Pada akhirnya, Ran menurut ketika Theo membawanya pergi dari ruangan itu. Suasana di antara mereka begitu canggung, beruntung tidak hanya ada mereka berdua di sana, tapi juga seorang sopir yang mengenakan setelan kemeja rapi tengah duduk di balik kemudi.
Sementara Ran memaku tatapannya ke luar jendela, Theo sibuk dengan layar tabletnya. Pikiran Ran saat ini dipenuhi oleh banyak hal; tentang kejadian tadi, lamaran pria di sampingnya, dan utang-utang yang mendadak melilitnya bagaikan rantai yang dikaitkan ke leher.
Ran teringat pada Evan. Adiknya itu tidak boleh tahu mengenai hal ini. Kemarin saja, saat Ran dirawat di rumah sakit dan Evan berhadapan langsung dengan Theo, Ran tahu bahwa adiknya itu sangat khawatir dan cemas padanya.
Pesan singkat sudah Ran kirimkan ke Evan, mengatakan pada adiknya itu bahwa hari inni sepertinya dia akan lembur di tempat kerja.
Beruntungnya Evan adalah pemuda yang mandiri dan tidak banyak tingkah. Kebiasaannya sepulang sekolah adalah duduk di ruang tamu dengan buku-buku pelajaran yang berserakan di sekitarnya. Evan sangat gigih dalam menempuh pendidikan. Dan itu membuat Ran semakin tidak ingin mengecewakan adiknya tersebut.
Ran ingin Evan sekolah setinggi mungkin, dan menuntut ilmu sebaik yang dia bisa. Masalah biaya dan semuanya, itu adalah urusan Ran.
Ran senang adiknya tersebut fokus pada masa depannya, tidak seperti Ran dulu terlalu diliputi oleh keterpurukan sehingga masa depannya terasa suram.
Dan memang, suram.
Tapi Ran mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa tidak apa-apa seperti ini. Dalam setiap kesuksesan seseorang, pasti ada pengorbanan mati-matian yang harus dikerahkan. Ran berharap Evan sukses, sementara dia yang berkorban.
“Menikahlah denganku, Ran.”
Kalimat yang seminggu lalu Theo ucapkan padanya kembali terngiang di dalam benak Ran. Kenapa Theo mau menikah dengannya? Kalau hanya perihal paras cantik yang Ran miliki, rasanya terlalu dangkal. Theo adalah pria kaya raya, mudah baginya mencari wanita yang jauh lebih cantik dari Ran untuk dijadikan istri. Namun pria itu justru mengerahkan banyak tenaga dan waktu untuk mengejarnya.
Tidak mungkin juga karena cinta.
“Lantas, karena apa?” suara Ran.
Fokus Theo yang semula tertuju pada pekerjaannya menjadi buyar kala mendengar ucapan Ran itu. “Hm? Apanya yang karena apa?” tanya Theo.
Ran terkejut sendiri karena tidak sengaja mengucapkan isi pikirannya itu dengan lantang, tapi sudah kepalang basah, pikirnya.
“Kenapa Tuan ingin menikahiku?” kata Ran, menoleh kepada Theo dan menatapnya dalam. Saat Theo membuka mulut dan hendak menjawab—dengan jawaban yang sudah sangat Ran hafal, Ran segera mengangkat tangannya menghentikan pria itu. “Aku tidak mau mendengar omong kosong bahwa Tuan tertarik padaku!” tukasnya cepat.
“Tapi, Ran, bagaimana kalau itu bukan omong kosong belaka?” sahut Theo.
Ran berkedip, kemudian perlahan menurunkan tangannya kembali dan menatap Theo semakin menuntut. “Apa karena sesuatu yang lain? Apa?”
Ran sudah tahu apa yang akan Theo lakukan lagi, yaitu diam.
Tapi kali ini, tatapan Theo tampak hidup dan ekspresinya merumit. “Aku tertarik padamu,” kata Theo kemudian.
Ran memutar bola matanya jengah. “Katakan saja yang sebenarnya!” ucap Ran. “Mungkin kalau Tuan jujur, maka aku bisa mempertimbangkan lamaran Tuan itu,” lanjutnya, mengabaikan pandangan curi-curi yang dilakukan oleh sopir di depan mereka yang tampaknya penasaran pada isi percakapan sang tuan dan si gadis asing yang Ran yakin tidak biasa pria itu lihat bersanding duduk berdua dengan tuannya.
Mempertimbangkan ucapan Ran, kening Theo berkerut kecil, berpikir keras. Perjanjian yang dia buat dengan Puri Arkatama tidak boleh dia beritahukan kepada Ran atau kepada siapa pun. Ayahnya adalah pengecualian karena Theo yakin pria itu mengerti dan tidak mungkin mengatakannya pada siapa pun.
Karena kalau Ran tahu, bukannya mempertimbangkan lamaran itu, tapi Ran pasti akan langsung kabur sejauh mungkin darinya.
Atau kalau Ran memang mempertimbangkannya, Theo tidak akan membuat gadis ini merasa aman dengan prasangka dengan kepercayaan tipis di antara mereka. Padahal perkataan Puri sangat jelas, bahwa dia ingin Theo memberikan anak tirinya ini perlindungan dan kehidupan yang layak.
“Aku … tidak tahu,” ucap Theo pada akhirnya. Dan jawabannya itu dipenuhi oleh kejujuran. Dia memeng tidak tahu, tapi bukan tidak tahu akan alasan apa dia tertarik pada Ran, tapi benar-benar tidak tahu apa yang harus dia jawab.
Namun Ran tampak masih meragukannya. “Rasa tertarik saja tidak cukup membuat seseorang melamar dan mengajak menikah,” katanya.
“Kenapa tidak?” tanya Theo heran.
Mata Ran memicing tajam. “Apa Tuan mencintaiku?” tanyanya.
Theo hampir tersedak oleh ludahnya sendiri karena mendengar pertanyaan berani gadis di hadapannya ini.
Dan ekspresi tertegun di wajah Theo cukup bisa memberikan jawabannya untuk Ran. “Tidak ‘kan?” kata Ran lagi, tersenyum dingin. “Aku harap Tuan mau memperjelas semuanya nanti saat kita tiba di rumah Tuan.”
Lalu Ran tidak lagi bersuara dan kembali mengalihkan pandangnya ke luar jendela.
Begitupun juga dengan Theo yang langsung bungkam dan kembali menatap layar tabletnya. Tapi fokusnya yang biasanya sangat mudah dia dapatkan, kini terasa begitu sulit.
***
Mobil mewah tempat Ran berada saat ini memasuki sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh pria-pria bertubuh besar dengan seragam lengkap. Kedua mata Ran melebar kala melihat gerbang tinggi itu dibuka.
Ran berpikir dia akan langsung melihat sebuah kerajaan atau kastil megah seperti di negeri dongeng. Namun yang menyambut pandangannya di depan adalah jalan lurus dan pepohonan yang tinggi.
Pohon-pohonnya tampak hijau karena ini saat ini musim hujan sedang berlangsung. Sopir membuka kaca jendela mobil, membiarkan aroma tanah menyeruak masuk ke dalam, pria itu seolah sengaja melakukannya untuk membuat Ran semakin kagum.
Di sebelah barat, sinar kemerahan matahari sore menembus lurus ke celah-celah pepohonan, menampilkan pemandangan yang tampak semakin magis. Lalu mobil terus melaju sampai pephonan itu mengurang dan sebuah rumah megah tampak di pandangan.
Ran nyaris menyuarakan kekagumannya, tapi dia menahannya dan sekuat tenaga untuk bersikap biasa-biasa saja.
Mobil berhenti di depan teras yang atapnya disangga oleh empat tiang megah. Rumah ini tampak benar-benar seperti istana.
Dugaan Ran tidak salah saat di gerbang tadi. Bahwa apa yang ada di balik tembok ini adalah sebuah istana, atau lebih tepatnya disebut kastil. Bahkan desainnya pun tidak tampak seperti rumah modern pada umumnya. Benar-benar tampak seperti kastil.
“Ran?” panggil Theo.
Ran tersentak, menoleh ke samping, tidak sadar kalau Theo sudah keluar dan kini berada di sampingnya, menahan pintu terbuka untuknya.
Ran lantas turun, lalu sekali lagi menatap bangunan megah di hadapannya, sebelum kembali menatap Theo dan tersadar saat itu juga akan seberapa jauhnya jarak di antara mereka. Bahkan sekalipun mereka benar-benar menikah—yang kemungkinan tidak akan terjadi—Ran tidak akan pernah merasa setara dengan pria ini.
“Ini rumahku,” kata Theo.
Saat di restoran tadi, saat Theo bilang bahwa dia ingin mengajak Ran datang ke rumahnya, Ran tidak berpikir yang pria itu maksud adalah ruman yang seperti ini.
“Ayo masuk!” ajak Theo, berjalan lebih dulu di depan Ran, menaiki undakan anak tangga menuju lantai teras, lalu tiba di hadapan pintu depan yang terbuat dari kayu yang divarnish mengilap dengan ukiran-ukiran rumit di dalamnya.
“Aku harap kamu suka dengan rumah ini,” kata Theo sembari membuka pintu.
Ran menatapnya datar dan menjawab, “Tidak penting apa aku suka atau tidak.”
Theo tersenyum penuh arti. “Tentu saja penting, karena kamu sebentar lagi akan menjadi Nyonya rumah ini,” ucapnya, dengan sangat ringan dan lugas, seolah tanpa beban, seolah sudah pasti Ran tidak akan menolaknya lagi.
Dan bayangan mengenai Nyonya rumah megah ini, darah berdesir lebih cepat di dalam pembuluh darah Ran, jantungnya berdetak sedikti lebih cepat dari seharusnya.
Lalu pandangannya pun jatuh ke dalam, dan Ran langsung tertegun.
***
[to be continued]