Ketika aku masuk ke dalam Resto, Jeni tampak sudah menunggu. Seperti biasa senyumnya akan terbit dengan begitu indah begitu matanya bertemu mataku. Tangannya kemudian terangkat dan melambai dengan begitu bersemangat. Bagi Jeni, aku memang dunianya tapi aku belum bisa memastikan jika dia adalah duniaku karena sampai detik ini aku masih belum memahami bagaimana perasaan mencintai yang sesungguhnya. “Kamu kok lama?” Ucapnya manja. “Aku habis dari makam mama dan papa jadi nggak bisa sebentar.” Jawabku seadanya. Aku memang seperti tidak memiliki alasan untuk berbasa-basi panjang dengan Jeni, aku selalu bicara seperlunya dan bercanda seperlunya juga. Jeni selalu protes bahwa aku tidak begitu ramah padahal kami sudah bertunangan. Dan mengingat Jeni sering memprotesku mengenai sikapku yang menur