Cengeng dan Kekanakan

1944 Kata
"Lo hutang cerita ke gue," bisik Metya sebelum mengurai pelukannya. Metya menjadi satu-satunya teman Analis yang pulang paling terakhir. Sementara Berin dan dua temannya yang lain pulang lebih dulu karena ada urusan masing-masing. Analis nyaris jantungan kala melihat satu foto Doma yang lupa dia simpan. Ketika Berin akan menoleh ke arah ke mana tempat foto itu diletakkan, Metya tahu-tahu datang dan berdiri tepat di depan foto tersebut. Entah harus bersyukur atau mengutuk dirinya, karena Metya, seseorang yang paling peka di antara semua temannya. "Aku telepon kamu nanti," balas Analis setelah pelukannya terurai. "Makasih udah nyempatin jenguk ya, Met." Metya melambaikan tangannya dan berjalan ke pintu sendirian karena Analis tidak kuat berjalan terlalu jauh. Perempuan itu menjejalkan ponsel ke dalam tas lalu mengeluarkan kunci mobilnya. Sebelum Metya masuk ke dalam mobil, tidak diduganya, karena dia berpapasan dengan Mandala Domani. Untuk beberapa saat Metya terkagum akan sosok tinggi Doma. Ini kali pertama dirinya bertemu secara langsung dengan Doma. Dalam hati perempuan itu bergumam, "Oh... ini orangnya." Metya jadi teringat bahwa temannya yang lain juga sangat menyukai Doma. Doma mengunci mobilnya sebelum masuk ke dalam rumah. Sempat disapanya Metya dengan anggukkan kepala. Metya membalasnya, namun tidak sedikit pun dirinya mengalihkan pandangan dari punggung lebar Doma sampai laki-laki itu menghilang di balik pintu. "Mereka bikin gue gila," decak Metya, kemudian masuk ke dalam mobil. Di dalam rumah, Analis mendapati Doma baru saja datang. Laki-laki itu berjalan begitu saja, padahal jelas-jelas Analis sedang berada di sofa ruang tamu. Ada apa dengan laki-laki itu? Baru kemarin sedikit lunak, sekarang sudah kambuh lagi. Apa Doma marah karena Analis melarangnya untuk tidak pulang dulu? Tapi kan, ini demi kepentingan bersama. Akh, kenapa laki-laki itu aneh sekali! Hari ini lunak, besoknya kambuh lagi! Analis mendongakkan kepala mengamati langkah lesu Doma dari tangga. Laki-laki itu bahkan tidak menoleh sama sekali ke arahnya. Menyapanya pun juga tidak. Dihelanya napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Mandala Domani benar-benar sulit ditahlukan. *** "Tetap di situ. Biar kamu saya bantu pergi ke kamar." Baru tiga puluh menit yang lalu Doma bersikap dingin dan seolah tidak peduli, sekarang tiba-tiba kembali sok perhatian kepadanya. Tadi ke mana saja laki-laki itu? Analis sudah bosan duduk di sofa ruang tamu sendirian. Tanpa bacaan, tanpa ponsel atau hiburan lainnya. Dia ingin istirahat di kamar, tapi rasanya was-was kalau menaiki anak tangga sebanyak itu saat kakinya sakit. Doma mengenakan sweater cokelat muda dipadu celana training abu-abu. Berjalan ke arah dapur sembari membawa mug-nya. Analis mendudukkan ke sofa mengurungkan niatnya pergi ke kamarnya sendiri. Mendengar Doma memintanya agar tetap di tempatnya sampai laki-laki itu selesai mengambil air minum. Laki-laki itu keluar dapur, siap memapahnya menuju ke lantai atas. Analis ingin mengajak laki-laki itu ngobrol sebenarnya. Tetapi begitu melihat raut wajah Doma yang tidak ramah semenjak pulang kantor, Analis mengurungkannya. Dia memang ingin menarik perhatian laki-laki itu, namun dia harus tahu situasi dan kondisi. "Hari ini kamu banyak diam ya." Tidak seperti biasanya, Doma memulai percakapan lebih dulu. Analis melingkarkan sebelah tangannya ke bahu lebar Doma. Sesekali meringis setiap kali kakinya menginjak satu per satu anak tangga. Sudah hari ketiga perempuan itu beristirahat di rumah setelah diserempet motor. Tapi kenapa masih saja sakit rasanya. Akh, sial. "Harusnya kamu senang karena barusan dijenguk teman, kan?" celoteh Doma, berhenti sejenak memapah Analis lalu berganti menggendongnya. Analis jadi terbiasa digendong Doma semenjak sakit. Bukan berarti Analis sengaja, atau pura-pura kesakitan agar laki-laki itu memberi perhatian. Tidak. Itu sama sekali bukan gaya Analis. Dia benar kesakitan. Setiap kali dirinya diam, rasa nyut-nyutan di pinggang hingga ujung kakinya mulai terasa. "Tumben banget Pak Doma cerewet," sindir Analis. "Saya kira Bapak marah sama saya. Pulang-pulang main ngeloyor gitu aja. Nyapa pun nggak." "Maaf." Hanya satu kata balasan dari Doma. Tidak lebih, tidak juga kurang. Analis sudah terbiasa dengan sifat laki-laki ini. Kaku dan dingin adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari sosok Mandala Domani. Doma membantu Analis membawa kakinya ke atas ranjang. "Besok saya antar ke rumah sakit untuk cek luka kamu." "Buat apa? Pas jatuh langsung dibawa ke rumah sakit dan dikasih obat kok." Doma mengembuskan napas. "Kaki kamu masih sakit, kan? Bahkan kemarin kamu jatuh di kamar mandi." "Saya nggak apa-apa, Pak. Beberapa hari lagi juga sembuh." Analis menggerak-gerakkan kakinya. "Biarpun saya senang jadi Bapak perhatiin. Tapi tetap aja saya lebih senang kalau kaki saya sembuh." Analis tiba-tiba canggung diperhatikan seintens itu oleh Doma. Laki-laki itu bahkan masih duduk di tepi ranjang, namun pandangannya tertuju lurus ke arahnya. Kenapa? Analis bertanya pada dirinya. Seperti ada yang aneh dengan laki-laki itu. "Saya boleh tanya sesuatu?" Kepala Analis terangguk kaku. "Boleh. Mau tanya apa?" "Kasus apa yang sedang kamu kerjakan sekarang? Atau ada kasus yang menarik perhatian kamu?" Sepasang mata Analis mengerjap-ngerjap. Perempuan itu menelan ludahnya. Menunduk sesaat, sebelum akhirnya terangkat dan balas menatap Doma. "Nggak ada. Cuma kasus soal sengketa tanah waktu itu. Emang kenapa, Pak?" Doma hanya menggeleng. Diperhatikannya ekspresi wajah Doma yang terlihat beda hari ini. Laki-laki itu kelihatan gelisah, entah kenapa. Analis pun tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Doma beranjak dari tepi ranjang, dan berdiri menjulang tepat di samping Analis. Perempuan itu mendongak, masih memerhatikan raut wajah Doma yang gelisah. Tanpa disangka, Doma mengulurkan tangannya lalu mengusap puncak kepala Analis dengan lembut. "Saya ada di ruang kerja. Kamu tidur duluan aja." *** "Analis ke mana, Mbok?" "Ada di kamarnya, Pak." "Dia udah makan dan minum obatnya tadi siang?" "Udah, Pak. Non Analis langsung tidur setelah minum obatnya." Doma mengangguk kecil dan tidak lupa mengatakan, "Terima kasih." Seperti menjadi keajaiban dunia, sepulang bekerja Doma menanyakan keberadaan Analis. Apa perempuan itu sudah makan dan meminum obatnya? Ditanya sesuatu yang jarang didengarnya, Mbok sempat heran. Tapi tetap dijawabnya. Doma menenteng tas kerjanya dan pergi menuju ke lantai atas. Dia ingin memastikan kalau perempuan itu tidak lagi membuang obatnya seperti beberapa hari lalu. Satu hal lagi yang baru Doma ketahui mengenai Analis. Selain takut berlebihan dengan anjing, Analis juga tidak bisa menelan pil atau kapsul. Pantas saja rasa nyeri di kakinya tidak kunjung sembuh. Ternyata, obat pemberian dari dokter tidak pernah diminumnya, tetapi malah dibuang, kemudian beralasan kepada Doma jika obatnya diminum teratur. Doma menarik kelima jarinya yang hendak menyentuh gagang pintu kamar. Samar-samar Doma mendengar suara Analis. Perempuan itu berbicara dengan siapa? Doma mengerutkan dahinya tajam. Sampai akhirnya laki-laki itu mendengar suara Analis menyerukan, "Halo, Met! Kamu dengar suara aku nggak, sih?" Ah... Analis sedang menelpon temannya ternyata. "Eh, nanti aku telepon lagi ya, Met. Iya. Janji," ujar Analis mengakhiri obrolannya bersama Metya di telepon. "Kenapa udahan?" tanya Doma meletakkan tas kerjanya lalu melepas jasnya. "Bapak udah pulang," kata Analis menggigit bibir. Dalam hati dia bergumam, apa Doma mendengar obrolannya bersama Metya di telepon? Karena bagaimanapun, orang yang sedang mereka bahas adalah Mandala Domani. "Saya nggak apa-apa. Tadinya saya cuma mau naruh tas sama jas." Doma menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. "Baru setelah itu saya mau keluar lagi kalau kamu memang butuh privasi." "Nggak, kok." Analis menggeleng cepat. "Emang udahan teleponannya. Teman saya harus balik kerja lagi." "Obat kamu beneran diminum, kan?" "Kalau nggak percaya, cek aja tempat sampahnya!" sahut Analis keki. Doma pergi memeriksa tempat sampah sungguhan. Analis berdecak sebal. Laki-laki itu selalu memastikan dirinya meminum obat atau tidak setelah ketahuan obatnya selama ini selalu dibuangnya ke tempat sampah. "Pak!" rengek Analis kesal. "Sebegitu nggak percayanya Bapak sama saya?" "Bukan nggak percaya. Saya cuma memastikan," sanggah Doma. "Kamu nggak ingat dua hari lalu nangis kayak anak kecil cuma karena disuruh nelan obat?" Analis ingin menangis saja rasanya mengingat kejadian dua hari yang lalu. Kala itu Doma memergoki Analis membuang obatnya ke tempat sampah. Doma tidak langsung memarahi Analis. Melainkan bertanya kenapa obatnya dibuang, padahal anjuran dokter, obat itu harus diminum sampai habis. Atau paling tidak, sampai nyeri di kakinya berkurang. Doma mengajari Analis menelan obatnya dengan sabar. Mulai dari menyiapkan pisang sampai beberapa makanan yang bisa mendorong obat di dalam mulutnya. Analis benar-benar menangis kala pil yang berada di tengah-tengah tenggorokkannya keluar lagi lalu muntah. Tidak sepenuhnya Mandala Doma orang yang dingin. Laki-laki itu menunggui Analis sampai bisa menelan obatnya. Bahkan ketika perempuan itu muntah dan mengenai selimut, Doma membersihkannya tanpa memanggil Mbok di bawah. Doma juga membantunya menyeka air mata di pipinya dengan telaten serta sabar. "Saya jadi trauma kalau lihat pil," gerutu Analis. "Asal Bapak tahu aja. Setiap kali waktunya minum obat, saya langsung keringat dingin." Doma mendengus setengah tertawa. Analis tertegun sesaat melihat laki-laki di depannya mendengus dan tertawa dalam bersamaan. Apa terjadi sebuah keajaiban? Mandala Domani bisa mendengus dan tersenyum dan tidak menunjukkan ekspresi yang sama lagi? "Jangan kayak anak kecil, An! Memangnya kamu umur berapa sampai nelan pil aja mau nangis?" Analis menarik-narik selimut dengan bibir mengerucut sebal. "Bapak nggak pernah ngerasain obat nyangkut di tenggorokkan ya?!" Perempuan itu memegangi lehernya. "Pokoknya saya terakhir minum obat tadi! Saya nggak mau lagi minum obat!" "Minum sampai habis. Atau kamu mau kita cek ke dokter lagi, dan kamu lebih banyak minum obat?" ancam Doma, Analis menggeleng ngeri. "Pak...," rengek Analis bak anak kecil. "Tadi siang dibantu minum obat sama siapa?" "Mbok," jawab Analis. "Masih nangis?" "Iya." Analis mengatupkan bibirnya rapat. Dan Mandala Domani kembali mendengus geli. *** "Ayo, An. Tinggal satu lagi obatnya." Analis membungkam bibirnya dengan kelima jarinya lalu menggeleng. Analis bahkan sudah muak karena beberapa hari ini dia dipaksa meminum obatnya. Doma sampai turun tangan sendiri membantu Analis meminum obat. Dua dari tiga pil yang harus diminumnya berhasil dia telan walaupun harus berdebat alot karena Analis cukup keras kepala. "Tinggal satu, An." Doma mengangsurkan obat terakhir Analis. Pecah sudah tangis yang ditahannya semenjak tadi. Dari obat pertamanya, Analis sudah akan menangis sebenarnya, tetapi ditahannya karena tidak ingin diejek oleh Doma. Katanya, Analis mirip anak berusia lima tahun yang minum obat saja harus menangis dulu. "Pak, nggak mau." Analis menggeleng, menutupi wajahnya dengan selimut. "Sakit, tahu. Itu obatnya paling gede. Susah nelannya." "Nggak, An. Ayo coba dulu," bujuk Doma, mendekatkan dirinya pada Analis. Berkali-kali dibujuk Doma, Analis pun luluh juga. Walaupun sambil terisak-isak bak anak berusia lima tahun, Analis bertekad menelan obat terakhirnya. Doma membantu Analis memasukkan obat ke dalam mulut lalu menyuapi perempuan itu dengan sepotong pisang. Tidak lupa memberinya air agar bisa mendorong obatnya masuk ke dalam kerongkongannya tanpa sakit. "Telan, An. Ya, minum airnya lagi." Doma memberi arahan Analis. Obat terakhirnya berhasil Analis telan tanpa harus keluar lagi seperti obat-obat sebelumnya. Doma mengambil alih gelas kosong dari tangan Analis kemudian meletakkannya ke atas meja nakas. "Perut saya kembung, Pak. Kebanyakan minum air kayaknya," celoteh Analis. "Gimana nggak kembung. Kamu nelan satu obat, minumnya satu gelas penuh." Doma menarik dua lembar tissue, lantas mengusap sisa air di sudut bibir Analis. "Bapak nggak boleh ngejek saya. Gitu-gitu bisa disebut perjuangan juga." Analis menurut saja saat Doma mengarahkan tissue ke bibirnya. "Padahal saya nggak bilang apa-apa," gumam Doma menarik tangannya dari bibir Analis. "Kamu aja yang berburuk sangka sama saya." "Tadi Bapak bilang saya kayak anak kecil!" "Itu bukan ngejek, An. Saya cuma ngasih gambaran gimana rewelnya anak kecil saat disuruh minum obat." "Sama aja, Pak Doma! Itu namanya Bapak ngejek saya!" Analis memukuli bahu Doma sambil terus protes tidak terima diejek seperti anak kecil. Doma berusaha menghalau pukulan sampai cubitan Analis di perutnya. Tetapi semakin dihindarinya, maka semakin bar-bar perempuan itu. "Bapak ketawa!" tunjuk Analis. Dia berhenti mencubiti Doma kemudian terisak lagi. Doma kebingungan dibuatnya. Analis akan menunjukkan sisi lainnya kala dipaksa meminum obat. Sosoknya yang kuat dan berani, tiba-tiba berubah cengeng dan kekanakan. Entah memang datang dalam dirinya, atau sekadar ingin menenangkan Analis, Doma mendekatkan dirinya lalu memeluk perempuan itu. Sebelah tangan Doma berada di punggung Analis dan mengusapnya lembut. "Saya senang Bapak bisa ketawa. Tapi jangan karena lihat saya nangis juga!" protes Analis di pelukannya. "Kalau gitu, mending Bapak nggak usah ketawa, deh. Sebal saya lihatnya!" Bukannya marah, Doma malah tersenyum geli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN