen. Namun, setelah mengenal Nana, ia merasa bisa mempertimbangkan ulang hal itu.
Beberapa hari kemudian, Arsen mengajak Nana pergi ke reuni SMA-nya. Karakternya yang cenderung tertutup membuat ia tidak terlalu nyaman saat harus bergaul dengan orang-orang yang ia temui. Maka dari itulah ia memutuskan untuk mengajak Nana.
“Kamu beneran nggak mau aku ambilkan minum?” tanya Arsen untuk ketiga kalinya. Dan Nana masih setia menggeleng.
“Aku benar-benar nggak haus. Lagi pula malam ini dingin, bikin tambah malas minum,” jawab Nana.
Arsen juga sudah menawari Nana untuk memakan beberapa makanan yang tersedia. Namun, Nana masih juga menolak.
Nana menolak bukan tanpa alasan. Melainkan, karena ia melihat kemunculan seseorang yang ia pikir harusnya tidak ada di acara ini. Bahkan, jarak antara dirinya dan orang itu tidaklah jauh. Mereka nyaris saling berhadapan, jika tidak karena Nana yang memiringkan tubuhnya dan beridiri sedikit di belakang Arsen.
Nana sadar, sedari tadi orang itu terus mengawasinya. Tatapan pria itu membuat sisi rapuh Nana kembali ke permukaan. Lebih dari dua bulan ia berusaha untuk menata hati pasca kepergian orang itu, tetapi sialnya malam ini mereka justru kembali dipertemukan dalam waktu yang tak terduga seperti ini.
“Oh iya, Ga, kenalin ini Arsen sahabatku. Dan ini … siapa, Sen? Aku malah baru sadar kamu datang sama perempuan cantik. Pacar?” ucap pria yang berdiri tepat di hadapan Arsen.
“Oh, she is Karina, my friend, maybe,” Arsen tampak ragu menjawab tentang status Nana dengannya.
“Oh … I see. Salam kenal, Karina. Kenalkan, namaku Dicky, sahabat Arsen. Dan ini sepupuku, Raga,” ujar pria itu memperkenalkan dirinya dan Raga.
“I- iya. Salam kenal,” balas Nana. Di antara keempatnya, hanya Nana yang tampak canggung dan gugup. Raga yang sejak tadi memilih untuk diam pun cenderung lebih bisa untuk menutupi keterkejutannya melihat Nana tiba-tiba berada di sini.
“Ada apa?” Arsen yang merupakan seorang dokter, tentu dapat menangkap dan memahami adanya gerak-gerik aneh pada partnernya tersebut. “Kamu ngerasa nggak nyaman?”
Nana menggeleng. “Cuma agak sakit perut,” bohong Nana. “Kak, boleh aku izin pulang dulu? Kakak kalau masih mau di sini nggak apa-apa. Aku bisa pulang pakai taksi. Lagi pula apartemenku nggak jauh dari sini,” tanya Nana.
“Kamu sakit?” tanya Arsen cepat.
“Enggak. Eh, iya. Aku nggak tahu gimana deskripsiinnya. Yang aku tahu, kayaknya aku butuh rebahan sekarang. Jadi kalau boleh, aku mau pulang duluan,” pamit Nana.
“Aku antar. Sekalian kalau perlu, kita ke rumah sakit,” putus Arsen.
“Eh, nggak perlu ke rumah sakit. Aku cuma butuh istirahat,” tolak Nana.
Arsen mempercayai ucapan gadis itu karena melihat wajah Alea yang tampak sedikit pucat, dan keningnya yang berkeringat. Ia pun tidak tega untuk tidak mengabulkan keinginan gadis itu.
“Dicky, Raga, sepertinya kami harus pulang dulu. Next time bisa kita agendakan lagi kalau mau ketemu. Pamitin juga ke yang lain, ya!” ujar Arsen.
“Wah duh, kenapa nih, Bro? Something happen?” tanya Dicky, selaku orang yang paling dekat dengan Arsen sejak di bangku SMA. Dan sejak tadi ia tidak mendengar pembicaraan antara Nana dan Arsen karena keduanya mengobrol dengan volume berbisik.
“Enggak. Karina butuh istirahat,” jawab Arsen.
Dicky mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu, Raga justru mengernyitkan alis menahan rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada mantan kekasihnya itu.
“Kak, Kakak nggak perlu ikut pulang. Biar aku-”
“Aku yang bawa kamu ke sini. Itu artinya aku harus bertanggung jawab sampai akhir,” potong Arsen.
Dan setelahnya, Arsen benar-benar mengantar Nana pulang. Awalnya, Arsen menawarkan diri untuk memeriksa keadaan Nana. Namun, takut kebohongannya akan terbongkar, ia mencari seribu satu alasan untuk membuat pria itu segera pergi dari apartemennya.
Namun ternyata, setelah pergi pun Arsen tetap menghubungi Nana, mempertanyakan keadaan terbaru Nana saat ini selama berkali-kali melalui pesan singkat.
[Karina, kamu yakin kamu baik-baik saja? Gimana perutnya? Udah baikan?] tanya Arsen mengingat terakhir yang ia lihat.
[Aku okey, Kak. Maaf tadi Kakak jadi harus bolos dari acaranya. Padahal tadi aku pulang sendiri juga nggak apa-apa kalau Kak Arsen masih mau di sana.]
Setelah membalas pesan dari Arsen, Nana memejamkan matanya. Ia teringat kembali dengan wajah Raga saat di acara reuni tadi. “Dua bulan, Ga, aku berusaha buat lupain kamu. Tapi malah takdir mempertmukan kita lagi dengan cara seperti ini.” Rasanya, ia masih tidak menyangka jika dirinya bisa bertemu dengan Raga secara tak terencana seperti ini.
Terlalu sibuk melamun, Nana sampai terkejut saat mendengar bel apartemennya berbunyi. Padahal ini sudah sekitar jam sembilan. Siapa juga yang bertamu ke apartemennya malam-malam begini?
”Maaf, dengan Mbak Karina?”
Nana mengangguk, menatap heran ke arah kurir makanan di hadapannya. “Iya, Pak. Tapi maaf, saya nggak ngerasa pesen makanan kok. Mungkin Bapak salah antar?”
“Tidak, Mbak. Ini memang yang pesan atas nama Mas Arsen. Cuma dikirimnya buat Mbak Karina, begitu,” ucap kurir makanan itu.
Nana pun segera menerimanya, lalu mengucapkan terima kasih. Ini sudah jam sembilan malam, dan bisa-bisanya Arsen tiba-tiba saja mengirimkan makanan sebanyak ini.
Namun … ini benar-benar kiriman dari Arsen, kan?