Mie Instan dan Orisha

2010 Kata
Sekitar jam 8 malam ketika Ghazfan tiba di apartemennya. Ia langsung bergegas menemui Orisha yang ia yakini sedang berada di kamar bersama Bi Tari. Wanita itu menunggui Orisha seperti permintaan Ghazfan. Dan bahkan ada Gracia juga di sana setelah tahu jika semalam Orisha kembali mengalami gangguan sesak napas. “Kenapa gak ke rumah sakit aja, Sha?” tanya Gracia. “Nungguin Om Gas itu pulang, biar dianterin.” Pintu kamar Orisha terbuka seketika, pria yang sedang dibicarakan itu muncul, membuat Bi Tari menyahut. “Mas Ghazfan panjang umur sekali. Lagi dibicarakan ternyata udah sampe.” “Kenapa? Kalian lagi gosipin aku?” tanyanya dengan kelakar. Matanya langsung terfokus pada Orisha, yang duduk bersandar di tempat tidur. Matanya agak sayu. “Udah baikan, Sha?” Ia bertanya lalu duduk di tepian ranjang. Tangannya mengusap pelan kepala Orisha. “Masih hidup,” jawabnya singkat, dengan agak ketus. Masih menyimpan kekesalan karena kejadian semalam. “Orisha kalo gak ngambek berarti lagi sakit parah, aku seneng kamu masih bisa marah sama aku.” “Oh, pantes kamu suka bikin aku marah-marah.” “Hmm … mulai lagi nih,” sambar Gracia. “Kalian tuh, kalo ketemu ya berantem. Giliran gak ketemu malah mewek-mewek.” “Orisha aja tuh yang mewek-mewek, aku gak,” balas Ghazfan. “Iya, kamu kan gak pernah peduli sama aku.” “Ya Gusti, Sha. Kurang peduli apa lagi sih Om Gasmu itu.” Gracia membantah. “Ah, aku mending balik aja. Pusing denger kalian berantem mulu.” Gracia bangkit dari duduknya di sofa yang berhadapan dengan ranjang Orisha. Ia meraih tas ranselnya lantas melambai pada manusia minim akhlak yang sedang cemberut itu. “Cepet sembuh, Sha. Besok abis kuliah aku ke sini lagi.” “Eh, udah makan belum?” sela Ghazfan dengan cepat sebelum Gracia benar-benar pulang. “Udah, Om Gas,” balas Gracia sedikit tertawa. “Ya gak usah ikutan panggil aku Om Gas juga kali.” “Iya deh, paham. Om Gas itu kan panggilan kesayangannya Orisha. Khusus,” ejeknya lalu keluar dari kamar Orisha. Sementara itu, Bi Tari juga hendak berpamitan pulang. Ia memang tak pernah menginap karena memiliki suami dan anak yang menunggu di rumah. Tempat tinggalnya pun tak jauh dari apartemen Ghazfan. Hanya perlu naik ojek dalam kisaran waktu 5 menitan maka ia akan sampai di tujuan. “Bibi juga pamit pulang ya Mas, Neng.” “Iya, Bi. Terima kasih,” balas Ghazfan dengan sopan. “Bi,” panggil Orisha. Mencegah wanita itu untuk melanjutkan langkahnya. “Kenapa, Neng? Butuh sesuatu?” Orisha menarik napas dulu sebelum ia melanjutkan ucapannya. “Bibi pernah gak sih kepikiran soal kematian?” Mata Ghazfan jadi melebar mendengar ucapan Orisha, ia menatap gadis itu dengan ekspresi kesal. Tak suka jika Orisha membahas soal hal-hal yang akan membuat gadis itu lagi-lagi menangis. Bi Tari jadi menggaruk tengkuk atas pertanyaan itu. Pada akhirnya ia menjawab, meski agak sungkan. “Pe-pernah, Neng. Memikirkan kematian adalah hal yang manusiawi. Apalagi sekarang kan Bibi udah umur segini.” Orisha mengulas senyumnya. “Bibi sering kepikiran gitu?” “Eng-enggak sih, Neng,” jawabnya tergugup. “Palingan pas Bibi lagi sakit.” Sekali lagi Orisha tersenyum mendengar jawabannya. “Sejauh yang Orisha ingat, sejauh ingatan Orisha sejak kecil sampai sekarang, tiap hari Orisha selalu kepikiran sama kematian. Awalnya Orisha takut, awalnya Orisha marah, tapi sekarang Orisha mulai merasa bahwa kematian sepertinya tidak seburuk itu. Hanya saja, Orisha takut kalau hari itu tiba tapi Orisha sendirian. Orisha takut merasakan sakitnya kematian tanpa ada seseorang yang memegang tangan Orisha.” Mata yang semula menatap pada Bi Tari itu sudah berpindah, bersitatap pada Ghazfan. Karena sesungguhnya ucapan tersebut hanya ingin ia utarakan pada Ghazfan. Berharap, dengan penuh putus asa bahwa pria itu bisa mewujudkan keinginannya. Aku akan selalu ada. Memegang tanganmu, bukan untuk mengantarmu pergi, tapi menghentikan siapa pun yang hendak membawamu pergi dari sisiku. Bahkan jika itu takdir sekali pun. Deru napas yang cukup keras berembus dari mulut Ghazfan. Setelahnya ia palingkan wajah ke Bi Tari. “Bibi katanya mau pulang, terima kasih untuk hari ini, Bi.” Ghazfan berujar, sengaja mengalihkan pembicaraan. “Iya, Mas. Bibi pulang dulu.” Bi Tari pun keluar dari kamar tersebut, meninggalkan Ghazfan dan Orisha berdua di dalam kamar. Saling bertatapan, tapi mereka bersiteru dalam tatapan tersebut. Dan memang dasarnya Orisha yang banyak ulah, ia layangkan protesnya pada Ghazfan. Mengabaikan kenyataan bahwa pria itu pasti lelah seusai perjalanan dari luar kota. “Kenapa Bi Tari disuruh pulang?” ketusnya. “Aku masih ngomong sama Bi Tari.” “Ngomong sama Bi Tari?” tanya Ghazfan. “Ngomong sama Bi Tari, tapi kok yang diliat aku? Yang diliat sambil marah-marah kok aku?” Orisha mencebik lalu mengambil bantal. Ingin ia lemparkan bantal tersebut pada Ghazfan, tapi pria itu sudah lebih dulu berdiri. Sudah paham bahwa Orisha pasti akan mengamuk padanya, makanya ia menghindar. Dan makin kesallah Orisha. “Kamu tuh yah,” ujarnya dengan suara merengek. Bibirnya maju karena cemberut. Bantal yang semula ingin ia lemparkan pada Gahzfan berakhir dalam pelukannya. “Aku kan …,” ucapannya terpotong. “… ah udahlah, capek.” “Sha,” panggil Ghazfan dengan nada serius. Pria itu duduk di sofa. Membuat Orisha membalik tubuh agar ia bisa melihat pria itu. “Kematian itu bukan soal siapa yang sakit. Gak ada tuh rumusnya cuma orang sakit yang meninggal. Mau orang sakit, orang sehat, orang tua, yang muda, semuanya bisa meninggal. Dengan satu ketentuan.” “Apa?” “Asal mereka hidup.” “Ih,” Orisha kembali mencebik. Sudah bertanya serius, ternyata begitu jawaban Ghazfan. “Kan gak mungkin yang udah mati terus mati lagi. Kalo hidup ya nantinya bakalan mati. Tapi, bukan ditentukan siapa yang sakit lantas dia yang mati. Kan bisa aja yang sehat mati duluan. Bisa aja kan, aku sehat-sehat gini mati duluan.” Maka Orisha diam saja kali ini, ia tak lagi menyangkali ucapan Ghazfan. Eh, diam bukan berarti ia berhenti mengumpati Ghazfan dalam hati. Karena buktinya, suara-suara di kepalanya tetaplah ribut mengungkapkan kekesalannya pada pria itu. Kenapa Om Gas nyebelin itu malah ceramah sejauh ini sih? Kan cuma mau minta dia janji bakalan nemenin aku. Eh, malah ngomong yang lain-lain. Emang paling susah disuruh buat janjiin. Apa susahnya sih? Ngibul dikit juga gapapa. Ah tau ah, kesel. “Tumben diem? Ngambek lagi?” “Gak,” ia menyangkal, tapi suaranya ketus. Jelaslah menunjukkan bahwa ia memang mengambek. “Balik gih ke kamar kamu, jangan sampe kamu kecapean terus beneran mati duluan karena lupa istirahat.” “Jadi, ceritanya kamu khawatir sama aku?” “Gak tuh, ngapain. Kayak kamu pernah khawatir sama aku aja.” Ah, dasar Orisha. Selalu saja ia menyangkali perhatian Ghazfan. Tak memperhitungkan bagaimana kerasnya pria itu berusaha untuknya. “Kamu gak mau ke dokter?” Orisha menggeleng, “Gak, besok aja. Kan besok jadwal periksa aku.” “Kalo gitu aku istirahat yah, kamu juga istirahat. Jangan banyak pikiran yang aneh-aneh lagi.” “Iya … iya,” balas Orisha agak malas. Sudah bosan mendengar segala macam peringatan yang selalu sama. Pria itu melangkahkan kakinya hingga ke pintu, namun sebelum ia memutar kenop pintu, ia menyempatkan untuk berbalik. Menatap wajah yang juga sedang menatap padanya. “Kalo butuh sesuatu, panggil aku aja.” “Katanya mau istirahat, kalo aku panggil mana bisa kamunya istirahat.” “Kali aja butuh apa gitu.” “Kayak kamu mau aja ngabulinnya.” “Emang mau apa?” “Mau disayang-sayang, mau diperhatiin, mau dibaikin, mau diromantis-romantisin kayak yang di film,” rengek Orisha. “Kemaren aku nonton film, Ga,” lanjutnya. “Cowonya romantis banget, sayang banget sama cewenya. Kapan yah aku diromantisin kayak gitu?” tanyanya sembari menghela napas panjang. “Serakah banget, mau disayang-sayang, diperhatiin, dibaikin, diromantisin,” Ghazfan turut menghela napas. “Ah, udahlah. Tuh, kamu gak bisa ngabulin maunya aku. Udahlah, capek tau ngarep melulu. Aku pasti dicuekin terus. Cowo yang romantis cuma ada di film. Di dunia nyata gak ada.” Orisha segera membaringkan dirinya, lalu membelakangi pintu, pun tak kelupaan menutup tubuhnya dengan selimut. Membuat Ghazfan tertawa melihat tingkah gadis itu. Sudah bertahun-tahun melihat Orisha mengambek untuk hal yang sama, tapi tetap saja lucu di matanya. “Tuh, ngambek lagi.” “Keluar sana, jangan gangguin lagi, aku mau tidur!” Setelahnya Ghazfan benar-benar keluar. Sebelum ia membuat Orisha makin marah, lebih baik ia beristirahat. Pria itu masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Orisha. Ia memilih mandi dulu sebelum istirahat. Sementara itu, Orisha yang berada di kamar sebelah tak benar-benar tertidur. Mendengar suara gemericik air di kamar sebelah membuat ia bisa menebak apa yang sedang dilakukan Ghazfan. Mandi, tentunya. Dua kamar yang saling bersebelahan tersebut, serta ruangan-ruangan lain memang sengaja tak dilengkapi dengan fitur kedap suara. Menghindari kemungkinan jika saja Orisha sakit dan ia butuh pertolongan. Tak lucu jika Orisha sekarat sementara Ghazfan tertidur nyenyak karena tak mampu mendengar panggilan gadis itu gara-gara fitur ruangan yang kedap suara. Orisha bangkit dari tempat tidur, berjalan dengan mengendap-endap. Seolah hendak mencuri. Memang iya. Ia memang hendak mencuri kesempatan. Ia menempelkan telinga ke tembok kamarnya, mencuri dengar dari ruangan sebelah, tepat di kamar mandi Ghazfan. “Om Gas nyebelin itu pasti lagi mandi, saatnya aku menjalankan misi,” ujarnya sembari tersenyum penuh siasat. Begitulah Orisha, saat penyakitnya tidak sedang kumat, ia pasti banyak ulah. Maka saat ini, dengan langkah yang mengendap-endap, ia buka laci nakasnya, mengambil sesuatu yang ia sebut sebagai misi untuk dijalankan. Setelah mengambil bungkusan tersebut dari laci, ia berjalan menuju pintu. Tangannya berhasil meraih kenop pintu dan ia putar dengan sangat pelan. Mengantisipasi adanya satu suara, walau sangat kecil agar tak tercipta. Terputar, lalu ia tarik hingga pintu terbuka. Pun ia tarik perlahan sebelum ia melangkahkan kakinya keluar. Setelah keluar, pintu itu tak ia tutup lagi. Memang sengaja, agar ia tak perlu lagi membukanya saat hendak masuk kembali seusai menjalankan misi pentingnya. “Uh, berhasil,” ujarnya sembari berbalik melihat pintu kamarnya. Gadis itu melanjutkan langkahnya, masih sambil mengendap-endap. Tujuannya adalah dapur, dan ia segera mempercepat langkahnya ke sana. Begitu sampai di tujuan, Orisha langsung mengambil panci kecil yang berada di kitchen set lalu mengisinya dengan air. Langsung saja ia hidupkan kompor. BLUK …. Orisha langsung membalik tubuhnya, mengamati situasi sekeliling. Jangan sampai Ghazfan tiba-tiba muncul dan memergokinya. Dan setelah ia celingak-celinguk hingga 5 detik, untungnya pria itu tak muncul. Orisha bernapas dengan lega. Segera saja ia buka bungkusan yang tadi ia bawa. Sebungkus mie instan. Yah, hanya mie instan. Tapi, untuk memakan sebungkus mie instan pun harus serumit ini. Segala jenis makanan yang ia konsumsi harus melewati persetujuan Ghazfan terlebih dahulu. Dan mie instan adalah salah satu dari jenis makanan yang tak diperbolehkan oleh pria itu untuk dikonsumsi oleh Orisha. Tapi, saat ia berbelanja ke minimarket tiga hari yang lalu, ia berhasil menyelundupkan sebungkus mie instan. Sebungkus yang berhasil luput dari pengawasan Ghazfan. Dan Orisha tak sanggup lagi untuk menahan keinginannya untuk menikmati makanan tersebut. Begitu air dalam panci mulai mendidih, Orisha langsung memasukkan mie tersebut. Sementara bumbu, bubuk cabe, dan minyak bumbu langsung ia masukkan ke dalam mangkok. Dalam saran penyajian di bungkusan mie instan, sebaiknya mie direbus hingga tiga menit. Namun, Orisha tak bisa menunggu selama itu. Tak ingin Ghazfan tiba-tiba keluar kamar dan menemukannya sedang melakukan pelanggaran. Ia hanya bisa menunggu hingga satu menit setengah, dan langsung saja ia matikan kompornya. Segera ia tuang mie beserta kuahnya ke dalam mangkok. Dan aromanya langsung saja membuat ia memejamkan mata, menikmati aroma yang sangat menggirukan itu merasuki indra penciumannya. “Enak banget, seandainya bisa makan mie tiap hari,” ujarnya sembari mengaduk mie agar bercampur dengan bumbu. Asap panas dari mangkok mengepul, menerpa wajah Orisha yang memang berada di atas mangkok. Sungguh, hanya dari asap yang mengepul saja ia sudah sangat terbuai. Air liurnya hampir saja menetes. Dan ia tak akan berlama-lama lagi, mangkok tersebut akan segera ia amankan ke dalam kamarnya. “Ah, panas!” Orisha memekik saat ia menyentuh pinggiran mangkok yang panas. “Panas ya, Sha?” tanya Ghazfan sembari mengelus kepala gadis itu. Ah, entah sejak kapan ia berada di sana tanpa disadari oleh Orisha. “Mau aku bantuin bawa ke kamar, gak?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN