BAB 8. Bia

2031 Kata
Entah kenapa ditinggalkan oleh Alden berangkat ke kantor membuatku merasakan suasana sepi yang selama ini dihilangkan oleh perdebatan menyebalkanku bersama Alden. Bayang-bayang ayah dan ibuku kembali menyeruak dengan dasyat membuatku sesak dan menciptakan bendungan air mata. Aku segera menghapusnya ketika salah satunya jatuh di pipiku. Kembali teringat perkataan Alden bahwa menjadi cengeng juga termasuk kebodohan dan aku tidak boleh menjadi bodoh untuk membalaskan semua luka yang ku derita ini. Baik kepada Dio maupun kepada Jeslin. Sejak aku datang ke rumah ini, aku belum pernah melihat belakang rumahnya, sehingga untuk menghibur diriku sendiri aku memutuskan berkeliling rumah ini. Untuk orang kaya sekelas Alden, rumah ini tergolong kecil dan tidak terlihat begitu mewah selain gerbang tinggi yang menjulang di depan. Tapi semua perabot dan pajangan di dindingnya membuat rumah ini terasa begitu hangat. Terasa seperti rumah yang penuh cinta dan entah kenapa semuanya tidak terasa asing untukku. Mungkin karena suasana rumah ini sedikit mirip dengan rumahku. Lalu aku tersenyum sumringah menemukan lahan kosong yang terlihat bisa di tanami. Di sana juga terdapat beberapa peralatan berkebun yang sepertinya dulu di gunakan untuk bercocok tanam. “Nona membutuhkan sesuatu?” Seorang pengawal menghampiriku ketika aku sedang asyik memperhatikan sekitar sambil sesekali memegang beberapa peralatan berkebun. “Ahh tidak, saya hanya sedang melihat-lihat bunga-bunga liar yang dibiarkan tumbuh disini. Sepertinya disini sebelumnya tempat berkebun.” Jawabku jujur. Di beberapa bagian taman belakang ini memang tumbuh berbagai macam bunga liar yang cukup indah menurutku. Membuatku teringat sebuah kenangan masa kecilku bersama ibuku dulu, dimana kami sering piknik ke ruang terbuka hijau dan membuat buket bunga liar untuk diberikan pada ayah sebagai hadiah. Ibuku sangat menyukai bunga, dan hal itu beliau tularkan padaku. “Dulu mendiang nyonyah Amelia memang sangat suka berkebun, taman ini dulu merupakan kebun bunga yang cantik. Tapi semenjak kepergian beliau, taman ini sudah tidak lagi terawat karena tuan muda Jenkins tidak tertarik dengan berkebun dan terlalu sibuk dengan perusahaan yang di percayakan padanya.” Jawab sang pengawal membuatku berpikir mungkin Alden sengaja membuat kebun ini mati karena jika kebun ini tetap dijaga tetap indah maka itu akan mengingatkannya pada mendiang ibunya. Posisiku dengannya bisa dibilang tidak jauh berbeda, segala hal sekecil apapun yang mampu mengingatkanku pada mendiang ibuku selalu saja membuatku rapuh. Dan akupun berniat untuk menghindarinya. Semua ingatan ini mengurungkan keinginanku untuk berkebun disini. Mungkin Alden memang masih sebegitu terlukanya dan belum berniat membuka dirinya terhadap kenangan masa lalu. Dan aku mungkin orang yang paling mengerti posisinya saat ini, karena itu aku akan berusaha untuk tidak mengingatkannya pada masa lalunya yang pedih. “Sepertinya Alden memang tidak berniat untuk menjaga taman ini dan membiarkannya menjadi tanah kosong yang ditanami bunga liar seperti ini.” Ucapku berkomentar. “Tuan muda mungkin terlihat begitu menakutkan dan kuat, tapi sejujurnya dia adalah orang yang paling rapuh. Untuk hal-hal kecil yang bisa mengingatkannya pada mendiang orangtuanya saja bisa membuatnya kembali menjadi sangat pemarah dan sangat menyeramkan. Karena itu kami semua tidak ada yang berani melakukan yang bukan perintahnya.” Jawab sanga pengawal lagi. Lalu aku tersenyum sambil terus berkeliling bagian luar rumah itu di temani oleh obrolan ringan bersama pengawal Alden yang cukup ramah dan menyenangkan itu. Namanya Antony, dia sudah bekerja puluhan tahun pada keluarga Jenkins. Tapi aku tidak berani menanyakan banyak hal apalagi mengenai kematian orangtua Alden karena jika Alden memang menginginkannya suatu hari nanti dia akan bercerita segalanya padaku tanpa ku minta. Sehingga obrolan kami hanya sebatas beberapa hal yang kami temui di pekarang rumah. Dari perjalanan mengelilingi rumah yang cukup menghibur itu aku akhirnya tahu bahwa di samping kanan rumah ini ada gazebo yang cantik dengan susunan batu taman yang indah sekalipun tumbuhan di sana tidak terawat. Tidak jauh dari sana ada sebuah kolam ikan kecil yang beruntungnya ikan-ikan disana masih begitu terawat. Dan dari semua hal yang aku temui di sana, memberiku kesimpulan bahwa dulunya, keluarga Alden adalah keluarga yang harmonis dan menyenangkan seperti keluargaku. Selain itu aku juga menemukan beberapa album foto tua di ruang tamu setelah aku mengakhiri sesi jalan-jalan ku di sekeliling rumah dan berpamitan dengan Antony. Akhirnya aku tahu darimana ketampanan Alden berasal karena selain ibunya sangat cantik, rupanya ayah Alden juga sangat tampan sehingga tidak mungkin jika Alden tidak mewarisi paras mereka. Aku juga menemukan bahwa dulu Alden terlihat lebih tampan dengan senyuman yang selalu menghiasi setiap foto. Mungkin semua luka yang dia terima merubah caranya hidup, membuat senyumnya kini menjadi mahal sekali. Setelah puas dengan melihat-lihat foto itu aku kembali mencari album foto lain karena aku begitu penasaran dengan wujud Alden ketika kecil tapi rupanya aku tidak menemukannya disana. Mungkin di simpan di tempat lain dan aku enggan mencarinya lebih jauh dan memilih untuk membuat makan siang untuk diriku sendiri. Bahuku sepertinya lebih baik dari sebelumnya sekalipun belum bisa untuk mengangkat berat. Setelah selesai semunya dan aku hendak mulai makan siang, tiba-tiba aku mendengar ada keributan di luar sana membuatku reflek berdiri dengan waspada. “Ada apa di luar Antony?” Aku bertanya ketika melihat Antony tampak baru saja berlari dari luar. “Ada tuan Bram, teman tuan muda ingin bertemu anda Nona. Tapi kami tidak akan tertipu lagi seperti kemarin sehingga kami tidak membiarkannya masuk kecuali tuan muda memberi ijin.” Jawab Antony membuatku berdebar. Kalau tidak salah laki-laki bernama Bram itu adalah teman Alden yang kemarin hampir membunuhnya atas perintah kakaknya yang bernama Fino. “Apa kalian memberitahu Alden?” Tanyaku pelan. Sedikit takut karena masih ku dengar keributan di luar. “Sudah Nona dan tuan muda sedang pulang.” Ujar Antony membuatku mengernyit. Untuk apa Alden pulang? Bukankah sudah banyak pengawal? Aku yakin Bram tidak akan bisa masuk sekalipun dia memaksa dengan keamanan seketat sekarang. “Pulang? Bukankah Alden sudah menambah pengamanan disini? Untuk apa dia pulang? Pekerjaanya sedang banyak bukan?” Tanyaku penasaran. “Sepertinya tuan muda ada urusan juga dengan Bram dan sedikit mengkhawatirkan nona.” Jawab Antony lagi kemudian berpamitan padaku karena di panggil rekannya setelah sebelumnya memerintahkan aku untuk tidak keluar rumah apapun yang terjadi. Lagipula aku juga tidak berniat untuk keluar rumah, lebih baik aku makan bukan? *** Tidak lama kemudian aku mendengar suara mobil Alden terparkir di depan tepat setelah aku selesaimencuci piring. Dan hal pertama yang aku lihat ketika laki-laki itu masuk adalah wajahnya yang di tekuk dan terlihat marah. Aku melongok ke belakangnya mencari laki-laki bernama Bram itu tapi tidak ada. Mungkin sudah pergi atau belum masuk sehingga aku terus memandangi pintu karena penasaran. “Mencarinya Bia? Tidak ada! Aku mengusirnya apakah kamu kecewa?” Ucap Alden dingin dan hal itu membuatku menaruh perhatian penuh padanya. “Mulai tertarik padanya huh?” Tambahnya lagi terlihat kesal. “Tidak Al, aku hanya berpikir mungkin kamu mengajaknya masuk sehingga keributannya mereda. Untuk apa aku tertarik padanya, tidak ada waktu untuk masalah cinta sekarang.” Jawabku sedikit cemberut karena Alden seperti menuduhku melakukan kejahatan besar dari raut wajahnya. Padahal aku hanya penasaran saja tapi kenapa reaksinya berlebihan? “Tidak ada waktu untuk masalah cinta tapi terus saja menggoda laki-laki lain dengan wajah sok polos itu.” Gumam Alden lirih sambil melepas dasinya menuju ke kamar. Tapi jangan salah, aku mendengarnya dengan sangat jelas dan membuatku kesal. “Siapa yang menggoda? Siapa yang membuatku terlibat dengan masalah cinta miliknya sehingga aku harus bertemu para laki-laki yang aneh dan menyebalkan itu tuan Jenkins?” Ucapku kesal. Terlebih ketika melihat Alden hanya menoleh ke arahku sambil memberikan ekspresi tidak peduli. Laki-laki itu benar-benar membuatku naik darah dalam waktu yang singkat. “Menyebalkan!” Teriakku ketika Alden sudah masuk ke dalam kamar. Setelah itu aku kembali duduk di sofa sambil menetralkan emosiku yang mulai berlebihan. Aku harus bertahan dengan situasi menyebalkan ini demi membalas semua luka yang diberikan Dio dan Jeslin. “Buatkan aku makan siang!” Perintah Alden kembali menyulutkan api kekesalan di hatiku. Dia sudah berganti pakaian dengan lebih santai seperti tidak berniat kembali ke kantor padahal dia sendiri yang mengatakan pekerjaannya sedang menumpuk. “Bia! Telingamu tidak ada?” Ucapnya lagi. “Tidak ada dalam perjanjian tentang membuatkan makan siang.” Balasku tanpa menoleh ke arahnya. Aku masih kesal karena dia mengatakan aku menggoda para lelaki. Padahal ada niatan itu saja tidak pernah. “Perjanjiannya belum aku buat.” Ucapnya kemudian duduk di hadapanku dan merebut buku di tanganku dengan menyebalkan. “Aku mau makan nasi goreng teri seperti yang tadi kamu buat.” Tambahnya lagi membuatku heran. Kemudian aku melihat ke sekililing dan banyak CCTV terpasang. Apakah laki-laki menyebalkan ini memonitorku setiap waktu selama dia di kantor sampai dia tahu aku memasak apa? “Kau memata-mataiku?” Mataku menyipit dengan kesal ke arahnya. Dan lagi-lagi aku hanya mendapatkan raut wajah tidak peduli miliknya. “Buatkan aku nasi goreng Bia! Kau tidak dengar?” ucapnya lagi mulai kesal tapi aku juga kesal. “Minta maaf dulu karena kamu sudah mengataiku penggoda laki-laki! Aku bukan perempuan seperti itu.” Balasku cemberut. Alden memutar matanya malas kemudian menatapku dengan malas. “Jika kau bukan penggoda, untuk apa Bram sampai tergila-gila padamu begitu huh? Dia bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta. Dan jangan lupa mengenai kegiatan jalan-jalan keliling rumahmu yang mengasyikan dengan salah satu pengawalku. Selain bodoh kau rupanya Awww...” Ucapan Alden terputus sambil melotot ke arahku karena aku melemparkan bantal ke arahnya cukup keras. “Kau menyebalkan! Jangan harap aku mau memvbuatkan nasi goreng.” Teriakku marah sambil berlari masuk ke kamar dan masuk ke dalam kamar mandi kemudian mengunci pintunya. “Biaaaaaa!” Aku bisa mendengar Alden berteriak tapi aku diam saja. Rasanya kesal sekali sampai ingin menangis, aku tidak peduli jika setelah ini mungkin dia akan membunuhku karena aku tidak bisa lagi menahan kekesalanku. Cukup lama aku mengeram di dalam kamar mandi sambil terisak. Jika sedang terluka seperti ini maka otomatis aku akan sangat merindukan ibuku, beliau selalu memelukku saat suasana hatiku sedang buruk dan sekarang aku tidak lagi bisa mendapatkan pelukan hangat itu. Rasanya menyakitkan sekali dalam sekejap mata aku dipaksa untuk sendirian dan menghadapi semuanya sendirian. “Biaaa, aku minta maaf jangan menangis lagi.” Sayup-sayup ku dengar suara Alden di luar setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar mandi. “Aku tidak bermaksud mengatakan kamu penggoda, aku hanya kesal karena Bram tertarik padamu dan menyusahkanku. Seharusnya aku tidak menyalahkanmu.” Tambah Alden lagi dan dalam keadaan air mata masih membasahi pipi, aku tersenyum. Rasanya melegakan mendengar semua kalimat dengan nada lembut ini dari mulut Alden setelah pertengkaran kita. Membuatku semakin percaya bahwa sebenarnya Alden adalah laki-laki baik hati yang menyembunyikan sikapnya yang sebenarnya menggunakan perilaku kasar dan menyebalkan miliknya yang menakutkan. Karena sejujurnya Alden sama denganku, kami menanggung luka yang sama dan sekarang sedang berusaha untuk saling memahami. “Ya sudah aku buatkan nasi goreng, tunggu di meja makan.” Ucapku setelah membuka pintu kamar mandi sambil berjalan melewatinya yang terlihat merasa bersalah. Dan diam-diam aku tersenyum melihat senyum kecilnya  sekilas setelah aku mengatakan akan membuatkannya nasi goreng teri. “Mau pakai sayur?” Tanyaku lagi setelah dia duduk manis di meja makan. “Sedikit saja.” “Telurnya satu atau dua?” “Satu saja tapi yang satu di goreng.” Jawabnya banyak mau. Aku tersenyum geli, menyadari Alden mulai menunjukkan sisi kekanakannya. “Ok.” “Tadi ngobrolin apa sama Antony?” Tiba-tiba Alden bertanya. Rupanya dia benar-benar penasaran dengan obrolanku dengan pengawalnya sambil berkeliling tadi. “Taman bunga belakang, katanya dulu sangat indah. Sayang sekali sekarang aku hanya bisa melihat bunga liar disana.” Ungkapku jujur. “Kau boleh menanaminya kalau mau.” Ucap Alden membuatku menoleh dengan senyuman lebar. “Beneran?” Tanyaku antusias dan aku hampir berteriak girang ketika melihat Alden mengangguk. “Dulu rasanya menyebalkan melihat sesuatu yang membuatku teringat pada mendiang orangtuaku, tapi semakin ku hindari semakin banyak yang aku temui. Karena itu aku memutuskan daripada menghindarinya lebih baik aku menghadapinya. Mungkin mama akan senang jika kebun miliknya di tanami lagi dan setidaknya keberadaanmu disini ada gunanya.” Ungkap Alden dengan ujung kalimat yang tetap menyebalkan. “Aku menemanimu tidur dan membuat makanan untuk mu ingat! Tidak berguna? Enak saja.” Sungutku kesal dan aku malah mendapatkan kekehan geli dari Alden. “Orang lain akan semakin terlihat cantik jika tersenyum, tapi Bia berbeda. Dia akan terlihat semakin cantik saat marah.” Ucap Alden sambil tertawa mengejek. Membuatku sulit membedakan apakah itu sebuah pujian atau ejekkan. Memang menyebalkan bukan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN