06 - Kisah yang Sempurna

1277 Kata
Tak henti-hentinya Nana mengagumi ruang kerja suaminya yang sangat bersih dan rapi. Di dalam ruangan berukuran dua puluh meter persegi itu juga terdapat dispenser dan peralatan untuk membuat minuman. “Kamu mau minum apa? Biar aku yang siapkan,” tawar Arsen. “Kak, ini beneran ruangan Kakak sendiri? Aku baru tahu ruangan dokter sebesar ini, apa lagi fasilitasnya juga bisa lengkap banget begini. Ini mah sama ruanganku di butik aja besar dan lengkap ini, Kak,” tanya Nana. Arsen terkekeh. Ia membuat dua cangkir teh untuk dirinya dan Nana, kemudian membawanya ke hadapan gadis itu. “Silakan diminum! Aku senang kamu datang. Sering-sering main ke sini, ya!” ucapnya. Nana tersenyum cerah dan segera meminum teh yang disiapkan suaminya. Saat ini, Arsen sudah melepaskan jas putih kebanggaannya. Ia hanya mengenakan atasan kemeja yang lengannya ia gulung setengah, agar tampak santai dan bisa mengimbangi gaya berpakaian sang istri. “Ini rumah sakit Papa,” ucap Arsen tiba-tiba. Nana melebarkan pupil matanya. “Apa? Bisa diulangi?” “Ini rumah sakit Papa, Papa Tama. Jadi, harus aku akui kalau aku memang diperlakukan dengan spesial di sini,” ulang Arsen. Nana terbatuk-batuk karena terkejut. Ia tidak tahu kalau mertuanya bahkan punya rumah sakit sendiri seperti ini. Dan suaminya, bekerja di rumah sakit milik keluarganya sendiri. “Nggak usah terlalu kaget. Lagian ini punya Papa, bukan punyaku. Aku ini cuma generasi ketiga penerus bisnis keluarga. Jadi memang tinggal menikmati fasilitasnya aja. Lagi pula aku juga nggak terlalu ngurusin soal urusan manajemen. Jadi memang pure, aku benar-benar cuma numpang cari nafkah aja,” terang Arsen. “Aku nggak tahu Papa Tama sampai punya rumah sakit,” heran Nana. “Kamu nggak tahu kalau Papa kaya?” canda Arsen. “Ya tahu. Tapi aku sebatas tahu kalau Papa Tama punya agensi musik doang. Nggak tahu kalau di balik itu masih ada bisnis-bisnis yang lain,” jawab Nana. “Iya, nggak apa-apa. Lagi pula itu semua punya Papa. Yang harus banget kamu tahu itu sesuatu yang menyangkut aku. Dan kamu cukup tahu kalau aku adalah seorang dokter, bukan eksekutif sebuah perusahaan besar seperti Papa dan kakakku,” jelas Arsen. Nana mengangguk. “Aku juga nggak mau terlalu musingin soal hal-hal seperti itu. Cuma … beneran kaget aja.” Nana benar-benar terkejut dengan kenyataan itu. Meski Arsen menekankan jika dirinya tidak ikut campur soal urusan manajemen, tapi tetap saja Arsen adalah salah satu pewaris dari kerajaan bisnis ayahnya. Itu artinya Arsen adalah orang yang sangat kaya juga, kan? “Kenapa? Kamu nggak kecewa, kan, mengetahui kalau aku bisa menggapai posisi ini dengan begitu mudah karena privilege anak pemilik rumah sakit?” tanya Arsen. Nana menggeleng cepat. “Enggak lah. Biar bagaimana pun Kakak udah bekerja keras buat dapat gelar dokter. Apalagi spesialisnya. Terus juga faktanya Kakak bisa membuktikan kalau Kakak memang layak berada di posisi ini, kan? Privilege yang Kakak miliki itu cuma salah satu jalan Tuhan buat mempermudah langkah Kakak. Selebihnya, semua ini juga berkat usaha Kakak sendiri.” Arsen tersenyum. Ia beruntung memiliki Nana yang punya pemikiran sangat terbuka. “Ya … siapa tahu aja selama ini kamu ngira kalau aku bisa sampai di tahap ini karena memang pure atas usahaku sendiri. Kesannya aku kayak hebat dan pinter banget aja bisa menyelesaikan program spesialis dan langsung dapat pekerjaan yang bagus di usia segini.” “Di mataku Kakak tetap hebat, kok. Aku aja nggak yakin kalau aku bisa masuk Fakultas Kedokteran. Apalagi jadi dokter spesialis yang hebat seperti Kakak,” puji Nana dengan senyum lembutnya yang menenangkan. Semakin dilihat, keduanya tampak semakin serasi sebagai pasangan suami istri. Seakan mereka memang diciptakan untuk melengkapi satu sama lain. *** “Karina, kamu lebih suka tinggal di apartemen seperti ini atau rumah biasa?” tanya Arsen. Saat ini keduanya sedang bersantai di rumah, dan Arsen sibuk melihat-lihat akun seorang arsitek yang sering membagikan hasil desainnya. Nana yang sedang memainkan ponselnya pun sontak mengalihkan perhatiannya. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah sang suami. “Kok tiba-tiba tanya soal itu?” “Aku lagi lihat-lihat desain rumah nih. Kayaknya bagus. Kamu mau lihat?” Arsen menyodorkan ponselnya pada Nana, agar Nana juga bisa memberi pandangannya terhadap idenya tersebut. Nana pun menerima uluran ponsel Arsen. Ia melihat desain rumah yang disajikan dalam bentuk tiga dimensi tersebut. Memang bagus. Desainnya minimalis, tapi terkesan elegan dan modern. Sekilas saja Nana bisa melihat kenyamanan yang ditawarkan pada rumah itu. “Bagus. Tapi buat sekarang-sekarang, kayaknya praktis kalau kita tinggal di apartemen aja nggak sih, Kak? Maksudnya, kita kan cuma berdua, sama-sama seharian sibuk kerja juga. Tempat tinggal cuma buat sarapan sama numpang tidur. Kalau apartemen kesannya lebih simpel dan ngurusnya gampang,” ucap Nana mengemukakan pendapatnya. Arsen mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. “Benar, sih. Tapi, semisal kamu mau kita pindah ke rumah, kita bisa memperkerjakan asisten rumah tangga nanti. Biar kamu juga nggak ribet juga ngurusin ini itu.” “Aku masih lebih nyaman seperti ini sih, Kak. Lagi pula, kalau cuma tinggal berdua gini juga piring kotornya nggak banyak. Yang harus disapu dan dipel juga nggak banyak. Kalau cucian, semisal aku lagi sibuk atau capek, di lantai bawah kan ada loundry,” terang Nana. “Oke. Kalau gitu, untuk sementara kita tetap tinggal di sini dulu aja. Semisal nanti kamu berubah pikiran atau mau suasana baru, bilang ya, Na! Aku mau kamu benar-benar nyaman tinggal sama aku,” kata Arsen dengan begitu tulus. Nana tersenyum. Ia memeluk Arsen dari samping dan mengucapkan terima kasih berkali-kali pada sang suami yang selalu memikirkan tentang kebahagiaan dan kenyamanannya itu. “Itu sudah menjadi tugas aku, Karina. Apalagi kita juga sedang dalam masa pendekatan. Wajar kalau aku mau tahu banyak tentang kamu, dan mau kamu terbuka sepenuhnya sama aku. Kita sama-sama menjalani pahit-manisnya kehidupan rumah tangga ini bersama, ya, Na. Sama-sama belajar,” balas Arsen. Nana tersenyum miris. Mendengar ucapan Arsen yang menginginkan tentang keterbukaan, membuat Nana teringat akan sesuatu yang masih ia sembunyikan dari suaminya itu. Tentang hati dan perasaannya yang masih tercurah untuk satu nama - pria yang bahkan tak lebih baik dari Arsen dan justru pernah menorehkan luka yang begitu dalam bagi Nana. Dan pria itu adalah Raga. ‘Padahal luka yang kamu sebabkan aja udah dalem banget buat aku, Ga. Dan jelas-jelas di hadapan aku sekarang ada Kak Arsen yang nyaris sempurna sebagai suami. Tapi kenapa aku masih saja memikirkan tentang kamu? Kenapa perasaan nggak rela itu masih saja ada, meski aku tahu kita memang sudah tidak akan mungkin bisa untuk kembali bersama?’ *** Nana merasa pusing dua hari ini. Ia bahkan tidak bisa fokus bekerja. Semangat kerjanya menurun, dan perasaannya tidak nyaman. “Mbak Nana, ini ada kiriman makanan. Katanya dari Pak Arsen,” kata salah seorang pegawai Nana yang baru saja mengantarkan bingkisan ke ruangannya. Nana mengangkat kepalanya, menatap bingkisan itu dengan alis mengernyit. Dari mana Arsen tahu kalau dia belum makan? Baru saja Nana berniat untuk menghubungi Arsen, ternyata di ponselnya sudah ada beberapa pesan dari pria itu. Mulai dari saat Arsen menanyakan apakah Nana sudah makan, mengajak Nana makan siang bersama, sampai mengkhawatirkan Nana karena Nana tak kunjung membalas pesannya. “Astaga! Aku kenapa, sih?” runtuk Nana. Ia merasa ceroboh karena sudah membuat suaminya khawatir. Ia pun segera menghubungi Arsen, mengatakan jika ia tadi sedang sibuk bekerja dan akan segera memakan makanan yang telah Arsen pesankan untuknya. Keduanya hanyut dalam obrolan ringan, dan siang itu mereka makan bersama secara virtual. Bukankah kehidupan rumah tangga Nana begitu sempurna? Padahal, seharusnya di dunia ini tidak ada hal yang bisa berjalan begitu mudah tanpa adanya ujian. Dan cepat atau lambat, ujian itu pasti akan datang ke dalam biduk rumah tangga Nana dan Arsen. Tinggal bagaimana nanti mereka akan menyikapinya. Akankah mereka berhasil melalui badai itu kelak?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN