Bagian 11
Aku menatap pantulan seorang wanita dengan kantung mata setebal panda di depanku miris, surai hitam yang biasa terlihat rapi dan modis, kini terlihat bagai rambut milik singa yang kelaparan.
Aku mendesah dan semakin mengacaukan bentuk rambutku. Yeah. Aku tidak tahu jam berapa aku tidur semalam dan berapa lama air sialan itu keluar dari mataku. Yang pasti, hari ini aku benar-benar merasa kacau dan malas untuk melakukan sesuatu—atau hanya untuk sekadar membersihkan diri.
Mengingat kejadian semalam membuat perutku terasa mual, pening mulai menggelayut diotakku tak mau pergi. Kenyataan jika si bodoh itu tidak mengejarku saat aku sedang kesusahan mencari taksi membuat pikiranku semakin kacau.
Aku tahu jika Kaivan itu bodoh dan tidak peka. Tapi kenapa bisa sebodoh itu? Kenapa dia membiarkanku pulang sendiri? Aku terkekeh sumbang, menertawai diriku yang sama bodohnya dengan Kaivan. Apa yang baru saja aku pikirkan? Kaivan meninggalkan Andhita untuk mengejarku? Yang benar saja! Memangnya Deandra Lavenia Devi itu siapa?
Tanpa kuketahui sebabnya, tiba-tiba hatiku terasa diremas oleh tangan-tangan tak kasap mata, menimbulkan sengatan nyeri yang segera menyebar kemudian. Aku mendesis—merasa marah dengan diriku sendiri. Bagian mana dari Kaivan yang membuatmu jadi selemah ini, Dean?
Bahkan saat aku putus dengan Akash pun, rasanya tidak separah ini hingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Kuseka titik-titik cairan yang entah sejak kapan menyusuri pipiku itu dengan gerakan kasar.
Sejak kapan Deandra berubah cengeng?
Aku mengambil napas dalam, mencoba mengendalikan diriku sendiri. Ada maupun tidak ada Kaivan, aku masih akan tetap hidup dan semua akan berakhir baik-baik saja. Mungkin saja Tuhan terlalu sayang padaku hingga memperlihatkan kebusukan Kaivan lebih dini.
Aku juga harus mempertimbangkan untuk membicarakan masalah ini dengan mama dan tante Rita segera. Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan dengan Kaivan yang mencintai perempuan lain. Aku menguatkan tekad, mengambil kuncir spiral di atas meja rias, aku mulai mengikat rambutku asal dan menyusul mama di bawah.
***
“Dean hari ini mama mau ke rumah Pakde.”
Saat aku menghampiri mama di dapur, kata-kata itu yang mama lontarkan pertama kali. Aku mengerutkan kening, mengambil air putih di atas meja makan dan meneguk isinya hingga tandas. Mama masih terlihat sibuk dengan sesuatu di pantry hingga tidak menoleh sama sekali padaku.
“Mau ngapain ke sana? Kenapa gak bilang sama Dean dulu? Kan Dean bisa nganterin Mama ke bandara,” ujarku, menyeret kursi dan mulai mencomot roti isi yang disiapkan mama. Kalau sudah berhadapan dengan pakde, biasanya mama akan berada di sana untuk beberapa hari karena tempatnya yang lumayan jauh dari sini. Jogjakarta.
“Kakakmu tadi nelpon, gak bisa dateng pas akad nikah. Jadi mama mau minta pakdemu buat jadi wali.”
Aku hendak membantah perkataan mama sebelum tiba-tiba beliau berbalik dan memekik kaget melihatku. Buru-buru mama mendekatiku dengan langkah panjang dan menangkup wajahku dengan kedua tangan hangatnya. Manik hitam memudar itu menyiratkan rasa khawatir sekaligus kesal.
“Kamu begadang ya semalam? Kok matanya kayak panda?” tangan mama menyentuh rambutku, ekspresinya berubah jijik. “ini lagi berantakan kayak gak pernah keramas seminggu. Mandi dulu baru makan.”
Aku mengaduh saat mama menjitak keningku. Sakit sekali, ugh. Mama memang salah satu spesies manusia paling tidak peka di dunia. Harusnya dia tanya aku diapain sama Kaivan semalam sampai berubah kacau begini, bukannya malah menjitak keningku.
Aku hendak bercerita mengenai kejadian semalam sebelum suara mama kembali menginterupsi, “Kamu jaga rumah, abis pulang kerja gak usah keluyuran. Mama buru-buru takut ketinggalan pesawat.” mama mengambil tas tangannya di kursi sampingku dan mencium keningku cepat.
Dan, lagi-lagi, belum sempat aku membuka mulut, mama sudah bergegas pergi menuju pintu keluar. Ah, sialan.
Eh, apa tadi mama bilang? Petra tidak bisa datang? Abang macam apa dia yang tidak bisa menghadiri acara akad nikah adik satu-satunya! Eh, bukannya pernikahan ini mau dibatalkan?
Mama!
Buru-buru aku berlari mengikuti mama yang sudah menghilang di balik pintu. Semoga saja ia belum dapat taksi. Tapi ah, saat aku sampai, hanya tertinggal asap knalpot yang tertinggal di udara. Aku mengacak rambut kesal.
Tidak kehabisan akal, aku berlari menaiki tangga untuk mengambil ponselku di kamar. Menghubungi mama sepertinya lebih masuk akal daripada menyusulnya ke bandara dengan penampilan seperti orang gila.
Tut... Tut...
Aku menggigit bibir bawahku gelisah. Mama tidak mengangkat ponselnya. Aku menghempaskan punggungku ke atas ranjang. Ah. Kebiasaan lama. Pasti mama sudah mengganti mode ponselnya menjadi slient. Tidak bakalan diganti sampai tiba di Jogja. Sialan.
Suara bel rumah yang berdenting membuatku mendesah malas. Kulempar ponselku ke atas ranjang dan mulai bangkit berdiri. Bi Jumi yang biasanya membantu membereskan rumah pasti sudah pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Sebelum keluar, aku melihat penampilanku lagi di cermin. Si makhluk gua yang tidak terurus balik menatap manikku. Ah, sepertinya aku harus mencuci muka dan menyisir rambutku sebentar.
***
Aku sedang menuruni tangga dengan menyisir rambutku saat bunyi bel berbunyi semakin sering. Aku memutar bola mata sembari mendengus kesal. Tamu mana yang tidak tahu diri dengan memencet bel tanpa jeda seperti itu?
“Iya, tunggu sebentar.”
Kubuka pintu rumah, lalu saat menyadari siapa yang datang, buru-buru aku menutup pintu kembali. Tapi aku terlambat saat laki-laki itu berhasil menahan pintu agar tidak tertutup dengan tangan besarnya.
Manik biru itu menatapku sayu, ada gurat kelelahan yang terlihat jelas di sana. Tapi, seulas senyuman tetap ia lemparkan walau terlihat aneh di mataku. Perasaan marah kembali merasukiku saat mengingat kejadian semalam. Hal ini kan yang dia inginkan dari awal? Membuatku hancur?
“Dean aku minta maaf. Aku tidak tahu aku salah apa sampai kamu pergi semalam? Aku mencarimu kemana-mana tapi kamu tidak ada.”
Oke. Aku sudah muak dengan alasannya. Sudah jelas-jelas aku berada ditrotoar dekat gedung, terkantung-kantung seperti tunawisma dan dia tidak melihatku? Memangnya apa gunanya kacamata tebal yang bertengger di hidung mancungnya itu?
Aku memegang tangan besarnya yang menahan pintu, mengusapnya lembut. Kutatap dia dengan senyuman palsu yang terlukis di wajahku. Lalu, ketika dia sudah terlihat lengah, aku menyentak tangannya dan menutup pintu kasar.
Bisa kudengar Kaivan mengetuk—ralat, menggedor pintu sambil memanggil namaku. Kutulikan telingaku dan berjalan ke arah dapur untuk menuntaskan sarapanku yang belum habis.
Oke, kurasa Dean tidak semudah itu untuk dibujuk, Kaivan.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat aku hendak keluar rumah. Ada sesuatu yang harus aku beli di minimarket ujung komplek. Dan selama itu juga aku tidak mendengar keberadaan Kaivan di rumah ini. Ah, makhluk aneh semacam Kaivan pasti sudah meringkuk nyaman dibalik selimutnya sekarang.
Saat aku membuka pintu, sesuatu yang teronggok di tembok depan—sebelah pot bunga mawar milik mama membuatku memekik terkejut. Sepertinya itu sebuah tubuh manusia dewasa yang sedang bersandar, tapi melihat tidak ada pergerakan sama sekali membuatku merinding ngeri.
Bagaimana jika itu potongan tubuh mayat yang sengaja di buang orang di depan rumahku? Bukannya aku parnoan, tapi berita tentang kasus mutilasi memang sedang marak di media sosial.
Walau rasa takut sekaligus was-was menguasaiku saat ini, tapi aku tetap mencoba mendekat.
Dan, saat menyadari benda apa yang tergeletak di sana, aku membelakakkan mata.
“Kaivan!”
***