Ketika Jim membawanya berkendara menghadiri teater malam itu, Rita nyaris tidak berbicara. Jim pulang lebih cepat dari dugaannya sehingga Rita kesulitan untuk menghubungi David dan mengatakan rencananya yang berubah karena kehadiran Jim. Akibatnya, Rita dilanda oleh perasaan khawatir di sepanjang perjalanan. Beruntungnya, mobil mereka mengalami kendala di tengah jalan sehingga mereka harus berhenti di bengkel selama beberapa menit. Sementara Jim sibuk berbicara dengan petugas bengkel tentang aki mobil yang perlu diganti, Rita pergi untuk mencari toilet umum terdekat. Ia mengambil kesempatan itu untuk menghubungi David, mengatakan bahwa ia dan Jim akan datang sedikit terlambat karena harus memperbaiki mesin mobil mereka dan Rita meminta agar David tidak menceritakan pertemuan-pertemuan mereka pada Jim.
Lima belas menit berikutnya, Jim sedang berdiri di belakang kotak minuman, laki-laki itu kembali dengan membawa dua gelas kopi panas dan menyerahkan satu gelas pada Rita. Mereka duduk menunggu sementara petugas bengkel itu memperbaiki mesinnya.
“Maaf, ini benar-benar diluar kendaliku. Mobil itu sudah kuperiksa minggu lalu, sebelumnya mesinnya baik-baik saja. Kurasa karena aku jarang menggunakannya.”
“Tidak masalah. Terima kasih untuk kopinya.”
“Kuharap temanmu tidak menunggumu.”
Rita tersenyum kaku. Ia menunduk ketika menyadari Jim memandanginya.
“Kau baik-baik saja?”
“Ya.”
“Mengapa aku merasa kau tidak senang malam ini?”
Pertanyaan itu adalah jebakan. Sebuah perangkap yang selalu digunakan Jim untuk memanipulasi emosinya. Seharusnya Rita tidak mengabaikannya, pengamatan Jim setajam pisau. Laki-laki itu memiliki kemampuan untuk meruntuhkan emosi seseorang. Memancing perdebatan adalah keahlian Jim dan setelah bertahun-tahun, pendekatan itu terkesan familier, sebuah intuisi yang tidak akan mengejutkan Rita.
“Benarkah? Bagaimana aku terlihat?”
Rita mengangkat wajah, menantang Jim sembari mengumpulkan keberaniannya. Kemudian laki-laki itu menunduk, mencium bibirnya hingga Rita menegakkan punggungnya dengan kaku. Pada akhirnya Rita menyerah. Ia menjauh dan menunduk untuk membenahi keliman mantelnya.
“Maaf,” ucap Rita, merasa takut untuk menghadapi reaksi Jim atas sikapnya. Kemudian penyesalan itu muncul begitu cepat, jauh di luar dugaannya. Seharusnya Rita tidak menghindar – seharusnya ia tahu bahwa tindakan sekecil apapun diperhitungkan.
“Kenapa?”
“Hanya saja ini tempat umum.”
“Kenapa, kau tidak suka bermesraan di tempat umum?”
“Jim.. kumohon.”
Laki-laki itu mengangguk, namun dari perubahan emosinya Rita menyadari bahwa ucapannya baru saja mengacaukan suasana hati Jim. Itu bukan hal yang berarti baik dalam sudut manapun. Tapi Jim telah melempar kopinya ke dalam tong sampah dan bergerak meninggalkan Rita. Laki-laki itu menunggu hingga petugas bengkel selesai memperbaiki mesin mobilnya.
Ketegangan kembali berlangsung dalam sisa perjalanan mereka. Hasilnya, Jim menolak untuk berbicara hingga mereka sampai di teater. Pertunjukan nyaris berakhir ketika Rita baru saja menempati kursinya. Dari tempatnya duduk, ia menyaksikan David muncul di atas panggung dan seorang balerina yang bergerak dengan leluasa di sekitarnya. Rita menelan liur di sepanjang acara. Ia merasa bahwa Jim sedang mengamatinya. Rita dapat menyadari hal itu karena kuku-kuku jari Jim menekuk dengan kaku, nafasnya seakan tertahan dan dalam jarak sedekat itu, Rita nyaris bisa merasakan panas tubuh Jim akibat emosinya.
Saat acara berakhir, Harold mendekati mereka. Laki-laki itu cukup familier untuk Jim sehingga Rita tidak perlu memperkenalkan mereka, namun itu adalah percakapan pertama Jim dengan David. Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan. Rita berusaha mengurai ketegangan yang dialaminya, tidak hanya sekali ia mendapati David merilik ke arahnya dan Rita membalas lirikan itu dengan kaku. Ia tidak yakin apa yang membuatnya lebih gelisah: ketegangan di sekitarnya atau keberadaan Jim. Yang pasti, Rita menyelesaikan obrolannya lebih cepat, menarik Jim untuk meninggalkan teater dan mengangguk ke arah David. Laki-laki itu memahaminya karena David segera mencari alasan untuk meninggalkan mereka ke belakang panggung.
Dalam perjalanan pulang, otot-otot Rita sepenuhnya meregang. Ia menatap jalanan di balik kaca sembari merasakan nafasnya kembali berembus dengan teratur. Peracakapan malam adalah sesuatu yang hendak dihindarinya, namun Jim menunggunya untuk mengomentari pertunjukan itu dan Rita benar-benar kebingungan tentang apa yang harus dikatakan.
“Bagaimana pertunjukkannya?”
Rita bertanya-tanya jawaban apa yang diharapkan Jim saat itu? Harus bagaimana ia bereaksi atas pertanyaan itu? Kalau Rita tidak memberi jawaban yang akan memuaskan Jim, hal itu tidak akan berarti baik. Kemudian baru tersadar olehnya bahwa dalam beberapa bulan terakhir, kegelisahannya terus meningkat. Alih-alih menjalani kehidupan seperti yang diinginkannya, Rita justru terus menerus memikirkan cara untuk memuaskan Jim. Semua tentang Jim.
“Itu.. sangat bagus.”
“Ya. Apa kau merindukan berada di atas panggung?” pertanyaan Jim selanjutnya adalah jebakan lain. Rita menatapnya dari balik cangkir. Ia menyesap minumannya dengan berhati-hati, menjaga tatapannya tetap tertuju ke arah Jim. Ketika ia berpaling sedikit, laki-laki itu akan menegurnya.
“Kenapa kau tidak melihat ke arahku? Aku disini.”
Rita menegakkan punggungnya, tersenyum kemudian memasukkan potongan ayam ke dalam mulutnya.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Rita akhirnya.
Jim menggeleng saat menolak gagasan untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.
“Ada apa dengan teaternya?”
“Itu menarik, sudah kukatakan padamu.”
“Tentu. Apa kata yang lebih baik dari itu? Well, pertunjukan itu sangat buruk. Penari wanitanya terlalu gemuk dan itu benar-benar tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pertunjukkan. Bagaimana menurutmu?”
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Itu menarik.”
“Apa yang kau fokuskan? Musiknya? Tariannya? Orangnya?”
Rita mendengus keras. “Aku tahu kau memiliki selera seni yang sangat tinggi, tapi aku benar-benar menikmatinya. Sungguh.”
“Itu sedikit mengejutkanku.”
Rita melipat kedua tangannya di atas meja, memandangi Jim untuk waktu yang lama sebelum bertanya, “bagaimana pekerjaanmu?”
Terdapat jeda di antara keheningan yang mencekam. Namun Rita telah menghadapi situasi itu, ratusan bahkan mungkin tak terhitung jumlahnya. Menghindar bukanlah tindakan yang tepat, tapi ia dapat menggunakan kebisuannya untuk menyudutkan Jim. Bagaimanapun itu yang akan dilakukan Jim.
Dalam satu situasi mereka telah sepakat untuk tidak memberikan celah bagi satu sama lain untuk menghindarinya. Jim melakukannya dengan baik. Laki-laki itu akan mengajukan banyak pertanyaan untuk menjebaknya. Tujuan Jim adalah mengintimidasi Rita. Sedangkan Rita memiliki tujuan lain. Ia telah menyerahkan segalanya selama bertahun-tahun hingga nyaris tidak ada yang tersisa dan ketika waktunya tiba, Rita berniat untuk mempertahankan apa yang tersisa darinya. Sejauh ini, ketenangannya menghadapi sikap Jim telah menjadi senjata besarnya. Untuk satu alasan yang tidak dapat ia mengerti, Rita menikmatinya. Ia tidak dibesarkan dengan sifat kompetitif. Rita melakukan pekerjaannya karena ia menyukai pekerjaan itu. Jadi bukan sifatnya untuk menentang Jim dan ia tidak pernah berpikir akan berada pada situasi itu dalam pernikahannya. Jim yang mengubah hari-hari terbaiknya menjadi sesuatu yang tidak dapat dikendalikan Rita. Laki-laki itu melakukannya dengan mulus, nyaris tidak pernah mengotori tangannya dengan bersikap kasar. Namun, ketika sesuatu berada di dalam istana Jim, maka ia akan terperangkap selamanya di sana. Rita merasa dirinya seperti seekor ikan di dalam sebuah akuarium besar. Betapapun indahnya rancangan yang memberi kesan ‘suasana di dalam lautan’ pada akuarium itu, bagi Rita itu tetaplah sebuah ilusi. Di balik kaca-kaca tingginya, ia hanya akan dapat menatap keluar dan membayangkan lautan. Kemudian, pada satu titik Rita akan menyadari, pintu-pintu tidak akan terbuka untuknya dan ia akan mati membusuk di dalam sana.
-
PUNISHMENT