"Ini apa? Coba jelasin ke Ayah sama Ibu, ini apa?" Ibu meletakkan wadah pil itu di atas meja.
Aku hanya diam.
Semalam, Malwa memutuskan datang ke apartemenku dan menginap, karena Radian harus ke luar kota beberapa hari. Dan tadi pagi, entah bagaimana dia berhasil menemukan obatku di dalam kabinet di kamar mandi.
Dia bertanya padaku, dan saat aku berbohong dia tersenyum mengejek dan mengatakan kalau dia mengetahui fungsi obat itu. Hal yang membuatku kesal sekaligus takut adalah dia sudah mengabari Ibu dan mengirim foto obat itu.
Aku sangat marah dengan Malwa!
Tetapi aku nggak bisa apa-apa, selain menunduk takut di hadapan kedua orang tuaku sekarang.
Tarikan napasnya bisa kudengar. Beliau jelas marah. "Kamu itu masih muda, Sya. Dua puluh lima tahun! Ini apa?"
Aku tetap diam.
"Ibu...." Ayah memang selalu mengerti kalau aku nggak bisa berkata-kata lagi. Dia paham aku nggak bisa jawab pertanyaan Ibu.
"Dia itu bukan orang bodoh, Yah. Marsya jelas tahu fungsi dari obat ini. Dia dibiayai untuk jadi orang pintar. Lihat Ibu kalau lagi dibilangin."
Aku mendongak dan berusaha menatapnya. Aku lemah dalam hal ini. Ibu akan tahu apa yang kurasakan. Dia bisa saja memahami perasaanku.
"Kamu pikir Ibu nggak tahu gimana kusutnya muka kamu kemarin? Ibu ini mengandung kamu selama sembilan bulan, Teh. Ibu kasih kamu apa pun. Ibu tahu waktu kamu lapar di saat kamu nggak bisa bilang. Ibu bisa bedain kamu nangis karena laper atau nggak nyaman. Ibu ada di saat kamu tumbuh hingga berumur dua puluh lima tahun sekarang." Matanya berkaca-kaca, berbarengan dengan diriku yang sudah mulai sesenggukkan. "Apa yang Radian lakuin, Teh?"
Aku menggigit bibir dengan kuat.
Radian nggak melakukan apa pun. Aku yang salah karena terlalu banyak berharap hingga merasa sakit dan kecewa. Radian nggak pernah salah. Aku nggak akan pernah bisa melihat kesalahan sedikit pun pada dirinya.
"Yaudahlah. Ibu nggak akan maksa lagi. Ibu mau ke dapur." Ibu berdiri dan meninggalkan aku bersama Ayah.
Suasana hening. Baik aku maupun Ayah nggak ada yang berusaha untuk memulai. Apa yang harus kukatakan saat Ayah juga memaksaku untuk bercerita? Aku nggak mungkin bilang pernikahanku dan Radian nggak berjalan normal. Kami normal. Hanya keadaan yang terkadang nggak mengizinkan.
"Ayah nggak akan maksa kamu buat cerita." Akhirnya Ayah bersuara. "Kamu sudah punya kewajiban sendiri. Menciptakan masalah dan menyelesaikannya. Tapi biar gimana pun, kamu ini anak Ayah, Teh. Kamu bisa menjadi mantan istri, tetapi nggak menjadi mantan anak."
Aku menatap Ayah, meremas tanganku sendiri. Dan tangisku mulai pecah. Aku ingin membuka mulut, tetapi nggak bisa.
"Ayah pengin kamu telepon Radian. Suruh dia pulang sekarang."
No!
Ayah pasti akan memarahi Radian. Aku menggeleng. "Ja-ngan, Ayah. Radian... Radian nggak salah."
"Ayah pengin memastikan tanggung jawabnya atas kamu selama tiga bulan ini. Telepon dia."
Aku berdiri, berjalan gontai ke dalam kamar untuk mengambil ponsel. Mencari nama Radian, lalu segera meneleponnya dengan tangan gemetar. Dia pasti akan terganggu. Aku takut jika dia sedang rapat dengan klien atau timnya.
"Halo, Sya...."
Aku diam, menggigit bibir bawahku kuat. Suaranya. Aku sudah rindu, ingin memeluknya. Aku takut, Radian. Aku takut Ayah dan Ibu akan menyalahkanmu.
"Sya, halo."
"Yan, kamu... bisa pulang sekarang?"
"Aku kerja, Sya. Baru pulang besok."
"Nggak bisa izin pulang sekarang?"
Dia mengembuskan napas kasar. "Kenapa, sih?"
"Ayah nyuruh kamu pulang."
.
.
.
.
AYAH menatap aku dan Radian bergantian. Di sampingnya, Ibu juga memberi tatapan yang sama.
Radian sampai rumah sekitar pukul tiga tadi pagi, aku menyuruhnya istirahat sebentar. Kemudian di sinilah kami, duduk di ruang keluarga dengan suasana yang mencekikku. Aku melihat jam di dinding, 08.15.
Belum ada yang memulai untuk berbicara, tetapi tanganku sudah gemetar memikirkan kalimat apa yang akan Ayah dan Ibu sampaikan. Malwa pamit pergi ke supermarket setelah melakukan kekacauan ini. Aku tahu dia peduli padaku, untuk itu dia ingin menyelamatkanku dari obat itu. Tetapi caranya salah, Ayah dan Ibu nggak berhak tahu kemudian mereka menyalahkan Radian.
"Kamu bisa jelaskan obat ini, Yan?" Ayah memulainya. "Saya nggak paham obat tidur dikonsumsi oleh setiap orang atau orang-orang tertentu. Karena seumur hidup, saya belum pernah minum obat ini."
Aku meremas tangan di atas pangkuanku. Sebelumnya Ayah nggak pernah menggunakan kata 'saya' saat berbicara dengan Radian. Dia marah. Atau kecewa lebih tepatnya, dengan diriku.
Mataku melirik Radian yang meraih wadah obat itu, memandanginya cukup lama, kemudian tatapannya beralih ke arahku. Dia diam. Lalu kembali meletakkan wadah itu di tempat semula. Dia menatap Ayah. "Yang Radian tahu, ini obat tidur. Dan seseorang yang meminumnya adalah orang yang memiliki banyak masalah atau stres dan nggak bisa tidur."
Dia selalu berani jujur dengan apa yang ia pikirkan. Dia nggak pernah takut dirinya akan disalahkan karena kalimatnya. Dia selalu menjaga harga diri dengan nggak mengatakan hal yang berbohong hanya untuk melindungi diri. Dia Radian. Bagaimana aku nggak mencintai dengan begitu besar lelaki di sampingku ini?
"Itu berarti Marsya banyak masalah dan stres?" tuduh Ibu lugas.
Aku tercengang. Beliau adalah sosok yang lembut, tetapi terkadang berubah menjadi mengerikan. Mataku melirik Radian takut-takut. Dia hanya diam.
"Saya itu nyerahin Marsya bukan untuk kamu sakiti. Bukan untuk kamu kekang. Bukan untuk kamu jadikan alat pemuas kebutuhan saja." Ayah menatap Radian tajam. "Selama dua puluh lima tahun, saya nggak pernah larang Marsya untuk pergi ke mana pun. Saya selalu pastikan dia bahagia menjadi anak saya. Saya selalu meminta dia nggak mengunci kamar karena saya akan datang tengah malam, memastikan dia tidur dengan nyenyak. Kamu pikir kamu siapa, Radian?"
"Ayah...." Aku menahan suaraku yang bergetar, air mata mengalir deras di daerah pipiku. "Ini karena Marsya yang nggak pernah bilang ke Radian. Dia selalu memastikan Marsya dalam keadaan baik. Radian selalu tidur setelah Marsya lebih dulu tidur."
"Dari mana kamu tahu kalau Radian tidur setelah kamu tidur? Kamu bisa melihat dia saat kamu tidur?" Ibu tersenyum sinis. Dia nggak pernah mengatakan 'kamu' saat memanggilku.
"Radian yang salah. Radian nggak melakukan tugas seorang suami dengan baik. Radian bahkan nggak tahu kalau Marsya harus minum obat itu sebelum tidur. Radian minta maaf, Ayah, Ibu." Radian mengataknnya dengan tenang.
"Ini bukan soal siapa yang salah. Marsya juga jelas salah karena nggak mengatakan dengan jujur kepada suaminya. Tugas kamu itu berbakti pada suami, Sya. Nama baik Radian juga harus kamu perhatikan."
Aku mengangguk paham.
Ayah benar. Aku yang salah. Radian nggak tahu apa pun mengenai obat itu. Aku nggak memberitahunya dan itu membuat dia tersudutkan oleh pertanyaan Ayah dan Ibu.
.
.
.
.
"Aku minta maaf." Aku mendekati Radian yang sedang duduk di kursi menghadap laptop.
Radian langsung pergi ke kamar setelah Ayah dan Ibu memutuskan pulang, juga mengajak Malwa ikut bersama mereka. Padahal anak itu sangat betah tinggal di sini.
Ini akan menjadi masalah kalau Radian sampai marah padaku. Aku nggak bisa melihatnya diam, diam yang benar-benar marah atau kecewa.
"Kenapa kamu minum obat itu? Suka lihat aku kelihatan b**o di depan Ayah dan Ibu?" Dia berbicara tanpa perlu menolehkan kepalanya. Sama sekali tak menatapku.
Aku menggeleng kaku.
Kepalanya tiba-tiba menoleh dan menatapku dengan rahang mengeras. "Aku nggak bisa cinta kamu, kamu tahu itu dari awal. Dan kamu bilang itu bukan masalah." Aku mengangguk, di bawah tatapanya. "Ini balasan kamu untukku? Menghancurkan harga diriku di depan mereka. Kamu bilang kamu cinta aku, Sya...."
"Iya. Aku cinta kamu." Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan jantungku. "Aku cinta sama kamu, makanya aku nggak mau ganggu tidur kamu. Aku nggak pernah bisa tidur malem, Yan. Dan aku nggak mau gerak-gerikku ganggu istirahatmu."
Dia diam. Nggak bertanya kenapa aku nggak bisa tidur.
"Kamu orang pinter dan harusnya cari cara lain supaya nggak buat kekacauan ini."
Hatiku teriris. Kalimat lirihnya membuatku merasa bodoh. Dia benar. Aku nggak diizinkan untuk dia khawatirkan.
to be continued ...