Bagian 25

1062 Kata
Rita pernah membayangkan akan tiba suatu masa ketika ia merasa enggan terbangun pagi itu, enggan untuk menatap sinar mentari yang menyusup masuk melalui kaca jendela, dan memikirkan apa yang akan terjadi sepanjang hari. Ketika masa itu tiba padanya, ia merasa kesulitan untuk menyeret tubuhnya dari atas kasur, atau sekadar memijakkan kakinya di atas lantai. Kamar tidurnya, meskipun berlipat-lipat kali lebih besar dari kamar lamanya, mulai terasa menyipit. Dinding-dinding kelabu itu menghimpitnya, sebuah lukisan besar yang menggantung di atasnya benar-benar menggambarkan suasana hatinya. Goresan warnanya kasar, kanvas yang hanya dipenuhi oleh warna hitam kelabu, nyaris tidak menggambarkan sebuah bentuk melainkan menumpahkan seluruh emosi sang pelukis di atasnya. Rita memandangi air yang jatuh dari atap rumahnya melalui kaca jendela. Di luar hujan lebat, awan gelap menggumpal di atas sana. Deretan pepohonan yang berbaris memanjang di sudut jalan, menunduk dan menghalanginya dari pemandangan ke seberang. Kabut tebal menyisakan uap yang mengaburkan pandangannya, ia benar-benar takut untuk menghadapi momen itu. Di bawah langit-langit tinggi yang melindunginya dari keganasan alam, persis di bawah selimut tebal yang menawarkan kenyamanan. Rita tidak akan sanggup membayar semua itu. Namun rumah itu hanya memberinya tempat berlindung, persis seperti istana yang dirancang untuk menawarkan sebuah kenyamanan namun ia harus menukarnya dengan menyerahkan hidupnya. Terkadang ia suka bernostalgia dengan masa kanak-kanaknya, ketika ia duduk di beranda rumahnya dan suka mendengar bunyi ban yang menggilas aspal, atau suara aneh mesinnya. Ia memiliki ketertarikan yang ganjil terhadap hal-hal aneh. Ia tertarik pada suara angin, atau aroma besi yang tajam. Ia suka memandangi anak-anak burung mengepakkan sayapnya pada dahan pohon, berlatih terbang untuk pertama kalinya. Rita juga suka bermain musik. Ia masih menyimpan gitarnya di rumah lamanya. Dulu ia menyukai ide untuk memiliki rumah dengan seratus pintu. Ia membayangkan penghuninya terlibat permainan petak umpat setiap saat. Rita dapat bersembunyi dimana saja, ia dapat menjadi apa saja yang dingiinkannya. Tidak akan ada seseorang yang mengintimidasinya - tidak ada Jim dan aturan-aturan bodohnya. Kehidupan seperti itu mungkin konyol, namun menyenangkan. Di atas lemari kayu tua, ia suka menyimpan buku-buku lama. Ia tidak gemar membaca, tidak memahami isi buku-buku itu satu persatu, hanya senang memandanginya. Ia suka menggeser rak buku ke belakang jendelanya dan menyaksikan cahaya matahari merambat di antara celah-celah sempit itu, jatuh persis di atas lantai kayu. Rita dapat menari disana, membayangkan dirinya berada di atas panggung dengan pantulan sinar matahari sebagai cahaya lampu yang menyorotinya. Ia bergerak dengan luwes, ia menyelesaikan latihannya dengan baik dan ia membuat keajaiban dengan setiap penampilannya. Orang-orang akan berdiri dan memberinya sorakan meriah. Rita masih dapat mengingat sensasinya. Ketika ia memejamkan mata, mudah sekali untuk membayangkannya: ribuan pasang mata menatapnya. Tatapan itu akan selalu mengikuti kemanapun Rita pergi, kemudian gumaman mereka terdengar, sebagian merasa terpukau oleh penampilannya, sebagian hanya berupa bisik-bisik samar. Rita tersenyum, rasanya begitu mudah untuk sekadar membayangkannya. Perasaan itu masih melekat kuat dalam dirinya. Ia tidak begitu menyukai ide untuk merias wajah. Menurutnya, hal itu mengurangi nilai-nilai keindahan alami. Ia juga tidak suka menyembunyikan gerakannya, setiap sudut tubuhnya, diciptakan untuk menggambarkan bentuk yang indah. Ia mengayunkan tangannya dan menari bersama sinar. Kini semua itu hanya merupakan bayangan kabur dari masa lalunya, ilusi dalam pikirannya. Keributan yang terjadi di luar jendela adalah kehidupan yang diinginkannya, dan apa yang ada di belakang jendela adalah realita yang tidak dapat dihindarinya. Suara ponselnya berdering di atas nakas, momen yang sedari tadi dihindarinya telah tiba. Kini kedatangannya membuat Rita takut. Tubuhnya bergidik, ia berharap dapat menunda hal itu lebih lama, mengalihkan pikirannya. Namun, mereka hanya seperti tetes air yang mengetuk atapnya, datang secara bergerombol, dan menyisakan bekas dimana-mana. David datang untuk menepati kata-katanya. Keheningan menciptakan suasana yang ganjil di antara mereka, namun David tidak tinggal lama untuk menemaninya. Rita benar-benar sendirian, ia satu-satunya orang yang memutuskan bagaimana akhir dari rencana itu. Namun, dalam situasi rumit seperti sekarang, seluruh pikirannya berasap, menguap keluar dari kepalanya. Tidak ada rencana lain – tidak ada pilihan lain. Alternatifnya hanyalah apa yang disarankan David untuk dilakukan. Rita mengerjakannya dengan cepat dan berhati-hati, menukar sampel obat tidur Jim dengan apa yang di berikan David. Ia duduk dengan gelisah sepanjang hari, berpikir tentang konsekuensi yang mungkin akan terjadi karena perbuatannya. Bagaimanapun, keputusan telah dibuat, langkah telah ditetapkan. Hingga malam yang dingin lainnya tiba. Situasi yang canggung di atas meja makan tak terhindarkan. Rita menyaksikan Jim berkeliaran di kamarnya, berdiri di belakang wastafel untuk mencukur rambut kasar di rahangnya sementara ia membersihkan sisa makan malam mereka, memastikan porselen tercuci bersih, menuang anggur merah ke dalam gelas Jim dan menuang anggur putih untuk dirinya. Mereka jelas memiliki selera yang berbeda tentang banyak hal. Rita menambahkan obat itu ke dalam minuman Jim, membiarkannya larut. Ia melakukannya dengan cepat, menyelesaikan tugasnya dengan sempurna. David akan senang, meski ide untuk menyenangkan laki-laki itu nyaris tidak terpikir olehnya. Itu hanya berarti menambah masalah lain jika Jim sampai mengetahuinya. Namun, laki-laki itu bahkan tidak mengomentarinya, ia tidak meletakkan kecurigaan sedikitpun terhadap Rita. Jim sedang berdiri di kamarnya, nyaris tidak berbusana. Ia meraih anggurnya, meminta Rita untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di atas meja dan ketika Rita kembali, ia memandangi gelas anggur Jim yang setengah kosong di tangannya. Rita menelan liur, merasa tegang sepanjang malam. Jim berbaring di sampingnya, nafasnya teratur seperti biasa. Sekitar pukul dua, Rita masih terjaga dari tidurnya. Jim bergelung di sampingnya. Lengannya yang besar melingkari pinggul Rita dan laki-laki itu bernafas dengan teratur dalam tidurnya. Cahaya remang-remang bulan di langit September menjadi satu-satunya hal yang menarik perhatian Rita. Ia telah menggeser tubuhnya, berusaha setenang mungkin sehingga tidak membangunkan Jim. Ia kemudian meraih gelas anggurnya yang masih penuh dan membawanya ketika bergerak ke arah balkon. Di ujung sana, tepat di seberang taman, cahaya lampu berkedip-kedip. Angin dari utara menerpa wajahnya, membisikan sesuatu ke telinganya. Suara-suara yang menyerupai patahan ranting dan kepakan burung terdengar di sekitarnya. Namun, malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Sesuatu yang benar-benar didambakannya meletup-letup di dalam dirinya. Terkadang hal itu mengusik pikirannya, menciptakan sebuah adrenalin yang memacunya untuk melangkah lebih jauh dari tempatnya dan ia sudah sampai sejauh itu. Rita punya firasat kalau cepat atau lambat, Jim akan menghetahuinya. Rahasia tentang hubungan gelapnya akan terkuak dan Rita tidak memiliki rencana jika hal itu terjadi. Namun, apa yang benar-benar mengganggu pikirannya saat ini hanyalah bayangan tentang apa yang akan terjadi esok. Bagaimana segalanya akan berjalan seperti biasa dan apa yang selanjutnya akan terjadi? Bagaimapun ia terus bergantung pada harapan. Karena hanya itu yang dapat dilakukannya dalam situasi ini: terus berharap. - PUNISHMENT  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN