Aneh

1612 Kata
"Astagfirullah!" Aku terbangun dari tidur malam ini, padahal susah payahnya aku mencoba terlelap karena banyak pikiran. Kumelirik kamar pengantin baru itu, mereka sudah tertidur pulas. Betapa bahagianya mereka. Aku tidur di kamar tamu ditemani Bi Inem. Rasanya, diri ini seperti dibuang suami sendiri. Namun, entah mengapa, aku merasa ini semua tidak akan berlangsung lama. Suamiku akan kembali ke pelukanku. Lapar dan haus, kuputuskan untuk makan sesuatu sebelum tidur lagi. Ditemani televisi yang menayangkan acara kesukaan, aku makan dengan tenang. Namun, begitu selesai dan hendak mengantar piring kotor, wanita itu datang dan berdiri di hadapanku. Bukankah tadi ia sedang tertidur? "Ngapain/" tanyaku ketus, rasanya muak sekali melihat wajahnya. "Sini piringnya, biar adek yang cucikan," jawabnya sok manis. "Nggak usah, saya masih punya dua tangan yang kuat. Saya gak butuh bantuan darimu. Sana! Pergilah bermanja dengan Mas Arif!" tolakku kemudian pergi mendahuluinya. *** Azan Subuh berkumandang, aku bergegas bangun dan mandi. Keperluan Mas Arif sudah tentu disiapkan oleh istri barunya. Hm, aku bisa istirahat beberapa hari ke depan. "Sarah! Mana baju kerja Mas? Kamu belum setrika?" teriak Mas Arif yang membuatku senyum-senyum sendiri. Wanita itu pun datang terburu-buru. Ah, indahnya pertengkaran di pagi ini. "Semalam `kan aku capek, Mas, ngelayanin kamu terus. Paginya aku bangun lambat," jawab Sarah mengiba. "Hm, ya sudah, suruh kakakmu aja yang setrika. Kamu istirahat aja karena lagi hamil." Sarah memberiku baju kerja Mas Arif untuk dirapikan. Karena sebentar lagi ia akan berangkat, maka aku buru-buru menyetrika baju itu. Di sisi lain, aku tak ikhlas seperti ini. Dasar, wanita manja! "Risti, kamu jaga Sarah, ya. Jangan kasih dia makanan yang berbahaya buat ibu hamil. Jangan biarin juga dia keluar rumah tanpa seizinku." Perintahnya hanya kutanggapi dengan senyum licik, lalu beranjak pergi. Aku tahu, pengaruh setan itu begitu kuat dan sulit dilepaskan. Namun, aku akan tetap mencari tahu siapa Sarah sebenarnya. Mengingat ketika acara pernikahan mereka, hanya kedua orang tua yang hadir. Aku tak tahu apakah Sarah memiliki saudara. *** Sejak tadi aku diam memerhatikan wanita itu. Ia hanya duduk merenung, seperti ada masalah. Penasaran, tapi nanti ia ke-PD-an. Ah, mengapa perasaanku menjadi tidak keruan seperti ini? Karena semua pekerjaan telah selesai dilakukan, aku memutuskan untuk keluar jalan-jalan. Malas rasanya berada di rumah yang masih bersuasana pernikahan. Aku seperti orang asing di rumah sendiri. "Eh, Risti!" teriak seseorang dari kejauhan, ternyata Tania. "Beb ... ngapain? Kok cuma sendiri?" tanyaku. "Iya, nih habis beli minuman, panas banget. By the way, gimana kabar kalian? Baik-baik aja, `kan? Sumpah, semalaman aku khawatir mikirin kamu, mana HP gak aktif lagi," cerocosnya. "Maaf, Tan. HP aku mati, lupa dicas. Alhamdulillah kami baik-baik aja. Aku berusaha sabar. Rencana Tuhan itu baik," jawabku dengan senyum manis. "Ya Allah, kamu wanita yang suci, Ris. Suami kamu itu udah gila, bener-bener sinting. Kamu yang hampir sempurna gini aja disia-siakan. Liat aja, nanti dia bakal menyesal." Ia tampak emosi sekali dengan Mas Arif. "Aku justru gak yakin kalau itu Mas Arif. Sikapnya tiba-tiba berubah dan bisa jadi itu pengaruh pelet dari Sarah." "Emang ilmu gituan masih ada di jaman modern gini?" Aku menunduk dan menjelaskan beberapa ilmu yang masih ada sejak dulu. Salah satunya santet, pelet, dan guna-guna. Ilmu jahat yang digunakan untuk menyakiti seseorang. Kami pun duduk di kursi panjang di bawah pohon mangga. Tania yang sangat penasaran pun meminta diceritakan sedikit kisah horor. Karena aku banyak tahu dari Bi Inem, akhirnya kuceritakan saja agar ia percaya, bahwa hal seperti ini memang ada. "Kalau dari cerita ART-ku, ada seorang gadis cantik yang menolak lamaran seorang pria. Ya, dia nolak pun ada alasannya. Saat itu dia udah punya pacar dan keluarganya udah saling kenal. Udah ada rencana lamaran malah. Nah, datanglah seorang pria entah dari mana, melamar cewek ini. Ditolaknya secara baik-baik kok, gak main kasar. Pun kedua orang tuanya lembut menolak pria itu," jelasku lalu menarik napas dan mengembuskannya pelan. "Gak lama, si cewek kena penyakit aneh. Awalnya muka cewek ini merah gitu, panas, gatel juga. Dia kira karena salah skincare. Eh, lama kelamaan, mukanya penuh belatung. Udah berobat ke mana-mana tetep nihil hasilnya. Dokter aja bingung ini sakit apa. Tubuhnya lemas, gak bisa makan minum, baring aja di kasur sambil disuapin air," lanjutku. "Ya Allah, kasihan banget! Terus sekarang gimana?" "Aku juga kurang tau. Ya, semoga aja diberi kesembuhan." "Aamiin." Di sela-sela pembicaraan kami, tak sengaja Tania melihat seorang pria yang pipis di bawah pohon. Ia pun langsung mencolekku dan tertawa kecil. "Astaganaga, dia gak liat apa ada kita di sini?" tanyanya sambil tertawa. "Wah, mungkin kebelet banget!" Aku pun ikut tertawa. Pria itu menaikkan celananya dan pergi, sedangkan kami kembali lanjut bercerita. Tak sadar, hari semakin sore dan sebentar lagi Mas Arif pulang. Di perjalanan, tak sengaja aku bertemu dengan seorang ibu-ibu berpakaian lusuh. Ia berjalan sempoyongan sambil memeluk sebuah boneka beruang. Penasaran, aku pun mendekatinya. "Bu? Ngapain di tengah jalan begini?" "Kamu? Kamu lihat anakku?" tanyanya dengan wajah muram. "Nggak, Bu. Saya gak ada liat anak kecil di sini." "Terus anakku di mana? Anakku! Anakku! Di mana kamu, Nak!" Ia terus berjalan tak tentu arah, bahkan hampir saja terjatuh tapi tak mau ditolong. "Ini boneka kesukaanmu, Nak! Dia rindu! Dia mau dipeluk sama kamu! Dia ngomong begitu ke Ibu!" Aku merinding mendengar ucapannya, mungkin ODGJ. *** Sesampainya di rumah, aku terkejut melihat pengantin baru itu sedang b******u mesra di depan televisi. Dengan sigap aku berpaling muka dan terburu-buru masuk kamar. Perih rasa di hati, mereka benar-benar tak memberiku celah untuk memisahkan. Sarah memang wanita yang 'gatal'. Aku mandi dan membersihkan diri. Sudah pukul lima sore, waktunya membantu Bi Inem memasak untuk makan malam. Ke mana Sarah itu? Pasti kerjanya hanya bersantai dan tidak membantuku. "Gak usah dibantu, Bu. Bisa sendiri kok," ucap Bi Inem. "Udah, gak papa. Biar lebih cepat." Hanya setengah jam memasak, hidangan pun disajikan. Aku kini duduk bersebelahan dengan Bi Inem, sedangkan mereka tentu bersampingan. Sesekali Mas Arif menyuapi Sarah, mereka tampak sangat bahagia. Namun, aku sedikit heran dengan tatapan kosong Mas Arif meski ia sedang tersenyum. Apakah ia bersandiwara? Tapi, kenapa? *** Malam hari terasa sepi, bahkan tidak ada satu pun hal yang bisa membuatku terhibur kali ini. Jika saja mempunyai anak, tentu hari-hariku lebih berwarna. Haha, bagaimana ingin mempunyai anak jika suami enggan menyentuhku lagi? Kubuka jendela kamar dan mulai mengenang hari itu. Sangat indah, sampai rasanya ingin mengulangnya lagi. Namun, semua cinta dan perhatian telah direbut wanita lain. Lantas, aku bisa bertahan karena apa? Anak saja belum punya. Duk, duk, duk! Suara aneh itu mengusik ketenanganku. Berkali-kali ia mengganggu, tapi kuabaikan. Mungkin hewan. Namun .... "Hihihi!" Samar-samar, mulai terdengar suara anak kecil berlarian sambil tertawa. Suara itu semakin jelas dan seakan-akan ada di sini. Aku bangkit dan mulai mencari. Di setiap sudut rumah, tidak ada siapa-siapa. "Bi?" Aku memanggilnya pelan, tapi tidak menyahut. Ternyata ia sudah tertidur lebih dulu. Mas Arif dan Sarah pun sudah terlelap. Mereka tidur berpelukan. Aku rindu dan iri, kapan bisa seperti itu lagi? Brak! "Siapa?!" Aku mulai emosi dan gelisah. Tolonglah, jangan iseng! Suaranya menghilang, berganti dengan riuh angin yang membuatku takut. Karena merasa ada yang mengawasi, aku tidur dengan lampu menyala. Hawa ruangan berubah drastis. Dingin yang tak biasa. Aku mencoba tidur dengan kondisi seperti ini, rasanya sulit sekali. Dalam bayanganku terlihat anak kecil perempuan yang tertabrak mobil dan mati. Ya, sama persis dengan kejadian beberapa hari lalu. Apakah anak itu mendatangiku? "Jangan ganggu, please ...." "Kenapa, Bu?" Aku langsung memeluk Bi Inem dan ia pun keheranan. "Ada hantu, Bi. Dia ngikutin aku terus!" jawabku. "Hantu? Hantu itu gak ada, Bu. Udah, mungkin Ibu mimpi buruk," ucapnya berusaha menenangkan. "Saya dari tadi gak bisa tidur karena ada suara anak kecil!" tegasku sambil menunjuk jendela. "Anak kecil?" tanyanya. Aku mengangguk cepat. "Jangan-jangan itu anak kecil yang pernah saya denger, Bu. Saya sempet cerita kok!" "Ah, iya benar! Bibi juga denger suara anak kecil lari-larian, `kan?" Aku memastikan. "Iya, Bu." "Saya takut diikuti makhluk aneh-aneh, Bu," ucapku lalu menangis. "Sudah, jangan takut. Kita punya Allah." Akhirnya, malam itu kami berdua terjaga sampai aku mengantuk. *** "Risti! Risti!" Aku langsung terbangun dan menghampiri suamiku. Ia terdengar panik dan gelisah, Buru-buru aku berlari menuju kamarnya. Ia berdiri di depan pintu sambil memakai selimut. Rupanya ia tak memakai baju dan langsung keluar kamar. Entah apa yang terjadi, ia langsung memelukku. "Kenapa. Mas?" tanyaku khawatir. "Dia itu siapa, hah?! Kenapa bukan kamu yang tidur sama Mas?" tanyanya panik. Aku terdiam beberapa saat, berusaha mencerna maksud perkataannya. Bukankah ia sangat mencintai Sarah? "Kok Mas heran gitu? Dia `kan istri Mas, kalian pengantin baru. Aku tidur di kamar tamu sama Bi Inem," jelasku. Ia melepas pelukan dan mengernyitkan dahi. "Gila kamu, Dek? Sejak kapan dia jadi istriku? Kenal aja nggak!" kilahnya. "Mas gak percaya?" Aku masuk dan mencari sesuatu di laci, kemudian menunjukkannya. "Ini ... ini buku nikah kalian berdua. Belum jelas? Ini semua foto-foto pernikahan kalian," kataku sambil membuka galeri di ponselnya. Mas Arif merebut paksa ponsel itu lalu berteriak kencang. Berkali-kali ia mengelak, ia tak merasa menikahi wanita itu. Ia ditipu! "Gak bisa gini, Dek! Mas harus urus surat cerai secepatnya!" ucapnya lantang. "Gak, Mas. Gak semudah itu. Sarah lagi hamil anak Mas." "Argh!" Ia mengacak-acak rambutnya lalu mengambil baju dan pergi entah ke mana. Bi Inem yang kebetulan lewat pun terheran-heran. "Pak Arif kenapa, Bu?" "Gak tau, Bi. Dia aneh banget, nanti saya cerita." "Hm, Bu. Ini pas nyapu di belakang kulkas, saya nemu banyak darah. Bau banget," katanya. Aku pun bergegas memeriksa. Sambil menutup hidung, aku mendekati sumber bau itu. Gumpalan darah, sekilas mirip seonggok daging. Baunya busuk menyengat. "Ini apa, ya, Bi? Masa bangkai hewan kayak gini?" "Saya juga gak tau, Bu." Di tengah kebingungan kami, terdengar teriakan dari kamar Mas Arif. Aku pun berlari menghampirinya. Rupanya Sarah tengah kesakitan sambil memegangi perutnya. "Kak, tolong, sakit banget! Argh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN