Kana

1633 Kata
"Nak, kapan pulang? Bapak sama Ibu kangen lho, ajak suamimu juga," ucap Ibu di telepon. Aku yang sedari tadi diam menyimak, enggan membalas pertanyaannya. "Nak? Mbok ya kalau ditanya itu dijawab. Jangan diem begini, nanti Ibu khawatir," katanya lagi. Aku menghela napas panjang, kemudian memejamkan mata sejenak. Mengetahui fakta bahwa Sarah sudah berani bermain gila, membuatku sangat terpuruk. Pelet jenis apa yang ia pakai hingga Mas Arif tak bisa lepas darinya? "Nanti aku telpon lagi, masih sibuk." Tanpa mendengar jawabannya, aku langsung memutus sambungan. Mas Arif tengah bersantai di depan televisi, tanpa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan kudekati, kemudian duduk di sampingnya sambil bermanja. Ya Tuhan, tak rela rasanya bila suamiku ini diambil orang. "Eh, ngapain ke sini? Makanan udah jadi?" tanyanya lembut, seperti biasa. "Sudah, Mas, dari tadi. Kalau mau makan, bilang aja, nanti adek panasin," jawabku datar. "Kamu kenapa toh, Dek? Mukanya pucet banget. Sakit? Kalau sakit bobo aja gih, jangan ke mana-mana dulu." Aku langsung menjatuhkan diri di pelukannya. Menangis sesenggukan karena tak sanggup menahan semuanya. "Lah, kok nangis?" "Mas, adek mau Mas begini terus. Jangan berubah. Mas lupa sama kejadian kemarin?" tanyaku. Ia menatap heran. "Kejadian apa?" "Pas di luar kemarin. Masa gak inget?" Aku terus berusaha memancingnya. "Ah, ngawur kamu, Dek. Mana ada Mas keluar rumah kemarin. Tanya Bi Inem," elaknya. "Tuh, `kan. Emang ada yang gak beres sama kamu, Mas. Jelas-jelas kita pergi ke rumah Sarah dan ...." Ucapanku terpotong karena tak sanggup mengingat hal itu lagi. "Dan apa?" "Dan kamu sama Sarah berzina." Mas Arif langsung berdiri dan mencengkeram kuat kedua bahuku. Ia menatap tajam, seolah-olah yang aku katakan itu salah. "Ngomong apa, sih kamu ini? Jangan-jangan yang gak beres itu kamu, Dek! Bisa-bisanya Mas ngelakuin hal berdosa itu sama wanita lain!" "Udah, Mas. Untuk pembuktian, kita tanya Sarah langsung. Aku udah terlalu capek dipermainkan kalian berdua." Tanpa basa-basi lagi, aku pergi. *** "Bu, apa kita panggil Pak Burhan lagi? Ini sudah keterlaluan. Sarah itu seperti dukun," saran Bi Inem. "Pak Burhan cuma bisa bantu menyembuhkan penyakit karena ilmu hitam itu, Bi. Kalau mengusir ilmu itu selamanya, saya yakin beliau belum mampu," ucapku tak yakin. "Kenapa tidak dicoba saja dulu, Bu? Wanita ini sangat aneh dan misterius." "Eh, Bi, kemarin sebelum pulang, saya disuruh sama orang sana supaya jangan ke tempat itu lagi. Entah kenapa," kataku. "Hm, mungkin tempat itu berbahaya." Aku memijit kening karena pusing. Mengapa hal seburuk ini bisa terjadi pada keluargaku? Mas Arif kurasa tidak mungkin menggoda wanita lain di luar sana. Ia setia dan penyayang. Sore hari setelah berbelanja, tak sengaja kulihat Sarah berjalan menuju warung Pak Muis. Ia seperti membeli sesuatu, tapi Pak Muis tampak emosi. Aku berjalan mendekat dan menyimak percakapan mereka. "Ayolah, Pak, Hanya satu roti ini, gratis untukku," ucap Sarah manja. Awalnya Pak Muis menolak, tapi akhirnya ia luluh juga. Sarah pergi dengan senyum tipis di bibirnya. Seperti biasa, pakaian hitam yang menutupi seluruh tubuh. Hanya hidung dan mulutnya yang terlihat. Entah keberanian dari mana, aku langsung berlari menghampiri wanita aneh itu. "Sarah!" teriakku murka. Ia menoleh pelan, lalu melanjutkan langkah kakinya. Kesal, aku langsung menarik jubah panjang miliknya itu. Ia hampir saja terjatuh. "Kamu udah berani ya main ranjang sama suamiku!" "Maaf? Suami kamu yang mana? Saya lupa dan hampir tidak tahu, karena saya banyak meniduri lelaki." Rasanya lidahku kelu, tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia berlalu, meninggalkan tanda tanya besar. Sebenarnya dia ini siapa? Seseorang yang menepuk pundakku, membuat diri ini terkejut dan sontak menoleh ke belakang. Itu Kana, teman SMA-ku dulu. "Kebetulan ketemu di sini. By the way, lagi ngapain lu?" sapanya ramah. Aku tak mungkin terlihat sedih di depan teman lama ini. "Nggak papa, lagi jalan-jalan aja. Kamu sendiri? Ngapain ke sini?" tanyaku balik. "Oh, suamiku pindah kerja di sini, Ris. Biasa, aturan dari perusahaan. Ya, mau gak mau kami sekeluarga ikut. Seandainya belum punya anak, aku nggak mau ikut suami, hehe," jelasnya santai. Aku mengangguk pelan tanda mengerti. "Kamu tinggal di mana?" tanyaku. "Di situ, kontrakan Bu Minah. Susah, ya nyari kontrakan bagus di sini," ucapnya. Kana memang anak kota. Ia terbiasa hidup bergelimang kemewahan sejak kecil. Namun, hal itu tidak membuatnya sombong atau merendahkan orang lain. Buktinya, pertemanan kami masih berlanjut sampai sekarang. Meskipun sempat kehilangan kontak sejak ia kuliah dan menikah. "Oke, nanti sore aku datang berkunjung. Mau lihat anakmu juga." Aku tersenyum manis padanya. Ia berbalik, perlahan lenyap dari pandangan. Senyum palsu yang sedari tadi kutunjukkan pun ikut sirna. Wanita itu, mengapa kumerasa ia dalam bahaya? *** Sepulang dari rumah Kana, aku mendapati Mas Arif yang terbaring lemas di atas lantai. Dengan sigap aku membantunya berdiri, tapi ia menepis kasar dan malah marah-marah tak jelas. "Mana Sarah?! Mana! Jangan coba-coba menyakiti Sarah!" Ia seperti dirasuki, tapi aku bingung harus berbuat apa. "Mas, sadar! Istighfar! Sebut nama Allah!" teriakku sambil menahan tangis. Tak lama kemudian, Mas Arif bungkam dan memejamkan mata. Napasnya tersengal-sengal, bibirnya bergerak seperti ingin menyampaikan sesuatu. Ya, seperti kesulitan berbicara. Aku langsung berteriak memanggil Bi Inem dan meminta air hangat. Perlahan, kubopong lelaki itu ke atas sofa dan membaringkannya dengan nyaman. Tak lupa bantal di bawah kaki dan selimut tipis. Keringat dingin keluar dari pelipisnya. Ia meriang. "Tangannya dingin banget, Bi. Apa Mas Arif sakit?" Bi Inem terdiam, ia memijit pelan bagian kaki suamiku itu. "Besok saya telepon bapak, insya Allah ada jalan." Aku sedikit lega, setidaknya ada yang bisa mencoba mengusir ilmu hitam yang menguasai suamiku. Melihat kondisi Mas Arif sekarang, sepertinya ia tak bisa bekerja dulu esok hari. Aku yang akan mengurus surat izin. *** Malam hari yang dingin,, mata lelah tapi tak bisa terlelap pula. Kucoba menghibur diri dengan menonton video lucu, atau makan sesuatu. Sudah lewat tengah malam dan Mas Arif tertidur lelap. Kupandangi wajahnya dari jauh, tak rela rasanya bila wanita itu akan merebut dia dariku. "Dek ... Mas haus banget ...." Aku tersentak dan cepat-cepat tersadar dari lamunan, kemudian menghampirinya. "Mas mau air hangat atau air biasa?" tanyaku antusias. "Air hangat, Dek. Mas kedinginan banget, mungkin karena kena hujan." Mas Arif benar-benar tak ingat apa yang ia alami seharian. Ia tiba-tiba hilang dan pulang dalam keadaan lemas. Setelah memberinya air, Mas Arif duduk dan memintaku menyalakan lampu. Ia menghela napas panjang, kemudian menarikku dalam pelukan. Suaranya parau, seperti menahan tangis. "Belakangan Mas pusing dan gak tau kenapa, seperti ada yang mengendalikan pikiran Mas. Kadang-kadang, terbesit keinginan kuat untuk poligami, tapi Mas tepis itu sekuat tenaga. Mas gak mau kamu tersakiti," jelasnya sambil berlinang air mata. Aku meneguk saliva dengan susah payah. Pengaruh ilmu hitam dari wanita itu sangat kuat. Namun, untuk sekarang aku belum bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berdoa dan mencoba segala jenis pengobatan. "Mas, kalau pengen tau, Mas itu dipelet sama wanita bernama Sarah. Entah apa maksudnya, aku juga gak ngerti. Dia begitu jatuh cinta sama Mas. Sekarang, mungkin dia sedang mengandung anak kamu, Mas," kataku sambil menahan tangis. "Apa? Maksudmu, aku menghamili Sarah? Astagfirullah, Risti! Kenapa kamu diam aja?!" "Gak bisa, Mas. Semua di luar kendali dan aku tau pas kamu pulang dari rumahnya. Semua sudah terjadi, Mas. Mau gak mau kamu tanggung jawab dan menikahi dia." "Gak, gak bisa gini. Aku `kan gak sadar, jadi anggap aja itu gak sengaja!" "Argh!" *** Satu bulan kemudian, semuanya berjalan seperti biasa. Setelah malam itu, Mas Arif jarang dirasuki lagi. Ia sehat dan kembali menyayangiku sepenuh hati. Meskipun ragu dan tak mengerti, mengapa tiba-tiba ilmu hitamnya lenyap tanpa ditepis. Namun, kuanggap inilah mukjizat dari Tuhan. Kami sering menghabiskan waktu bersama, ya sekadar mengingat masa-masa ketika pacaran dulu. Berkunjung ke danau yang penuh kenangan manis. Di sinilah Mas Arif melamarku dengan sebuah cincin. Manis sekali. "Dek, udah dapat kabar dari Sarah?" tanyanya. "Belum, Mas. Kenapa?" "Kemarin Mas ke rumah dia, tapi nggak ada orang. Kata orang di sekitar, jangan ke sana lagi kalau gak mau celaka. Emang bener?" Aku menaruh sendok dan mulai berpikir. Ibu-ibu yang tinggal di sana memang pernah memberi pesan agar jangan sampai kita ke sana lagi, apapun alasannya. "Aku gak ngerti maksud dari celaka ini apa. Apakah orang yang ke sana bakal kena penyakit dan meninggal?" dugaku. "Misterius banget tempat itu. Jujur aja Mas gak pernah tau ada kompleks perumahan di sana. Soalnya di Google Maps itu nggak ada, Dek. Seperti desa hantu." Aku meneguk ludah karena bergidik ngeri. Apalagi sekarang malam Jumat, malam yang identik dengan makhluk halus. "Penasaran, sih dia ke mana. Soalnya tiba-tiba Mas sembuh dan gak pernah kumat lagi dalam sebulan ini. Atau mungkin dia pindah, ya?" Ah, memikirkan wanita ini rasanya aku yang akan gila. Tanda tanya yang membuatku sangat penasaran. Notifikasi w******p membuat lamunan pecah. Dengan sigap kumengecek pesan dari siapa. Ternyata dari grup alumni SMA. Ah, tumben sekali mereka heboh sampai ratusan chat begini. Paling membahas janda depan rumah yang menjadi incaran buaya darat. "Kenapa gak dibalas, Dek? Buka dulu, siapa tau penting," tegur Mas Arif ketika aku memasukkan ponsel ke dalam tas. "Gak penting juga, Mas." "Coba dibuka dulu, nanti kamu kelewatan gibah," katanya lagi sambil tertawa. Sambil menghembuskan napas pelan, aku mengambil ponsel lagi dan membuka aplikasi hijau itu. Membaca percakapan mereka dari atas sampai bawah. Awalnya seru, bercanda dan perang stiker. Namun, semuanya berubah ketika David membawa kabar yang mengerikan. "Mas, kenal temen SMA aku gak yang namanya Kana?" tanyaku. "Yang baru pindah itu, `kan? Kenal aja, sih, kan kamu sering ceritain dia juga." "Dia meninggal, Mas. Bunuh diri." Mas Arif yang tadinya semringah, langsung mengernyitkan dahi. Mungkin ia terkejut, sama halnya denganku. "Innalillahi ... kok bisa kepikiran bunuh diri gitu, sih? Bukannya almarhumah udah punya anak? Terus gimana?" tanya Mas Arif bertubi-tubi. "Kata David, suaminya belum ketemu, gak tau ke mana. Sedangkan bayinya nangis di atas ayunan pas warga datang." "Astagfirullah ...." "Sekarang bayinya aman sama kakek neneknya. Tetep aja kasian, Mas, masih kecil ditinggal sosok ibu. Suaminya juga entah ke mana. Ya, dugaan mereka sih yang bunuh suaminya," jelasku." "Tapi, bunuh atas dasar apa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN