Tania

1617 Kata
[Ris, angkat telpon gue buruan! Atau kita ketemu aja gimana? Ada sesuatu yang penting nih. Di tempat biasa.] Chat dari Tania. Aku yang sedang menikmati jus apel pun mulai bertanya-tanya. Hal apa yang begitu mendesaknya? [Okey, tunggu aku siap-siap.] Karena Mas Arif tidak ada di rumah, aku terpaksa pergi sendiri. Setelah bersiap-siap dan izin ke Bibi, aku langsung pergi menuju Cafetaria; tempat andalan nongkrong kami dulu. Begitu ia sampai, ia langsung duduk dengan wajah panik. Entah apa yang terjadi padanya kali ini. "Lo kenapa dah? Mau cerita soal apa?" "Ini ... sumpah gue gak tau beneran apa gak. Gue liat suaminya Kana! Sumpah, demi apa. Istrinya udah meninggal dan dia baru muncul!" ucap Tania. "Hah? Lo ketemu di mana, Tan? Kenapa gak lo teriakin aja?" Aku pun terkejut mendengar ucapannya. "Depan rumah Kana. Dia bolak-balik kayak nyari sesuatu, sambil nengok HP gitu `kan. Abis itu pergi gak tau ke mana. Gue mau manggil, tapi takut salah orang!" jelasnya. "Astaga, tumben aja lo jadi penakut kayak gini, Tan." "Iya soalnya ini menyangkut Kana. Gue gak berani macem-macem, apalagi kita belum tau Kana meninggal itu karena apa." Benar, sampai detik ini pun sebenarnya aku masih penasaran. Tak percaya jika Kana meninggal karena bunuh diri. "Gue pusing sumpah. Hidup gue serasa dipenuhi misteri. Rumah gue itu kayak berhantu," ucapku. "Kayaknya lo harus pindah, Ris. Lo lagi hamil dan gue takut terjadi sesuatu ama kalian." "Entahlah, belum dibicarain ama Mas Arif. Dia lembur belakangan," kataku sambil mengaduk es alpukat yang baru disajikan. "Bye the way, lo kapan mau ngajak gue ke rumah pelakor itu? Sumpah gue penasaran gimana kehidupan dia sampe ngerebut suami orang." "Sekarang mau? Mumpung lagi di luar. Sejak hamil, aku rada males jalan-jalan. Anteng di rumah aja gitu," ungkapku. "Oke, ayok!" Kami pun buru-buru menghabisi minuman dan membayarnya, kemudian bergegas ke rumah Sarah. Ada yang berbeda dari komplek ini. Banyak rumah yang kosong, pintunya tertutup. Tempatnya jadi sangat sepi, bak kota mati. "Sebenernya dulu ada yang bilang, jangan ke sini lagi karena bahaya. Gue gak tau bahayanya gimana dan kenapa," ucapku sesampainya di halaman rumah Sarah yang semakin tak terawat. "Hm, aneh, ya. Gue udah lama tinggal di sini, tapi baru kali ini nemu tempat yang auranya mistis banget," ungkapnya sambil berjalan-jalan melihat sekitar rumah. Sementara Tania melihat-lihat, aku mencoba mengetuk pintu rumah Sarah. Seperti biasa, rumahnya seakan-akan kosong tak berpenghuni, padahal ia ada di dalam. Tania kaget bukan main ketika melihat Sarah berpakaian serba hitam dan menutupi seluruh wajahnya kecuali mata. Ia hampir tak percaya bahwa itu Sarah. "Lo salah rumah kali, Ris! Beda banget ini sama yang kemarin," ucapnya. "Lo pikir gue amnesia mendadak, Tan? Rumahnya emang ini dan gak mungkin bergeser," jawabku agak kesal. "Iya, tapi beda banget, kenapa penampilannya gini amat?" "Udah, masuk aja nanti pulang gue jelasin." Sarah menjamu kami seperti tamu pada umumnya. Ia lebih banyak diam, sangat misterius memang. "Kenal ama cewek ini, `kan?" tanyaku sambil menunjuk Tania. Ia hanya mengangguk pelan. "Gue Tania, sahabat Risti. Gue penasaran aja, lo kenapa tiba-tiba pergi dari rumah Arif? Bukannya itu yang lo pengen dari kemarin?" tanya Tania dengan nada kesal dan menyudutkan. "Maksudnya apa, ya, Mbak? Saya merebut suami orang?" Ia pura-pura polos dan merasa tak berdosa. "Sumpah ini orang, andai membunuh itu gak dosa, dari kemarin lo tinggal nama. Gue sakit hati Risti diginiin tau gak?!" bentak Tania yang sudah mengepalkan kedua tangan. Ia tampak sangat emosi. "Bukan salah saya. Bang Arif yang menggoda saya duluan. Saya tak tahu kalau dia sudah menikah," elaknya. "Alasan basi! Jangan bikin emosi saya meledak di sini, ya!" ancam Tania. Aku menarik tangannya dan meminta agar segera pulang. Percuma saja berbicara dengan wanita aneh ini, ia akan selalu mencari pembelaan. Wajah Tania yang memerah, semakin membuatku khawatir jika ia akan nekat. Plak! Penutup kepala Sarah ditarik paksa olehnya, kemudian menampar pipi kanan wanita itu hingga berbekas. Sarah hanya diam sambil memegangi pipinya yang terasa perih. Tentu saja, Tania tak berpikir dua kali untuk menyakiti. "Mampus, enak? Ini belum seberapa, ya. Gue cuma kasihan karena lo lagi hamil!" katanya lalu beranjak pergi. "Saya tidak hamil, janin itu sudah mati." Aku yang tadinya hendak pergi, kembali berbalik badan dan menatap wanita itu. Ia diam mematung. Lama menunggu, ia tak kunjung melanjutkan pembicaraan. "Kamu gugurkan kandungannya atau gimana?" tanyaku berusaha menahan emosi. "Ya, saya gugurkan," jawabnya datar. "Astaga, dosa kamu berkali-kali lipat, Sarah! Kenapa digugurkan, sih? Kamu tega, ya, itu manusia!" teriakku histeris. "Percuma dia lahir tanpa ayah. Saya tidak ingin dia menderita ketika lahir nanti." Aku menghela napas dan membekap mulut tak menyangka. Sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wanita ini sakit, ia tak normal. Tania sudah menunggu di luar sambil bermain ponsel. Begitu melihatku keluar rumah, ia bangkit dan kami buru-buru pergi. Tak betah rasanya berlama-lama di sini. "Tiba-tiba gue pusing, Ris. Langsung pulang aja, ya? Gue mau istirahat," ucapnya. Memang wajah Tania agak pucat dan jalannya pun lambat. "Mau dianter gak? Nanti lo pingsan tiba-tiba," tawarku lalu tertawa, bermaksud mengejeknya. "Ah, gak usah. Kejauhan. Aku pesen taksi aja nanti," tolaknya lalu tersenyum. Aku mengangguk pelan dan say good bye padanya sambil melambaikan tangan. *** Baru menginjakkan kaki di rumah, ponselku bergetar tanda ada yang menelepon. Mungkin Mas Arif meminta dibelikan sesuatu. "Heh, Tania nelpon lagi? Tumben?" Aku membatin sendiri. Heran Tania miscall beberapa kali. Aku tak sadar karena sepanjang perjalanan, tas berada di ponsel yang kutaruh di kursi sebelah. "Halo, Tan?" sapaku akhirnya. Suara di sana terdengar sangat bising dan ramai seperti di pasar. "Maaf, Bu. Ini pemilik HP-nya kecelakaan, tabrakan mobil. Saya nelpon Ibu karena nomor ini yang paling atas. Apakah Ibu keluarganya?" Suara bapak-bapak dengan napas tersengal-sengal. Aku mematung, rasanya duniaku runtuh. Tania kecelakaan? "Apa? Terus gimana keadaan Tania, Pak? Di mana kejadiannya?" "Saya SMS alamatnya, ya, Bu. Tolong hubungi keluarganya." [Jalan Melati, persimpangan Mulawarman. Depan warung nasi padang.] Aku segera berangkat menuju lokasi kejadian. Masih ramai dan sedang menunggu ambulan datang. Orang-orang tak berani mengangkat tubuhnya karena takut ada luka dalam. Menurut saksi, mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi dan tiba-tiba menabrak truk yang sedang parkir di pinggir jalan. Sang supir hanya mengalami luka ringan, tapi Tania terlempar hingga beberapa meter. Aku duduk sambil menatap tubuh sahabatku itu. Tubuhnya penuh luka dan darah. Beberapa orang pun datang dan menutupi tubuhnya sementara sampai ambulan datang. Di tengah duka, aku menelepon keluarganya dan mereka menangis histeris. Tak berapa lama menunggu, suara sirine ambulan membuat kami lega. Tania dibawa ke rumah sakit terdekat karena ia masih hidup. Aku ingin menyusul, tapi tak berani sendirian. Akhirnya menunggu di TKP sambil mengabari Mas Arif. Ia tentu sangat terkejut. [Ya, sudah pulang kerja kita jenguk Tania.] Chat terakhirnya sebelum ia sibuk sampai sore menjelang. *** Sepulang kerja, Mas Arif hanya mengganti baju dan minum segelas air, kemudian kami bergegas ke rumah sakit. Ternyata Tania sedang menjalani operasi karena beberapa tulangnya patah. Luka dalam yang cukup parah. "Tapi selamat `kan, Dok?" "Iya, selamat. Sudah melewati masa kritisnya." Aku menghela napas lega dan memeluk Mas Arif. Jika saja hari itu aku mengantar Tania pulang, ia tak mungkin sesial ini. "Emang Tania habis dari mana kok tiba-tiba kecelakaan?" "Kami habis dari rumah Sarah." "Sarah yang sering kamu ceritakan itu?" tanyanya dan aku mengangguk. "Ya, Sarah mana lagi yang selalu berusaha merebut suami orang?" "Haha!" Ia malah tertawa. "Udah deh, Mas. Males bahas dia. Wanita aneh," ucapku cemberut. "Oke-oke gak usah dibahas. Hm, nanti Mas tanya dokter kapan boleh masuk liat Tania." *** Setelah menjenguk Tania, kami pun memutuskan untuk segera pulang karena takut larut malam. Mas Arif perlu istirahat. Tadinya aku ingin menginap, menemani Tania karena keluarganya berhalangan. Namun, Mas Arif tak mengizinkan, ia khawatir terjadi sesuatu padaku. Akhirnya, aku meminta teman- teman untuk datang menjenguk bergantian. "Mas, aku baru tau kalau si Sarah itu udah gugurin kandungannya," kataku ketika kami sedang berbaring bersama. "Itu anakku, `kan? Kenapa digugurin?" "Ya, dia takut aja anaknya lahir tanpa ayah. Mungkin dia tau Mas gak bakal tanggung jawab," jawabku. "Ya, jelaslah! Ngapain tanggung jawab, ini semua jebakan." Setelah itu, aku tak menanggapinya lagi. Hari yang cukup melelahkan, semoga bisa terlelap lebih cepat. Kupeluk lelakiku itu dari belakang sambil memejamkan mata. Ia mengusap tanganku lembut dan mungkin ia sangat mengantuk. Ia sudah tertidur, cepat sekali, sedangkan aku masih dijebak pikiran sendiri. Tania ... mengapa kejadian ini tiba-tiba menimpamu? Sungguh, aku takut terjadi apa-apa. Tok, tok, tok! Suara ketukan yang lumayan keras membuat lamunanku buyar. Segera aku bangkit dan membukakan pintu. Ternyata Bi Inem. "Bu, s**u hamilnya belum diminum. Nanti saya yang diomeli Pak Arif kalau gak minum hehe" ucapnya sambil menyodorkan segelas s**u rasa vanilla. "Haha, makasih, Bi. Udah malem padahal. Besok-besok buatin s**u cokelat aja, ya? Kurang suka vanila. Bibi aja yang minum biar gak mubazir," kataku lalu tersenyum manis. "Astaga, Ibu ada-ada aja. Masa udah tua gini disuruh minum s**u. s**u ibu hamil lagi." "Gak papa, Bu. Enak kok, cuma saya lebih suka cokelat. Oh iya, kalau Bibi belum mau tidur, boleh temenin saya gak? Susah tidur, nih," pintaku. Ia pun mengiyakan dengan senang hati. Obrolan kami terhenti karena tiba-tiba terdengar suara gesekan di samping rumah. Seperti ada yang menyeret sesuatu di sana. Penasaran, aku pun mengambil senter dan memeriksa langsung lewat jendela. Sosok aneh dengan baju serba hitam terlihat sedang menyeret sesuatu yang ditutupi kain putih. Merasa ada yang tidak beres, aku pun meneriaki orang itu. Ia langsung kabur dan meninggalkan benda yang diseretnya tadi. Cukup penasaran, tapi di sisi lain aku takut juga. Jangan-jangan itu narkoba atau benda terlarang. "Besok aja dilihat ama Pak Arif, Bu. Saya juga takut, nanti dalemnya jebakan. Orang jaman sekarang pinter-pinter loh," kata Bibi. "Iya, Bi, kita sepemikiran. Besok aja tunggu Mas Arif cek sendiri. Dalem itu ada apa.' Aku pun menutup jendela dan berbalik badan. Namun, sesuatu yang muncul membuatku tersentak kaget. "Tania?! Ngapain ke sini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN