Malapetaka

1625 Kata
"Iya, Nak." "Kasihan banget, mana aku gak tau orang tuanya siapa atau tinggal di mana." Tak berapa lama menunggu, listrik kembali menyala dan aku pun pulang ditemani Fany. Sepanjang perjalanan, tak terhitung beberapa kali ia menengok ke belakang. "Kamu kenapa? Ada yang mau nyusul?" tanyaku yang membuat langkahnya terhenti. "Nggak, Kak," jawabnya menggeleng pelan. "Terus?" "Dari tadi aku ngerasa ada yang ngikutin kita," ucapnya yang langsung membuatku merinding. "Jangan nakutin deh, Fan." Sesampainya di rumah, Fany langsung pulang padahal aku memintanya singgah dulu. Tak yakin anak itu berjalan sendiri. "Hati-hati!" teriakku. Tidak ada sahutan karena mungkin saja ia tak mendengarnya. Aku pun memutuskan untuk masuk ke rumah dengan perlahan. Membuka pintu sebisa mungkin tak menimbulkan suara agar Mas Arif tak mendengarnya. Aku langsung berlari ke kamar, ternyata Mas Arif tertidur lelap. Tidak ada yang aneh darinya. Apakah aku berhalusinasi lagi? "Ibu dari mana? Kasihan Pak Arif ditinggal sendiri pas lagi mati lampu. Untung saya langsung cepet-cepet ke sini," kata Bi Inem. "Loh, Bibi yang dari mana pas mati lampu?" tanyaku balik. "Saya di belakang, Bu, cucian biar besok nggak terlalu repot," jawabnya datar. "Oh, tadi aku habis dari rumah Pak Burhan." Aku duduk di sofa dan memejamkan mata. "Ngapain, Bu?" tanyanya. Aku pun menceritakan kejadian tadi, di mana wajah Mas Arif berubah hancur dan menyeramkan. Seperti bukan dia. Bi Inem cukup terkejut dan langsung menengok Mas Arif. "Tadi Pak Arif emang bilang lagi sakit kepala, Bu. Terus marah-marah nyari Ibu gak ketemu. Ya, sudah saya yang rawat sampai tertidur," jelasnya. "Gimana gak lari, kagetnya bukan main. Untung waktu itu senter HP nyala, jadi aku bisa lari ngibrit." Bi Inem tertawa renyah. "Eh, Bu. Tadi pas abis cucian, saya denger suara anak kecil ketawa-ketiwi gitu. Memang di sini ada anak kecil, ya?" Aku mengernyitkan dahi, tetangga daerah sini tidak memiliki anak kecil. Ada, tapi beberapa rumah lagi jaraknya. Tak mungkin seorang anak kecil berkeliaran di malam hari, apalagi kondisi gelap gulita. "Mungkin suara hewan atau apa gitu, Bi. Gak usah terlalu dipikirin," kataku merespon ceritanya. "Iya tapi serem, Bu. Suaranya seakan-akan di samping kita. Jelas." "Ah, Bibi ini! Jangan bikin saya merinding deh." Bi Inem pun izin ke belakang untuk membuatkanku teh hangat. Sedikit menengok Mas Arif yang masih tak bergerak dari posisinya. Iseng aku mendekati dan berbaring di samping lelaki ini. Ia sangat tampan, tak heran banyak wanita yang tergila-gila padanya. Perlahan, kuelus kening dan kedua tangannya. Terasa dingin, seperti orang sakit. Namun, jantungku dibuat berdetak tak normal ketika menyadari napasnya melemah. "Mas?" Sontak aku memanggilnya, tapi matanya tak terbuka. Panik, aku memanggil Bi Inem dan wanita paruh baya itu pun datang tergesa-gesa. "Coba telpon Pak Burhan," ucap Bi Inem. Aku langsung meraih ponsel yang terletak di atas meja, kemudian mencari kontak tersebut. Tiga kali, panggilan tak terjawab. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? "Bangunkan pelan saja, Bu, jangan panik," ucapnya lagi. Perlahan, tubuh Mas Arif membiru, seluruh tubuhnya pun mengejang cukup kuat. Aku hanya bisa menangis karena takut terjadi apa-apa. "Biar saya ke rumah Pak Burhan, Ibu duduk di sini menemani Pak Arif." Tanpa menunggu jawabanku, wanita tua itu berlari kecil keluar kamar. Sedangkan aku di sini hanya mampu terdiam dan berdoa sebisanya. Segelas air putih kuminumkan, tapi ia menolak. Setelahnya, Mas Arif tenang dan tubuhnya tak lagi membiru. Siapa yang mengobati? Beberapa menit kemudian, Pak Burhan datang diikuti Bi Inem. Rupanya, mereka tidak berdua, Fany ikut bersama mereka. Gadis itu datang dengan wajah masam. "Suami saya, Pak, tolong!" ucapku memohon. Pak Burhan mengangguk dan membantuku berdiri. Ia menatap ke arah Fany, kemudian gadis itu duduk di samping Pak Arif. Tak tahu apa yang akan mereka lakukan, aku dan Bi Inem memutuskan untuk sedikit ke belakang. "Muka Fany memang pucat begitu, ya, Bu/" bisik Bi Inem. "Wah, kurang tau juga saya, Bu. Jarang ketemu, tapi ya cukup aneh sih. Mungkin dia sakit." Kami hanya menatap Pak Burhan yang terpejam sambil membaca doa. Fany yang sedari tadi diam, mulai menunjukkan gelagat aneh. Tiba-tiba aia terbaring dan sengaja membenturkan kepala ke lantai beberapa kali. Aku yang kasihan hendak menolong, tapi dihadang Pak Burhan. "Kasihan, Pak, sakit itu!" ucapku panik. Namun, dengan santainya, Pak Burhan meniup ubun-ubun Fany dan gadis itu kembali tenang. Ia tak sadarkan diri. "Pokoknya, apapun yang terjadi pada saya atau Fany, biarkan." Pak Burhan kembali berdoa dan Fany mulai bertingkah aneh lagi. Gadis itu duduk bersila dengan kepala tertunduk. Bibirnya tersenyum tipis, tangannya pun mengepal kuat. Aku menghela napas, takut-takut sebenarnya. "Namamu siapa? Kenapa kamu ada di sini?" Pak Burhan mulai menginterogasi. "Tak penting mengetahui siapa aku!" ucap arwah yang merasuki Fany. "Cepat keluar, atau saya sakiti kamu." "Haha, cobalah! Cobalah! Sebelum kamu menyakiti saya, saya yang menyakiti tubuh ini terlebih dahulu!" Arwah itu malah mengancam balik. "Pak, udah, Pak. Serem, kasihan Fany!" ucapku panik. "Sudah, biarkan." Aku menutup mata ketika Fany mulai menggigiti jari sendiri hingga terluka. Pak Burhan hanya diam, tetap fokus pada pikirannya. Sedang Mas Arif sudah bernapas normal. Keringat pun mulai bercucuran, tanda ia sudah lebih baik. Sekarang, bagaimana dengan Fany? "Akh!" Fany berteriak kencang seperti kesakitan. Ia terbaring dan kejang-kejang. Tubuhnya seperti memutar, sangat lentur. Bahkan ia bisa posisi kayang dan berjalan mundur hingga menempel ke tembok. "Allahu akbar!" Fany kembali sadar, ia terbaring dan aku pun mendekati. Darah di mulut dan jarinya. Aku kasihan. "Bi, ambilkan kotak P3K di dalem lemari, biar saya obati," ucapku dan membangunkan gadis malang itu. "Fan? Denger suaraku?" Aku memukul pelan pipinya. Perlahan ia membuka mata dan sedikit terbatuk. Bi Inem membantunya berdiri dan kami menuju kamar tamu. Biarkan ia istirahat sejenak. "Ini, minum dulu. Mana yang sakit?" Ia menggeleng pelan, tatapannya kosong. Aku khawatir sekali. "Aneh juga bapakmu itu, kenapa coba nyakitin anak sendiri." Aku mengomel sambil mengobati lukanya. "Dari kemarin malam aku ngerasa diikuti seseorang, Kak. Inget gak waktu aku anter Kakak pulang dan aku ngerasa diikuti? Nah, dari situ aku diganggu," jelasnya dengan suara parau. "Ya Allah ... siapa yang ngikutin kamu?" "Jin yang ada di tubuh suami Kakak. Jin cewek," jawabnya. Aku mengangguk paham dan menyuruhnya berbaring saja. Sambil menunggu, aku menyusul Pak Burhan yang sedang duduk di luar. "Mau pulang, Pak? Fany masih di dalem, singgah aja dulu," ucapku. Ia membelakangi dan hanya menggeleng cepat, seakan menyembunyikan sesuatu. "Kenapa, Pak? Kalau sakit, masuk aja dulu biar Bi Inem obati," ucapku lagi. Ia kembali membalas dengan gelengan cepat dan berlari pergi. Aneh. Antara khawatir dan bertanya-tanya, ada apa dengan Pak Burhan? Ia bahkan meninggalkan anaknya di sini. Aku berbalik badan dan menghampiri Fany di kamar tamu. Ia masih lemas, tubuhnya pun terasa hangat. Namun, ia masih bisa mengobrol dan bercerita. "Kamu memang sering dirasuki begini, ya, Dek?" tanyaku penasaran. "Iya, Mbak, dari kecil. Makanya aku dibuatin pager gaib sama Ayah, tapi tetep aja bisa nembus." "Meminta perlindungan sama Allah aja, Dek. Pager gaib belum tentu kuat. Ingat, kita punya Tuhan." Gadis itu mulai bercerita. Sejak berusia lima tahun, mata batinnya terbuka sehingga bisa melihat makhluk halus. Pun ketika duduk di bangku SMP, tak sedikit teman-temannya meminta diramal atau meminta dicarikan sesuatu. Jika menolak, maka mereka tak percaya. Namun, Fany juga lelah ditanyai seperti itu terus. "Ya, kalau seputar ramalan kecil, bisa nebak-nebak. Kebanyakan nanya barang yang hilang, demi apa ya. Itu bikin pusing." "Kenapa kamu gak tolak aja?" "Mereka bakal ngatain aku dukun." "Dih, jahat banget." "Padahal aku bukan dukun dan selamanya gak mau disebut dukun. Anak cenayang," ucapnya. "Bedanya sama anak indigo?" "Katanya, anak indigo itu lahir istimewa untuk menjalani sebuah misi di Bumi. Lebih spesial gitu, belum tentu mereka bisa melihat jin karena yang menjadi kemampuan utama itu kecerdasan. Sedangkan aku? Hanya bisa melihat hantu dan melihat masa lalu," jelasnya, tapi lumayan sulit aku cerna. "Rumit juga, ya." "Iya, Mbak. Semakin dewasa, kemampuanku semakin lenyap. Baguslah, aku juga gak mau begini terus." "Jadi kamu punya teman gaib?" Angel, teman gaib Fany. Hantu yang katanya meninggal secara mengenaskan. Angel dicabuli ayah dan pamannya sendiri di usia 16 tahun hingga mengalami luka parah. Ia disiksa dan menjadi tontonan teman-teman ayahnya. Gadis malang itu meninggal dengan cara disemen. Jasadnya ditemukan enam bulan kemudian ketika ada pembongkaran. "Ya Allah, kasihan banget. Pelakunya udah dipenjara?" tanyaku mengiba. "Sudah, gak lama setelah kejadian itu. Ternyata bukan cuma Angel, banyak teman Angel yang menjadi sasaran. Mulai diselidiki karena orang tua bingung kenapa anaknya tiba-tiba bersikap aneh. Gak mau didekati, trauma gitu." "Syukurlah udah ditangkep. Harusnya dihukum mati biar jera," kataku geram. *** Kami bercerita banyak hal sampai tak sadar hari mulai sore. Fany yang mengaku merasa lebih baik pun izin pulang. Aku hendak mengantarnya, tapi ia menolak halus. "Sarah ... Sarah ...." Langkahku terhenti dan sontak menengok ke kaamr. Mas Arif mengigau lagi, menyebut nama wanita sialan itu lagi. Ternyata Mas Arif belum benar-benar lepas. "Mas?" Lembut aku memanggilnya. Begitu ia membuka mata, tatapannya menohok tajam ke arahku. Ia langsung bangun dan bergegas ke kamar mandi. Setelahnya, ia memakai baju rapi dan parfum yang baunya menyengat. Tumben sekali! "Mas? Mau ke mana?" tanyaku mencegatnya. "Bukan urusanmu!" jawabnya dengan nada membentak. Susah payah aku menahan tangis, tapi akhirnya menetes juga. "Kayaknya Pak Arif mau ke rumah Sarah lagi, Bu. Ibu gak mau tengok?" ucap Bi Inem. "Gak usah, Bi. Biarkan mereka bersenang-senang," jawabku pasrah. "Gak bisa gitu, Bu! Pak Arif itu suami Ibu!" "Terus saya harus gimana, Bi? SIhirnya masih ada, saya gak tau gimana ngobatinnya!" Suaraku mulai serak, pikiran semakin kacau dan tak beraturan. Ingin rasanya bercerita ke Ibu, tapi ia baru saja mendapat musibah. Lagipula, jika aku berterus terang, Ibu akan menyuruhku bercerai. Lamunanku buyar tatkala mendengar suara benda yang pecah. Gegas aku berlari menghampiri sumber suara. Lampu kaca yang selalu kuletakkan dengan aman, kok bisa jatuh dan pecah? "Eh, darah siapa ini? Ini darah Bibi?" tanyaku ketika melihat banyak tetesan darah di lantai. "Bukan, Bu. Ini mungkin darah orang yang mecahin lampunya." "Tapi siapa? Terus kok gak ketahuan kalau dia masuk rumah?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN