BAB 1
Namamu begitu indah. Namun, mengapa sikapmu tak seindah namamu?
ΔΔΔ
Sore ini, hujan begitu deras mengguyur ibu kota Jakarta. Membuat beberapa orang tak bisa pulang ke rumah mereka masing-masing. Kini, seorang gadis berdiri tegap di salah satu tembok besar yang berada di parkiran kampusnya. Gadis itu sedang menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya, menciptakan kehangatan untuk dirinya karena cuaca kali ini begitu dingin hingga menusuk tulang.
Tak membawa jas hujan, itulah alasan yang paling utama ketika ada yang bertanya kenapa gadis itu tak segera beranjak dari tempatnya. Kalau saja dia menggunakan mobil, mungkin sudah sedari tadi dia tiba di rumah. Namun apalah daya, dia hanya seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana. Mempunyai sepeda motor sudah cukup untuk membantunya pulang dan pergi ke manapun. Masih banyak di luar sana orang yang jauh tidak beruntung daripada dirinya.
Jangan selalu menengadah, karena masih banyak orang yang berada di bawah. Itulah definisi bersyukur bagi gadis itu.
Dia menatap langit, kemudian bertanya dalam hati; Sampai kapan kau akan terus turun membasahi bumi? Tolong, berhentilah sebentar, paling tidak sampai aku berada di rumah. Aku harus segera pulang, membantu nenek memasak untuk makan malam.
Matanya tertutup, memohon dengan sangat agar Tuhan mengabulkan doanya. Dia tidak akan tega jika harus membiarkan neneknya memasak seorang diri di rumah. Tak mau membuat sang nenek tercinta kelelahan hanya untuk menyenangkannya--dengan memasakkan makanan yang gadis itu akui rasanya begitu lezat dan membuatnya selalu ketagihan.
Gadis itu tersenyum ketika terbayang senyuman manis sang nenek. Suara lemah lembut yang selalu membuatnya tenang, serta perilakunya yang begitu hangat membuat siapa saja tak sanggup jika harus terpisah jarak dan waktu dalam jangka yang panjang.
"Kaila Sherly Sifabella."
Dia menoleh ketika ada seseorang yang memanggil namanya. Lantas senyum manis terukir di bibir tipisnya. Ya, nama gadis itu adalah Kaila Sherly Sifabella, sering dipanggil Kaila. Gadis hitam manis, dengan bulu mata yang lentik, serta iris berwarna cokelat pekat.
"Mau pulang bareng?" tanya orang itu yang kini berada di hadapan Kaila.
Gelengan kecil dia berikan. "Terimakasih tawarannya, Raka. Kayaknya sebentar lagi hujan reda, aku gak masalah menunggunya sebentar lagi." Kaila menolaknya dengan sopan, agar tak menyakiti lawan bicaranya tersebut.
Laki-laki bernama Raka itu mengangguk mengiyakan, dia tahu benar kalau Kaila seorang gadis yang selalu tidak enakan--tidak mau merepotkan orang lain. Kalau bisa dia lakukan sendiri, maka tidak perlu meminta bantuan kepada orang lain. Meski mereka sudah berteman lama. "Ya sudah. Aku temani sampai hujannya reda." Raka membalas dengan senyuman.
Kaila mengangguk saja. Dia tak mungkin menolaknya dan menyuruh Raka pergi dari sana, bukan?
****
Tepukan pada bahunya--yang di lakukan oleh salah satu temannya, menyadarkan dia dari lamunannya. Entah apa yang tengah dipikirkan.
"Lo dengerin kita ngomong gak dari tadi, Yon?" tanya salam satu teman yang menepuk bajunya tadi.
Yap, laki-laki tersebut bernama Arion. Dia menggeleng, kemudian menghela napas sambil membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman dari sebelumnya.
"Dasar bocah tengil! Gue ngomong panjang lebar dari tadi sama Kenan gak didengerin. Ya sudah kita cabut aja, Ken. Ini anak kayaknya perlu sendiri, banyak pikiran kelihatannya." Laki-laki itu berniat berdiri dari duduknya, begitu pula dengan laki-laki di sebelahnya yang bernama Kenan.
"Lho, kok cabut?" cegah Arion. "Gue denger apa yang kalian omongin, dan gue terima tawaran itu, dengan senang hati!" balasnya sambil mengangkat kedua bahu--tidak merasa keberatan. Apapun tantangannya, dia pasti bisa melewatinya. "Siapa takut!"
Reynaldo. Laki-laki itu tersenyum miring. Sudah dapat diduga kalau seorang Arion tak mungkin menolak taruhan yang mereka buat.
"Serius lo? Kali ini tantangannya gak segampang bulan lalu." Naldo menampilkan senyum meremehkan pada Arion.
"Apa yang sulit bagi seorang Arion, Do. Lo tahu kan dia siapa?" Kenan menimpali dengan senyuman yang tercetak di salah satu sudut bibirnya. Memangnya apa yang Arion takuti, selain omelan Bunda dan Ayahnya?
"Apa yang akan gue dapat kalau berhasil dalam taruhan ini?" tanya Arion begitu tertarik dengan tawaran kedua temannya.
"Sebuah mobil BMW terbaru, gue dan Kenan yang akan membelinya khusus buat lo. Tapi ... kalau kalah. Lo yang harus kasih kita mobil itu. Satu aja, buat gue sama Kenan. Gimana?" Naldo menaikkan sebelah alisnya. Sekilas melirik ke arah Kenan yang sepertinya tak merasa keberatan dengan ucapan temannya itu.
Arion tersenyum miring.
"Lumayan buat nambah koleksi mobil mewah lo, Yon." Kenan menepuk bahu Arion pelan.
"Baik. Gue terima." Arion mengulurkan tangannya pada Naldo, dan kemudian pada Kenan. "Deal!"
Mereka kemudian tertawa bersama. Taruhan adalah hiburan bagi mereka dalam setiap bulannya.
"Jangan terlalu keras ketawanya, nyokap gue bisa denger. Lo tau kan kalah macan betina sudah mengamuk, kita semua gak bisa berkutik." Arion mengingatkan kedua temannya akan kegarangan sang bunda.
Baru saja dibicarakan, wanita itu keluar dari dalam kamarnya. Umurnya memang sudah tak bisa dikatakan muda lagi, namun sama sekali tak membuat kadar kecantikannya berkurang.
"Sore, Bunda Naya yang cantiknya luar biasa," sapa Naldo dan Kenan bersamaan--tentu saja dengan nada yang selalu mereka buat-buat, terdengar menggelikan.
Benar sekali, wanita itu bernama Anaya--Bunda Arion. Anaya menatap tajam ke arah dua anak lelaki tersebut. "Jangan genit-genit sama orang tua, Naldo, Kenan!" peringat Anaya. "Bunda gak doyan berondong kayak kalian. Yang sudah jelas jauh lebih hot suami Bunda," lanjutnya setengah mencibir.
Arion menyenggol bahu Kenan. "Sudah gue bilang, nyokap gue gak bisa disenggol dikit ... bisa menerkam!" bisiknya.
Anaya membulatkan matanya ketika telinga tajamnya dapat menangkap kalimat yang diucapkan Arion. "Hey, Arion! Sudah berani sekarang mengatai Bunda?!" kesal Anaya sambil melipat kedua tangannya di pinggang.
"Bercanda, Bun. Lagian Bunda, gak bisa bercanda dikit langsung marah. Gak seru, ah!"
Anaya menggelengkan kepalanya heran dengan putranya tersebut. "Sudah, jangan main canda-candaan. Bunda lagi gak pengen bercanda sekarang."
"Siap bos besar!" Arion menunjukkan sikap hormatnya pada Anaya, membuat wanita itu bertambah heran.
"Yon, sekarang kita mulai." Kenan mengalihkan topik pembicaraan mereka ketika Anaya sudah berlalu menuju dapur.
"Mulai apa?"
"Jangan belagak bego! Sekarang lo jemput cewek itu di kampus," ucap Kenan dengan santai. Senyum jahat kemudian terlihat dari sudut biburnya.
Arion menautkan alisnya bingung.
"Cewek itu masih berada di parkiran kampus. Dia gak akan pulang sebelum hujan reda." Naldo menambahkan.
"Sotoy ah! Kalau dia sudah pulang gimana?"
"Gue sama Naldo sudah merencanakan hal ini jauh-jauh hari, dan Tuhan sedang berpihak sama kita. Lihatkan berkat doa gue, sore ini hujan," ucapnya begitu bangga. "Sekarang lo samperin, beri dia tumpangan sampai rumah."
Arion menghela napasnya. "Dih! Lo pikir gue serajin itu mau ngejemput dia hujan-hujan begini? Mulainya besok aja deh. Gue malas keluar. Dingin ...."
"Gak usah banyak alasan. Lo sudah menerima taruhan dari kita, jadi apapun perintah dari kita, lo harus nurutin. Di sini ... kita yang bosnya." Kenan melipat kedua tangannya di d**a, begitu senang telah mengerjai sahabatnya tersebut. "Sekarang, Arion!" tekannya kemudian.
Arion mau tidak mau harus mau. Dia mengenakan jaketnya. Kemudian meraih kunci mobil. "Bunda, Arion keluar sebentar." Arion berteriak seraya melangkah keluar rumah.
"Mau ke mana kamu, Arion?" tanya Anaya yang langsung menyusul Arion.
"Mau beli makanan, Bun. Kesian dua bocah plastik di dalam kelaperan," balas Arion yang sudah duduk di jok pengemudi.
"Bunda masak banyak malam ini."
"Sebentar aja, Bunda. Arion pergi, dah!"
"Hey, Arion. Pulang sebelum Ayah pulang!" teriak Anaya.
Arion yang masih mendengar teriakan sng bunda itu hanya mengangguk pelan di dalam mobilnya.
****
"Pulang bareng gue, yuk?"
"Mau pulang bareng gue gak?"
"Ayo pulang bareng gue!"
Arion mengusap rambutnya kasar. Dia sudah mencoba beberapa kalimat yang tepat untuk mengajak perempuan itu agar bersedia pulang bersamanya.
Ponsel Arion bergetar, tanda ada pesan yang masuk.
Reynaldo: Lo harus berhasil bujuk dia biar mau pulang sama lo. Sebagai bahan bukti, lo harus melampirkan beberapa foto. Jangan coba-coba bohong sama kita.
Kenan: Fotoin rumah cewek itu pas lo sudah nyampe depan rumahnya. Ets, jangan lupa beserta orangnya. Jangan coba-coba memberikan foto palsu. Kita berdua sudah mengetahui di mana rumah cewek itu.
"Temen laknat!" umpat Arion dalam hati.
Arion mengamati perempuan itu dari dalam mobilnya, kemudian memukul setir mobil--saking kesalnya.
"Dasar cewek bodoh! Sudah hampir malam begini masih aja nungguin hujan reda!" gerutunya.
Dengan sangat terpaksa, Arion membuka pintu mobilnya. Dengan menggunakan payung berukuran sedang dia menerobos hujan yang masih lumayan lebat itu.
"Ayo pulang bareng gue. Sekarang!" ucap Arion tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Perempuan itu sedang duduk di salah satu bangku yang berada di parkiran kampus mereka.
Tidak ada seorang pun yang berada di sana, dia seorang diri. Benar-benar bodoh gadis ini; pikir Arion.
Kaila mendongakkan kepalanya menatap Arion. Dia menatap dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh siapapun. Ya, perempuan yang menjadi bahan taruhan Arion dan kawan-kawan adalah Kaila. Gadis berbulu mata lentik itu bengong, dan tak tahu harus melakukan apa.
Seorang Arion--pangeran kampus kini tengah berdiri di hadapannya, memberikan tawaran untuk pulang bersama. Kalau saja laki-laki itu memberikan tawaran pada perempuan lain, pasti mereka tak akan membuang waktu untuk menolak tawarannya.
"Gak usah begong. Ayo pulang!" Arion membuka payung lain yang berada dalam genggamannya. Lalu memberikan payung tersebut pada Kaila, menyuruh gadis itu untuk menggunakannya menerobos hujan.
Kaila menggelengkan kepalanya, berusaha menolak tawaran Arion. Kaila masih bisa menunggu hujan ini reda sebentar lagi, kalaupun tak reda juga dia berniat menerobos hujan ini sebelum langit menjadi gelap.
"Gak usah. Makasih. Aku di sini aja, sebentar kagi hujannya reda kok." Dengan susah payah, akhirnya kalimat itu berhasil keluar dari mulut Kaila.
Arion menajamkan tatapannya pada gadis itu. "Jangan menolak. Lo bodoh atau gimana, huh? Lo mau sampai kapan nunggu hujan ini reda? Sampai kambing beranak ayam?!"
"Dasar bodoh!" kesal Arion lagi. Dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir gadis yang berada di hadapannya itu.
"Kamu pulang aja duluan. Gak perlu repot buat nganterin aku ... aku bisa pulang sendiri."
"Gak! Lo harus pulang sama gue. Sekarang!" Arion menggenggam pergelangan tangan Kaila. Namun sayangnya, lagi-lagi penolakan yang Arion dapatkan. Benarkah seorang Arion ditolak mentah-mentah begini?
"Kamu tenang aja, gada yang bakal jahatin aku di sini. Sebentar lagi aku pulang." Kaila mengalihkan pandangannya dari Arion. Dia tak bisa membalas tatap tajam itu.
"Heh, lo pikir gue khawatir sama lo? Mau diterkam Macan sekalipun gue kagak peduli!"
Kaila lantas menoleh kembali ke arah Arion. Memberanikan diri membalas tatapan tajam itu. "Ya sudah, kalau gitu tinggalin aku sendirian di sini. Sana pulang! Aku gak nyuruh kamu tetap di sini, makasih sebelumnya atas tawarannya."
Arion menghela napasnya. Air hujan sudah membasahi punggung besarnya. "Dasar cewek aneh. Ayo pulang!"
Arion tak memberikan kesempatan Kaila untuk berucap atau menolaknya lagi. Dia menarik paksa gadis itu untuk ikut dengannya.
"Gak usah khawatirin motor lo, biar satpam kampus yang menyimpannya. Motor butut kayak gitu gak ada yang minat. Besok baru lo ambil," ucap Arion yang sepertinya paham dengan tatapan gadis itu padanya.
Kaila kicep. Dia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mobil Arion sudah melaju meninggalkan area kampusnya.
"Di mana rumah lo?" tanya Arion dengan begitu datar.
Kaila diam saja. Bukan tidak mendengar, tapi lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu. Kaila benar-benar tak enak berada dalam satu mobil bersama Arion.
"Bukan hanya bodoh tapi lo juga pintar akting jadi gadis bisu."
Kaila menggerutu pelan. Arion tidak dapat mendengarnya, namun dapat melihat dari gerakan bibirnya.
"Gue nanya itu di jawab. Tadi aja lo berani ngejawab gue!"
Kalimat Arion begitu menusuk perasaan Kaila--membuatnya sakit hati. Tidak bisakah seorang Arion menanyakan dengan kalimat yang lebih sopan sedikit? batin Kaila.
"Di mana rumah lo cewek aneh?!" ulang Arion dengan sedikit meninggikan intonasinya.
"Bisa gak sih kalimat kamu itu difilter sedikit? Kok kasar banget!" balas Kaila. Ini pertama kalinya dia berani menegur seorang laki-laki, apalagi sejenis Arion.
"Gak bisa. Ini sudah kalimat yang paling halus buat cewek kayak lo begini."
Kaila memutar bola matanya malas.
"Jawab aja, di mana rumah lo?"
"Perumahan Anggrek. Nomor 53."
"Gitu kek dari tadi. Gue kira lo bisu!"
Kaila diam saja mendengarkan laki-laki itu. Dia lebih memilih mengamati jalanan daripada menanggapi setiap kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut Arion.
"Gak usah baper setelah ini. Gue cuman kasihan sama lo, gak ada maksud apa-apa. Jangan coba-coba main hati sama gue. Gue bukan orang baik."
Kaila langsung menolehkan kepalanya menatap Arion.
"Iya!" kesal Kaila pada akhirnya. "Lebih baik kamu diem deh, Arion. Kalimat kamu itu bisa menyakiti perasaan orang lain!"
Arion menaikkan sebelah bahunya. "Gue gak peduli."
Kaila mendesis. Bisa-bisanya Arion bersikap kasar seperti itu pada peremuan. Untung saja Kaila sudah kebal, jadi bisa saja memaklumi setiap ucapan kasar.
Mobil Arion berhenti tepat di depan rumah Kaila. Rumah Kaila tidak terlalu mewah seperti rumah yang lain, memiliki dua lantai, dengan cat rumah berwarna abu-abu.
Kaila segera keluar dari dalam mobil mewah itu, sebelum sang empunya mengusir dengan kalimat kasar. Tak lupa, Kaila mengucapkan terimakasih pada Arion. Walaupun sudah membuatnya jengkel, tetap saja laki-laki itu sudah berbuat baik dengan mengantarkannya.
Tanpa mengucapkan kalimat pamit, atau basi-basi lainnya, Arion melajukan mobilnya meninggalkan Kaila yang masih berdiri di depan pagar rumahnya.
Kaila hanya menggelengkan kepalanya, heran. Begitukah sikap laki-laki yang selama ini dia kagumi itu? batin Kaila.
"Kaila, pulang sama siapa kamu, Nak?" tanya seorang wanita lanjut usia yang berada di dapur.
"Sama temen, Nek. Kaila sudah menunggu hujannya dari jam empat tadi, tapi malah gak reda-reda." Kaila tersenyum manis pada sang Nenek.
Mina. Itulah nama wanita yang Kaila sebut dengan nenek tersebut. Wanita yang sangat berarti untuk Kaila, yang selalu menjadi penyemangat di setiap hari-harinya.
Kaila tidak memilik siapapun selain nenek Mina. Dia telah kehilangan ibunya ketika dia masih bayi, dan ayahnya juga telah meninggal sekitar lima tahun yang lalu. Nenek Mina adalah ibu dari ayahnya. Wanita lanjut usia itu sangat menyayangi sang cucu melebihi apapun. Kaila adalah harta yang paling berharga baginya, begitupun sebaliknya.
"Lalu bagaimana dengan motor kamu, Nak?" tanya nenek Mina.
"Kaila tinggal di kampus, Nek. Kata Arion motor Kaila aman kok di sana."
Nenek Mina mengusap puncak kepala Kaila dengan lembut. "Owh, jadi yang mengantarkan cucu kesayangan Nenek ini namanya Arion. Cucu Nenek sudah besar ternyata, sudah punya pacar," goda nenek Mina pada Kaila.
Kaila tersipu malu. Dia tahu diri, bagaimana bisa gadis biasa sepertinya menjadi pasangan seorang Arion yang tajirnya minta ampun itu?
"Eh-enggak, Nek. Arion cuman nawarin Kaila tumpangan, itu aja." Kaila sedikit tak enak jika terus membicarakan Arion seperti ini. "Hm ... gimana kalau sekarang Kaila bantuin Nenek masak?" usul Kaila mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka tentang Arion.
Nenek Mina menyunggingkan senyumannya. "Ya sudah, kamu mandi dulu, habis itu baru boleh bantuin Nenek masak."
Kaila tertawa kecil. "Oke Nenek yang paling Kaila sayang. Siap menjalankan perintah!" Kaila mencium pipi kanan nenek Mina sebelum melangkah menuju lantai dua, kamarnya.
****