Benar-Benar Dicium

2182 Kata
Ghazfan mengacak-acak rambut gadis yang tengah menatapnya dengan tatapan memelas. Sudah hampir Ghazfan jantungan mengira jika penyakit Orisha kambuh. Ternyata hanya dikerja. Ah, sungguh menyebalkannya gadis itu. Lihatlah ia sekarang, malah menggoyangkan tangan Ghazfan sementara bibirnya maju meminta dicium. Dasar gadis menyebalkan! Ghazfan mengumpat dalam hati. Bolehkah ia menjitak gadis itu? Jika saja Orisha tak sakit parah, sudah pasti Ghazfan menjitaknya. “Cium,” rengeknya. “Mending kamu tidur aja lagi, Sha.” “Emangnya kalo aku tidur, kamu mau nyium aku sembunyi-sembunyi, kayak tadi pagi?” “Maksudnya kalo kamu tidur, kali aja mimpimu kesampaian.” “Dasar OM GAS pelit,” rutuk Orisha. “Cium aja gak mau.” “Bukan aku yang pelit, Sha. Kamu yang banyak maunya.” “Kamu tuh nyebelin!” Demi apa pun, Ghazfan bersumpah Orisha jauh lebih menyebalkan. Mana ada gadis yang sakit parah yang malah sibuk meminta dicium. Sibuk curhat kepada siapa saja yang ditemuinya untuk mengatakan sesuatu yang hanya terjadi dalam mimpinya. Ghazfan melanjutkan perjalanan pulang, membawa Orisha kembali ke apartemennya. “Ga …,” rengek Orisha begitu mereka sampai. “Apa? Minta cium lagi?” “Ih, kamu mikirin soal cium melulu. Kamu juga mau kan nyium aku? Ngaku deh.” Sebenarnya ia memang ingin meminta dicium. Tapi, keduluan disindir oleh Ghazfan. Makanya ia berkilah dan malah menuduh Ghazfan yang selalu memikirkan soal ciuman. “Ciyee … Kakak Ghazfanku sayang mau nyium aku lagi,” ledek Orisha sambil tertawa dengan riang saat ia masuk ke dalam apartemen. “Neng Orisha sama Mas Ghazfan udah nyampe, udah selesai periksanya, Neng?” tanya Bi Tari dengan sopan yang saat itu sedang bersih-bersih. “Udah, Bi,” jawab Orisha. Gadis itu kembali melihat Gahzfan, masih ingin meledeknya. “Ciyee mau nyium aku lagi.” “Sha, di kepalamu itu hanya diisi soal ciuman yah? Dari bangun sampe sekarang yang dibahas cuma ciuman terus.” “Iya,” jawabnya enteng. “Isi kepalamu kalo dicuci pake detergen bakalan mempan gak kira-kira?” “Kok bakalan mempan, ya kalo pake detergen ya bakalan berbusalah.” Ada-ada saja Orisha, membuat Bi Tari tertawa. Hanya Ghazfan yang dibuat sakit kepala mendengar Orisha. Tapi, percayalah pria itu akan jauh lebih sakit kepala kalau Orisha tidak membuat keributan. Ghazfan menghempaskan dirinya di sofa saat Orisha sudah masuk kamar. Pria itu mengeluarkan bungkusan obat dari apotek. Bertambah lagi jenis obat yang harus dikonsumsi Orisha. Artinya pun sudah jelas, gadis itu makin parah. Seperti yang dikatakan oleh maminya pagi tadi. Pandangan Ghazfan menerawang ke atas. Kenapa Orisha tak pernah sembuh setelah bertahun-tahun berobat? Entah apa yang harus menjadi jawaban. “Apa kata dokter, Mas?” tanya Bi Tari, merasa ada yang serius dari raut wajah Gahzfan yang terlihat penuh cemas. Ghazfan menghela napas. Ia tak ingin menjawab, tak ingin mengatakan hal apa pun. Tapi, diamnya lagi-lagi sudah menjadi jawaban bahwa Orisha tak baik-baik saja. Terlebih saat Ghazfan menundukkan wajahnya lalu berakhir mengusap wajah itu dengan gusar. “Neng Orisha pasti bisa sembuh, Mas.” “Demi Tuhan, Bi. Saya harap juga begitu.” Ghazfan memilih menyusul Orisha ke kamar gadis itu. Bukan untuk menciumnya, hanya ingin membawakan obat Orisha. Juga mengingatkan bahwa ada obat yang harus dimakan oleh Orisha saat ini. Di tangannya ia membawa segelas air. “Sha, aku masuk yah.” “Hem.” “Ada obat nih untuk diminum sekarang.” “Minggu kemaren kayaknya gak ada obat di jam sekarang.” “Sekarang ada.” Orisha menatap mata Gahzfan, “Aku … makin parah, ‘kan?” “Gak, Sha.” Ghazfan meyakinkan. “Ini cuma palingan vitamin doang.” “Aku bisa rasain, Ga …,” ujar Orisha sembari mengelus bagian dadanya. “Aku tau suatu hari nanti dia akan menyerah.” “Gak usah ngomong sembarangan. Nih minum obatnya.” Orisha menurut, ia meraih obat itu dari tangan Ghazfan lalu meraih gelas berisi air minum. Ia teguk air tersebut hingga butiran obat di tenggorokannya tertelan. “Udah?” “Iya,” jawabnya sembari mengembalikan gelas ke tangan Ghazfan. “Kalo gitu istirahat, Sha.” Orisha membaringkan tubuhnya, lalu Ghazfan membantu dengan menyelimuti tubuh gadis itu. Ghazfan agak berbeda hari ini, begitulah Orisha menerka. Buktinya pria itu tetap duduk dan menungguinya. Sebenarnya bukan hal aneh juga jika Ghazfan menungguinya. Hanya saja Orisha teringat saat ia menemukan Gahzfan sedang menunduk frustasi di rumah sakit. Dan mata pria itu memang terlihat sedang diliputi rasa gelisah. “Kamu gak kerja, Ga?” “Gapapa aku tinggal?” “Aku ikut boleh?” tanyanya dengan mata berbinar, berharap. “Kamu istirahat, Sha.” “Ya udah.” Binar di matanya redup karena tak dibolehkan ikut. “Kamu kerja gih, aku di sini aja.” Sebenarnya ia memang merasa makin mudah lelah, karenanya ia tak bersikeras untuk ikut. “Gapapa aku tinggal sendirian? Kalo sakit gimana?” “Kan aku gak sendiri, Ga. Di luar ada Bi Tari. Lagian Gracia katanya mau ke sini abis dia kuliah.” “Kalo gitu aku tinggal yah.” “Tapi, harus balik.” “Iyalah, Sha. Masa aku gak balik-balik.” “Kalo gak balik-balik berarti belok-belok.” Ghazfan mengulas senyum. Ada saja ucapan konyol Orisha yang membuat ia tertawa. “Yang semangat dong.” Orisha bangkit duduk, hendak menyemangati Ghazfan. “Masa mukanya gitu banget. Kayak orang dikejar-kejar debt collector.” Aku bukan dikejar debt collector, Sha. Aku serasa dikejar waktu. Karena aku takut bahwa waktu untuk bersamamu semakin sedikit. Demi Tuhan, Ghazfan ingin mengamuk pada takdir saat ini. Tapi, ia tahan karena tak ingin menunjukkan pada Orisha. Membuat wajah pria itu semakin kacau. “Ga,” Orisha menggeser duduknya hingga ke pinggiran ranjang. Mendekati Ghazfan. “Aku tau caranya bikin orang semangat.” “Gimana?” “Dicium.” “Ap—” Pertanyaan Ghazfan terpotong saat Orisha melabuhkan sebuah kecupan singkat di bibir pria itu. Tak lebih dari dua detik hingga Orisha menarik diri lagi. “Aku semangat hari ini karena abis dicium kamu.” Mata Ghazfan masih membulat karena tindakan tak terduga itu. Orisha menangkup wajah yang masih shock itu. Ia teliti raut wajah Ghazfan kemudian berkomentar. “Tapi, kamu kok masih keliatan belum semangat?” Ia bertanya sembari menggaruk kepala. “Apa karena terlalu sebentar?” Ia mengambil kesimpulan sendiri lalu menyengir. “Kalo gitu aku lamain deh ciumannya. Orisha kembali menangkup sisi wajah Ghazfan, kemudian mendekatkan wajahnya sendiri hingga ia sentuhkan bibirnya tepat di bibir Ghazfan. Hanya sekadar saling bersentuhan. Gadis itu tak tahu caranya berciuman. Di otaknya, berciuman hanya sebatas bibir yang saling bersentuhan. Ia beberapa kali melihat di film, namun saat adegan ciumannya menjadi intens, ia malah menutup mata karena merasa malu sendiri. Orisha cuma bisa menahan bibirnya 5 detik bersentuhan dengan bibir milik Ghazfan. Setelahnya ia menjauh karena tak kuat dengan debaran keras di jantungnya yang semakin menggila. Ia memohon dalam hati. Bisakah kau bersahabat sekali ini saja? Aku masih ingin mencobanya. Napasnya terengah bahkan hanya dengan ciuman singkat itu. Bahkan tak ada pagutan sama sekali. Tapi, ia sudah terengah mengontrol napasnya yang berembus dan tertarik secara cepat. Ghazfan masih diam, entah bagaimana pria itu mendadak jadi bisu. Seolah tak bisa mencerna apa yang dilakukan Orisha kepadanya. “Masih kurang, ya?” tanya Orisha saat merasa wajah Ghazfan masih terlihat menyedihkan. “Aku lamain lagi deh, hmm … berapa lama yah?” Ia menghitung jarinya, menerka-nerka berapa lama waktu yang harus ia habiskan untuk merubah ekspresi menyedihkan Ghazfan agar pria itu bersemangat. Orisha menelan ludahnya, gugup juga. Ia tatap mata pria itu, ambigu sekali cara Ghazfan membalas tatapannya. Ia tak mengerti. Orisha hanya ingin membuat pria itu bersemangat, seperti ia bersemangat hari ini. Ia bertekad, akan mencium Ghazfan lebih lama. Maka saat ini ia kembali mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibir di bibir Ghazfan. Menghitung mundur entah di detik ke berapa jantungnya akan meledak. Sementara dalam hati ia merapal doa, berharap jantungnya mau bertahan lebih lama. Baru tiga detik, tapi detak jantung Orisha sudah begitu ribut. Suara ribut itu bahkan terdengar hingga ke telinga Ghazfan. Bolehkah sekali ini, bolehkah ia egois? Ia sungguh ingin mencium gadis itu … lebih dari yang dilakukan Orisha. Tapi, suara jantung Orisha membuat ia takut. Takut jika egoisnya akan membuat ia menyesal. Orisha menarik diri di detik ketujuh. Tapi, Ghazfan menahan gadis itu. Ia tak sanggup menahan dirinya. Maaf, aku ingin menjadi egois kali ini. Aku ingin memilikimu. Sungguh …. Tangan Ghazfan di pinggang gadis itu membuat Orisha gagal menarik diri. Ia biarkan dirinya terengah sementara Ghazfan mengelus permukaan bibirnya. “Bukan begitu caranya, Sha. Bukan gitu caranya bikin aku seneng.” “Terus gimana?” balas Orisha dengan suara agak lirih, napasnya pun masih terengah. Ghazfan tak menjawabnya, pria itu justru menyelami mata Orisha. Sungguh dalam ia selami mata itu. Mata yang 9 tahun terakhir selalu muncul dalam mimpi-mimpinya, mimpi sedih, mimpi buruk, sesekali ada juga mimpi indah bersama pemilik mata itu. Orisha membalas tatapan Ghazfan, sementara pria itu kini memindahkan tangannya dari pinggang Orisha ke bibir gadis itu. Ia sapukan permukaan bibir atas Orisha dengan ujung ibu jarinya. Ah, gadis itu bahkan sudah terbuai hingga ia pejamkan matanya. Dan memang, menatap mata Ghazfan yang sedang menatapnya dengan dalam seperti sekarang ini tak baik untuk jantung Orisha. Bibir yang tadi terkatup rapat itu perlahan-lahan terbuka saat Ghazfan menyapu permukannya. Dan begitu bibir bawah Orisha selesai disapu oleh ujung ibu jarinya, bibir Ghazfan yang mengambil alih. Dua belah bibir Ghazfan menyelimuti bibir bawah Orisha dalam dekapan mesra itu. Dari belahan bibir bagian dalamnya yang menyelimuti bibir Orisha, menyatukan basah dari dua pasang bibir yang bertemu. Mengantarkan rasa panas untuk menguasai mereka. Ghazfan hanya menghisap pelan-pelan bibir itu, memberikan dekapan hangat nan nyaman. Bahkan saat ia memutuskan untuk bersikap egois, ia masih tak ingin membuat Orisha sampai kehabisan napas. Sungguh, sebagai pria normal, ada ribuan keinginan yang terpetakan dalam benaknya. Saling bersuara untuk dituntaskan. Tapi, Ghazfan di balik penyangkalan atau diamnya, ia sungguh selalu peduli pada gadis itu. Buktinya, saat mendengar deru napas Orisha terengah, ia lepaskan dekapan bibirnya. Ia biarkan gadis itu mengambil napas dengan leluasa tanpa terhalang oleh bibirnya. Saat Orisha membuka matanya perlahan, menatap Ghazfan, pria itu tersenyum lembut. “Perlu alat bantu pernapasan?” tunjuk Ghazfan pada tabung tinggi di sisi ranjang Orisha. “Aku maunya kamu, Ga,” balas Orisha. “Aku lebih suka napas kamu.” “Gadis nakal, siapa yang mengajarimu, huh?” “Serial Korea.” Melihat Orisha sudah mampu kembali mengontrol napasnya, Ghazfan mengangkat tubuh gadis itu ke atas pangkuannya. Lebih dekat, sungguh semakin mendebarkan. Bahkan baru sedetik yang lalu Orisha berhasil mendiamkan keributan di jantungnya, tapi sudah kembali menggila saat ia duduk di atas pangkuan Ghazfan. Dan keributan itu makin menjadi saat Ghazfan kembali membelai bibir gadis itu dengan bibirnya. Pagutannya kali ini, beralih ke bibir atas. Ia dekap bilah bibir atas gadis itu dengan bibirnya yang memagut perlahan. Sesekali ia berhenti menghisapnya, memberi ruang bagi lidahnya untuk menyapu permukaan bibir itu. Atau kembali berpindah ke bibir bawah Orisha, melakukan pagutan lembut yang sama, memberikan belaian lidah yang sama membuainya. Seluruh panca indra Orisha tergelitik. Semut-semut itu kembali terasa mengerumuni perutnya. Menginjakkan kaki-kakinya yang kecil, menggelitik organ-organ dalam perut gadis itu. Ia terbuai akan getaran-getaran itu. Ah … sungguh semut-semut nakal. Tapi, Orisha harus mengakui. Ia menikmati perutnya yang digelitik oleh perasaan itu. Orisha sempat membalas, sempat mempelajari gerakan lembut Ghazfan dengan cepat. Ia sempat memberikan hisapan lembut di bibir pria itu saat Ghazfan sedang memagut bibirnya. Hanya saja ia tak kuasa menahan seberapa ribut suara di jantungnya lebih lama. Ghazfan juga tak tega jika harus membiarkan Orisha sampai sesak napas. Sebelum ia tarik dua belah bibirnya agar berpisah dari bibir Orisha, ia perdalam pagutannya untuk sedetik. Setelahnya, meski masih tak rela ia biarkan Orisha menarik dan mengembuskan napas dengan leluasa. Juga menenangkan diri. Ia mengakhiri dengan sebuah kecupan di puncak kepala gadis itu lalu menunjukkan senyum. Ia usap bibir Orisha, menyapu bibir gadis itu yang basah, sisa pagutan bibirnya barusan. “Mami sama Papi akan menggantungku jika mereka tau kalau aku membuatmu sesak napas gara-gara ini,” ujar Ghazfan sambil mengacak-acak rambut Orisha. Orisha hanya tersungut-sungut. Meski ia sudah setengah mati menghalau agar jantung dan paru-parunya bisa tenang, tetap saja tak bisa. Padahal ia masih menginginkan ciuman itu berlanjut. Ghazfan menunggui dulu hingga Orisha menjadi tenang. Ia tunggui hingga deru napas gadis itu normal kembali. Menunggui hingga suara jantung Orisha tak seribut tadi. “Aku pergi, yah ….” “Ga …,” Orisha merengek. “Apa, Sha?” “Ga …,” gadis itu masih merengek, pun memberi tatapan memelas. Sementara tangannya menahan tangan Ghazfan, mencegah pria itu pergi. “Apa? Masih pengen minta cium lagi?” Pertanyaan Ghazfan langsung saja diangguki oleh Orisha. “Kamu kuat, gak?” Orisha menggeleng, tahu kapasitas jantungnya. “Aku gak mau mati dibunuh Papi sama Mami karena bikin kamu sakit, Sha.” “Kalo gitu panggil sayang dulu sebelum pergi.” “CK!” Ghazfan mendecak. “Kamu serakah banget, Sha.” “Ih.” “Aku pergi, kalo butuh apa-apa, minta ke Bibi.” “Aku butuh dipanggil sayang.” “Gak ada.” “Ga!” teriak Orisha saat Ghazfan sudah keluar dari kamarnya. “Dasar Om Gas Selang Regulator.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN