AKU meletakkan panci di westafel, menghidupkan keran lalu membiarkan air memenuhi panci itu. Selama menunggunya penuh, aku menyiapkan sayur asam yang sudah kubuat di atas meja.
Berjejeran dengan semangkuk nasi, ikan asin goreng, dan juga sambal cabai merah. Semua ini adalah masakkan kesukaan Radian. Aku mengetahuinya dari Mami dua minggu setelah menikah.
Aku yang nggak terlalu mengenal sayur asam, langsung mencari tahu lewat Ibu, Mika, Adelia dan teman-temanku yang lain. Semakin hari, masakan buatanku sudah bisa dibanggakan. Meskipun Radian nggak pernah memuji enak, tetapi dia selalu menghabiskan makanannya. Itu sudah cukup untukku. Dia mau makan berdua di meja makan adalah hal yang selalu patut kusyukuri. Aku nggak akan berani meminta lebih.
Telingaku mendengar bunyi air, seketika aku sadar dan mematikan keran. Mencuci semua peralatan sehabis masak, lalu kembali menggantungnya di tempat semula.
Beginilah keseharianku selama Radian bekerja. Bangun tidur, menyiapkan pakaian kerja, sarapan, dan juga bekal untuk Radian. Dia menerima semua itu dalam diam. Dulu, aku sempat berpikir kalau aku bahagia dengan sikapnya itu. Tetapi kini, sudut hatiku menginginkan sedikit penolakan darinya. Aku ingin dia memintaku untuk nggak membawakannya makanan yang nggak ia suka. Aku ingin dia memintaku memasak sesuatu yang sedang ia inginkan untuk bekal makan siang.
Tetapi nggak. Radian nggak pernah melakukan itu. Dia selalu menerima apa pun yang kumasak. Pakaian apa pun yang kusiapkan. Hingga terkadang, aku merasa semuanya hambar dan nggak ber-euforia. Aku ingin kehidupan normal. Namun, dengan segera aku menyadarkan diriku sendiri. Begini sudah sangat cukup. Aku nggak boleh meminta lebih.
Radian adalah apa yang kuinginkan.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 18.10, tetapi Radian belum juga pulang. Biasanya, jika sedang nggak lembur, dia akan sampai rumah sekitar pukul 17.30-17.50. Aku ingin mengiriminya pesan, namun takut mengganggunya yang sedang bekerja. Karena bagaimana pun, pekerjaannya membutuhkan konsentrasi yang full dan daya tahan tubuh yang lebih
Aku nggak ingin dia kehilangan konsentrasi dan melakukan kesalahan, kemudian dia akan dimarahi bos. Jangan sampai. Aku mencintainya. Aku nggak ingin dia terluka. Baik fisik maupun mentalnya. Dia harus kujaga. Selamanya.
Sejak dia memohon agar aku menyelamatkanya dulu.
"Marsya, plisssss. Nikah sama aku, ya?" pintanya saat itu, terlihat begitu terluka. Jika kalian berpikir, dia terluka karena menginginkanku, aku akan menepuk bahu kalian dan menggeleng. Itu untuk Mika. Dia melakukan itu karena melihat Mika semakin bahagia setelah kelahiran Gamia.
"Tapi kamu nggak pernah cinta sama aku."
"Tapi aku tahu kamu cinta sama aku."
Ya, Radian benar. Dia mengetahui seberapa besar aku mencintainya dan itu pasti membuatku mau melakukan ini. Hidup di dalam pernikahan tanpa sebuah cinta. Radian hanya butuh sosok tameng untuk menutupi lukanya.
Aku duduk gelisah di meja makan, sesekali menatap ponsel, berharap dia akan mengabariku. Atau seenggaknya, memberiku kabar bahwa dia lembur dan nggak bisa pulang sekarang.
Hubby: Aku lembur. Nggak tahu pulang jam berapa.
Hubby: Kamu tidur duluan aja.
Sedetik, cairan hangat terasa mengalir di pipiku. Sekali lagi, dia membiarkanku hanya berdua dengan makanan yang kumasak. Tanpa dirinya.
Me: Aku udah masak sayur |
Me: Iya... Kamu hati-hati pulangnya. Jangan lupa makan ya... Aku cinta kamu.
Hubby: Iya ini lagi makan.
Aku nggak langsung membalas, menunggunya kembali mengirim pesan untuk membalas ungkapanku. Namun, sampai sekitar satu menit aku menunggu, nggak ada tulisan typing yang kulihat. Dia nggak membalasnya.
Apa yang kuharapkan?
Sejak dulu, sejak dia menawarkan aku untuk menjadi kekasihnya sampai menjadi istrinya, dia nggak pernah mengatakan kalimat sakral itu. Dan aku sudah tahu, tetapi berpura-pura nggak tahu dan bahkan nggak peduli kadang menyelamatkan hatiku.
Seperti sore itu, saat aku, Amel dan Radian datang ke ulang tahun Gamia yang ke-3. Aku mendengar percakapan Galang dan Radian di halaman belakang rumah Galang, ketika aku ingin memanggil Galang untuk menunjukkan botol s**u Gamia. Percakapan yang seharusnya membuatku sadar dan berhenti, tetapi aku tetap memilih berpura-pura nggak tahu dan tersenyum bahagia.
Karena aku nggak ingin kehilangan Radian dan Mika.
Aku nggak ingin membenci Mika karena aku berpisah dengan Radian. Aku nggak ingin melihat Radian sedih karena Mika menjauhinya.
"Inget, Yan. Mika udah nikah sama gue. Kami punya anak. Lo harus move on. Berhenti dengerin lagu The Script sialan itu."
Saat itu, Radian hanya tertawa kecil, lalu menimpali ucapan Galang. "Sialan lo! Lagunya ngena banget. Gue berasa ambruk tiap denger lagu itu." Suaranya terdengar sangat terluka. Aku ingin berlari dan memeluknya, tetapi ketakutanku ternyata lebih besar.
Karena sampai kapan pun, hanya Mika Andrafia yang menjadi pembangkit semangatnya, pemicu senyuman terbit di wajahnya.
"Sengena apa pun. Tapi lo harus berjalan. Lo punya Marsya, sampai kapan lo jadiin dia penutup dari Mika?"
Galang tahu semuanya. Dan dia memilih diam daripada memberitahuku. Aku pun tahu semuanya, tetapi aku bersikap nggak acuh dan berusaha membahagiakan hatiku sendiri.
Radian selamanya akan begitu. Dan aku selamanya akan jadi seperti ini. Sebagai penutup agar Mika nggak merasa bersalah dan menganggap Radian baik-baik saja.
Aku mengelap pipiku kasar, menuangkan nasi ke atas piring, menyiramnya dengan kuah sayur asam, lalu memakannya. Makan seorang diri setelah menikah merupakan aktivitas rutinku. Radian sangat sibuk, membuatnya sering pulang larut malam dan langsung tidur begitu saja.
Biasanya, aku akan menunggunya di sofa sembari menonton DVD drama Turki, sampai mendengar suaranya masuk apartemen. Setelah itu baru aku masuk ke kamar dan berpura-pura tidur, agar dia nggak memergokiku.
Tetapi kali ini, aku ingin mengistirahatkan pikiranku dari aktivitasnya. Memejamkan mata, menenangkan hati, dan menetralkan degup jantung. Maka, aku berjalan ke kamar mandi dengan membawa segelas air putih, membuka kabinet dan mengambil beberapa butir pil, lalu meneguknya.
Aku melakukan ini agar aku bisa tidur dengan tenang. Tanpa rasa sakit, pikiran pening, dan terbangun tengah malam. Aku nggak ingin mengganggu ketenangan tidur Radian. Dia sudah sangat lelah dengan pekerjaannya dan membutuhkan waktu istirahat yang cukup.
Setelah selesai dengan pil ini, aku kembali ke kamar dan naik ke atas kasur. Membaringkan tubuh di bagian kanan, kemudian menarik selimut hingga leher. Aku membaca doa agar Tuhan mau melindungiku dan Radian yang sedang berada di luar sana. Dia mencari nafkah demi menghidupiku.
Dan aku sangat menghargai itu.
Dia adalah suamiku. Imamku dalam rumah tangga.
Karena sejak menikah dengannya, Marsya yang dulu hanya tersisa sebagian. Marsya yang ceria hanya ada saat di hadapan banyak orang. Aku nggak bisa hidup sesantai dulu. Pikiranku penuh dengan memikirkan hal-hal yang sebenarnya nggak perlu kupikirkan.
Tetapi aku nggak menyesal.
Karena sampai kapan pun, aku akan bahagia ada di posisi ini.
Aku membuka mata kembali saat mendengar ponselku berbunyi. Meraihnya dari atas nakas, aku membaca pesan yang dikirim seseorang.
Hubby: Kayaknya aku nggak pulang.
Me: Kenapa? Aku bakalan tunggu kamu kok.
Hubby: Deadline banget.
Me: Aku bisa bantuin kamu apa?
Aku ingin membantu meringankan pikirannya.
Hubby: Nggak usah. Udah dibantu temen.
Me: Semangat ya, Sayang. Aku cinta kamu.
Ceklis dua itu nggak berubah warna, menandakan kalau dia nggak membaca pesanku.
Sudah berapa kali aku mengungkapkan kata itu dalam sehari? Sudah berapa kali juga aku merasakan sakit ini?
Tak mengapa. Karena aku memang mencintainya.
***
AKU membuka mata perlahan, menoleh ke samping, dan mendapati Radian yang masih terpejam. Hanya dalam situasi inilah, aku bisa memandangi wajah tampannya dengan leluasa. Berusaha merekam semuanya dengan baik. Aku ingin sekali membelai wajah ini, mencium setiap incinya dan menghirup wanginya.
Tetapi, bahkan untuk memandangnya lama pun, aku nggak berani. Takut kalau dia tiba-tiba membuka mata dan memergokiku.
Pernah dulu, sekitar satu bulan setelah pernikahan, aku terbangun dengan degup jantung yang berlebihan. Bagaimana enggak? Tangannya melingkar di pinggangku dan matanya terpejam. Aku sangat bahagia, tentu saja. Tetapi aku masih nggak percaya kalau dia mau melakukan itu. Kupikir, saat aku meringkuk di dalam selimut setelah Amel mengirimiku video horor, Radian akan nggak acuh begitu saja. Ternyata dia tahu aku ketakutan.
Dan itu adalah sentuhan paling intim yang pernah dia lakukan.
Dia nggak pernah menyentuhku. Baik dulu maupun sekarang.
Radian masih tetap jauh.
"Sampai kapan kamu mau lihatin aku?"
Mataku nyaris lepas dari tempatnya!
"Ehm... aku mau mandi dulu." Aku segera bangkit dari kasur, berjalan cepat ke kamar mandi.
Membersihkan diri secepat mungkin, karena waktu subuh memang sangat sedikit. Setelah selesai berganti baju di dalam kamar mandi, aku mengambil air wudhu, kemudian keluar dan mendapati Radian sudah siap di atas sajadah.
Secepat apa dia mandi?
Aku merasa sudah sangat cepat saat menggosok tubuhku, dan dia selalu lebih dulu selesai. Kamar mandi di kamar tamu memang menjadi pilihan saat subuh seperti ini. Apartemen Radian nggak terlalu besar. Hanya memiliki dua kamar, kamar yang kami tempati dan kamar tamu. Biasanya Malwa yang sering menginap di sini. Adikku.
"Kegiatan kamu hari ini apa?"
Aku mendongak, menatap Radian sembari menerima sajadah yang ia sodorkan, lalu melipatnya. "Seperti biasa." Berdiri, aku meletakkan itu di lemari bersama milikku. "Kamu mau bawa bekal apa?"
"Apa pun." Dia melepas kopiah dan berjalan menuju laptopnya. Maksudku, di dalam kamar ini, Radian memberi sekat, membentuk ruangan kecil khusus untuk dia bekerja.
Dia memang nggak pernah tidur lagi sesudah subuh. Dan aku suka itu. "Kamu lagi pengin makanan apa?" Aku menjadikan hatiku sebagai jaminan untuk ini. Memberanikan diri bertanya, padahal aku sudah bisa memrediksi jawaban dari mulut itu.
"Aku nggak pernah pilih makanan.
Ya, itu ultimatum kuat. Aku sudah mengerti apa yang harus kulakukan setelah mendengar kalimat itu.
Karena bahkan sampai sekarang, Radian begitu jauh. Nggak tersentuh sedikit pun.
to be continued ...