“Al? Apa kamu sudah siap? Daddy yang akan mengantarmu sekolah hari ini Sweety Boy.”
Suara teriakan Daddy membuatku menghentikan acara mencariku dan merengut walau Daddy tidak bisa melihatnya. Aku tengah mencari buku pelajaran yang harus kubawa hari ini, yang entah bagaimana tidak bisa kutemukan di meja belajarku. Kupikir terakhir kali aku sekolah adalah hari yang buruk, sehingga aku benar-benar lupa di mana aku meletakan buku milikku waktu itu. Tasku juga menghilang, membuat rasa kesalku memuncak sampai ke ubun-ubun.
Apalagi Daddy, walaupun baik dia tetap tidak bisa menghilangi kebiasaannya yang maniak tepat waktu. Sayang Kak Lu dan Kak Lylo sudah berangkat terlebih dahulu, jadi hanya aku sendirian yang harus terjebak berangkat sekolah dengan Daddy.
“Al? Apa ada yang salah?”
Mommy muncul dari luar kamarku sambil tersenyum lembut seperti biasa. Mungkin Daddy yang memintanya mengecekku karena aku tidak kunjung turun. Dengan segera kuhampiri Mommy dan memeluk pinggangnya erat.
“Mommy...... Aku tidak bisa menemukan tasku di mana pun... Daddy juga tidak paham dan malah terus menerus berteriak agar aku cepat turun. Aku benar-benar lupa dimana aku meletakan tasku hari itu Mommy,” rengekku manja sambil bergelayutan pada Mommy.
Biarlah aku dibilang manja, ini lebih baik daripada aku harus menerima hukuman Daddy karena telat berangkat ke sekolah.
Masih lebih baik Kakak kakakku yang biasanya dihukum dengan jeweran, sentilan, atau jitakan dan sejenisnya. Kalian tahu apa yang Daddy biasa lakukan padaku?
Dia akan memciumiku sepanjang hari sambil memeluk, bermanja ria, bahkan tidur bersamaku dengan ancaman kejam jika aku menolak. Daddy bilang itu pelajaran untukku, agar tidak bersikap nakal seperti Mommy dulu.
Dari situlah aku tahu betapa tersiksanya Mommyku dulu. Daddy memang kejam saat memanipulasi orang, dia benar-benar menyebalkan.
“Apa itu tas berwarna merah dengan gantungan kunci setengah sayap di resletingnya?” tanya Mommy ragu.
“Ya itu!” seruku cepat saat Mommy mengambarkan keadaan tasku. Jadi tas itu selama ini ada pada Mommy? Kenapa Mommy tidak bilang daritadi coba?
“Kamu meninggalkannya di mobil saat Lu mengajakmu keluar. Kurasa Bard menyimpan tasmu dengannya. Sekarang segeralah sarapan dibawah sementara Mommy dan Bard akan membereskan bukumu. Kau tidak mau membuat Daddy menghukummu bukan?”
Dengan cepat aku menggeleng dan melesat menuju meja makan. Daddy sudah duduk dengan santai di sana, dengan senyum mengerikan yang dia tunjukan saat aku akan dihukumnya. Sarapan milik Daddy telah habis sepenuhnya,tanda bahwa Daddy telah menungguku begitu lama. Akh, jika tahu aku meninggalkannya di mobil kakak, aku tidak akan terjebak dalam senyuman mengerikan Daddy seperti sekarang ini.
Lagipula Paman Bard, kenapa dia tidak memberitahuku bahwa tasku ada padanya sih?
Ngomong-ngomong tentang Paman Bard, dia adalah kepala pelayan dirumah sekaligus orang yang telah bekerja pada Daddy jauh sebelum Daddy mengenal Mommy. Orangnya baik walaupun tidak banyak bicara. Tetapi di beberapa kesempatan, sesekali tanpa sadar aku melihatnya memandang dingin tamu Daddy yang kurang sopan atau berusaha menganggu keluarga ini. Dia adalah orang yang paling dipercaya Daddy sekaligus ayah kandung dari Pere temanku disini.
“Apa kamu sudah siap menerima hukumanmu Sayang?”
Ucapan Daddy membuatku hampir tersedak saat memakan sereal di mulutku. Untung saja saat itu Mommy datang bersama Paman Bard dan segera menepuk pundakku lembut.
Walaupun entah kenapa ini seperti deja vu.
“Sayang, berapa kali harus kubilang untuk tidak mengagetkan Al saat dia sedang makan? Kamu tahu kan Al sangat mudah terkejut?” omel Mommy yang dibalas senyuman canggung oleh Daddy. Sepertinya tadi Daddy tidak sengaja bicara seperti itu saat aku sedang mengunyah.
“Dan lagi, itu salahmu kan karena menyembunyikan tas Al pada Bard? Jangan mencoba untuk menghukum Al tanpa alasan yang jelas Ryan.” ucapan kedua Mommyku berhasil membuatku senang dan tersenyun penuh kemenangan pada Daddy. Menyembunyikan tasku katanya? Apa Daddy tidak sadar betapa frustasinya aku karena mencari keberadaan tas itu?
“Sayang..... Apa kamu cemburu jika aku terlalu dekat dengan Al? Tenang saja Honey, Al itu anakku dan kau adalah cintaku. Tidak perlu merasa cemburu pada anakmu sendiri Darl,” goda Daddy yang dibalas tatapan tajam dari mommyku tersayang. Di depanku dan Bard, dengan santai Daddy malah b******u ria dengan Mommy. Sudah biasa memang, namun terlihat tidak nyaman jika kalian menontonnya sambil makan bukan?
“Ummm... Daddy, kupikir aku sudah cukup telat untuk sekedar melihat kalian bermesraan. Aku tidak mau dihukum setelah Daddy dengan sengaja adalah penyebab utama kenapa aku telat,” sarkasku sambil sedikit merengut. Daddy biasanya akan berhenti jika aku yang bicara. Sampai kapanpun, Daddy memang tidak bisa mengabaikanku hehe.
Dan berhasil. Daddy menghentikan cumbuan itu lalu menatapku geli.
“Tidak ada yang akan berani menghukum anak kesayangan Daddy Sweety. But okay, kita lebih baik segera berangkat sebelum mommymu tidak akan memberikan jatah malam Daddy karena kesal."
Setelah mengatakan itu, Daddy segera melesat keluar meninggalkanku dan Mommy yang siap memegang buah apel yang mungkin akan dipakai Mommy untuk memukul wajah Daddy seperti biasa.
*****
“Here we are Sweety. Jangan lupa untuk menghubungi Daddy jika ada yang berani menganggumu. Jangan bicara apalagi ikut dengan orang asing yang tidak kamu kenal. Segeralah lari ke ruang guru jika ada yang berani menganggumu, mereka pasti akan melindungimu sampai aku datang. Dan juga-”
“Aku tahu Daddy..... Umurku sudah 16 tahun.....” potongku manja setelah mencium pipi Daddy. Mobil kami berhenti di depan gerbang sekolah atas permintaan yang kubuat dengan susah payah. Mobil Daddy terlalu menarik perhatian, dan setelah semuanya, ini adalah hari pertamaku memulai hari yang baru dan mencari teman. Aku tidak mau terlalu menarik perhatian dan menghadapi masalah yang tidak perlu.
Daddy mengangguk pasrah kali ini. Daddy sepertinya masih mengingat janjinya dengan jelas, dan tidak ingin membuatku kembali marah.
Emm....
Tapi rasanya kasihan juga melihat Daddy menahan diri. Jadi, kusempatkan untuk memeluk dan mencium Daddy terlebih sekali lagi sebelum keluar dari mobil. Aku sedikit bingung setelahnya Daddy malah ikut keluar, sebelum mataku sendiri melihat seseorang yang paling kuhindari.
“Paman ada perlu apa datang ke sini? Jarang sekali aku melihat Paman menggantar sendiri Al ke sekolah."
Mataku terbelakak kaget mendengar penuturannya. Jadi Alpha menyebalkan ini sebenarnya mengenal Daddy? Dan apa-apaan obrolan santai dan panggilan Al itu? Dia pikir dia siapa huh?!
Lagipula, siapa yang mengijinkan lelaki itu memanggilku Al? Aku memang tidak pernah pilih-pilih dalam berteman namun untuk yang satu ini, aku tidak akan pernah memaafkannya!
Aku terlalu asik mengumpat dalam hati sampai tidak sadar bahwa mereka masih bicara dengan akrabnya. Jujur saja, melihat Daddy akrab dengan orang lain adalah hal yang langka, apalagi dengan Alpha yang jelas-jelas mengenalku.
Aku tersentak saat Daddy mengelus rambutku gemas. “Al, jika ada yang berani menganggumu bicaralah pada Steve, dia anak Om July jika kau lupa. Steve bilang kalian sekelas walaupun belum terlalu dekat karena tidak mengenal satu sama lain. Mulai sekarang, belajarlah untuk berbaikan ya?”
Baiklah. Demi jatah malam Daddy, tahukah Daddy bahwa orang yang senang mengangguku ada di belakang Daddy?!
Ingin rasanya aku mengatakan itu, jika saja aku tidak ingat Steve anak Om July. Sulit dipercaya memang, lelaki manis dan lembut teman sepermainan Momny memiliki anak menyebalkan seperti Steve.
“Baik Daddy. Sekarang Daddy harus segera berangkat kerja. Mommy bisa memarahiku jika Daddy sampai telat,” candaku halus yang kembali dihadiahi kecupan kening oleh Daddy. Sebenarnya aku ingin protes, karena Daddy menciumku tepat didepan Alpha menyebalkan itu. Namun, aku takut Daddy curiga ada sesuatu diantara kami, jadi aku memilih diam dan tersenyum saja seperti biasa.
Normal PoV
Lelaki itu mengangguk, memberikan waktu bagi anaknya untuk lebih dekat dengan Steve. Berat rasanya namun ia harus terbiasa. Mungkin, tidak lama lagi juga.....
Tidak. Bahkan dirinya dengan Rod, suami July sudah sepakat akan merahasialan hal ini dulu. Al masih terlalu kecil bagi mereka untuk menerima semuanya sekaligus.
Jadi untuk sementara, mereka menyerahkan semua urusan pada anak semata wayang mereka, Steve untuk mendekati Al perlahan-lahan.
Untuk Steve sendiri, lelaki berbadan tegap itu malah tersenyum mengejek pada Al yang memandangnya nyalang layaknya kucing liar kini.
“Daddy huh? Kamu kira umurmu itu berapa?” ejek Steve sambil sedikit mengacak rambut Al yang segera disingkirkan oleh lelaki yang jauh lebih pendek darinya itu.
“Bukan urusanmu! Dasar munafik! Aku akan bilang pada Daddy lain kali bahwa kau ini orang bermuka dua!” jerit Al tidak terima.
“Daddy, Daddy, Daddy. Kamu anak Daddy ya? Ah.... Jika kau terus bertingkah begini tidak salah jika aku menganggapmu bocah berumur 5 tahun.” Masih belum puas, lelaki itu masih saja senang mengejek Al.
Wajah Al memerah, dengan kesal ia hentakan kakinya untuk memasuki area sekolah tanpa memedulikan Steve yang mengekor dibelakangnya.
Untuk sementara Al hanya diam saja saat Steve malah merapatkan dirinya di samping Al. Namun, setelah melihat reaksi pandangan orang lain terhadapnya, dengan kesal ia hentakan kakinya ke lantai dan memandang garang wajah Steve yang seolah tidak bersalah.
“Berhenti mengikutiku dasar Alpha sombong bermuka dua!” umpat Al kesal. Matanya memandang kesal Steve, menyiratkan kobaran kebencian yang besar di sana.
Dia masih marah setelah waktu itu diperlakukan seenaknya oleh Steve. Dia juga dengan menyebalkan berani menghina Fian di depannya. Membuatnya secara tidak langsung masuk ke dalam daftar orang yang paling dihindari oleh Al.
Steve mendengus. “Kamu lupa kelas kita sama? Aku hanya berusaha masuk ke kelas,” elaknya santai. Dengan wajah yang masih memerah Al kembali melanjutkan perjalanannya walaupun beberapa kali dia harus mendengus kesal karena Steve malah terlihat sengaja berdampingan dengannya sekedar untuk melihat wajah marah Al.
Seharusnya hari ini dia mendapat teman baru! Kenapa paginya malah diganggu mahluk paling biadab di dataran ini sih?
*****
“Kamu kesepian Daddy Boy?” tanya Steve begitu mendapati Al tidak bergerak dari bangkunya. Sejak pagi pun, anak itu memang terlihat gelisah dan sulit berbaur dengan anak yang lain. Mungkin karena sejak awal ia hanya mampu berteman dengan Fian seorang.
Ini waktunya makan siang, dan Steve menyempatkan dirinya untuk menegok pada Al sebelum pergi ke kantin bersama teman-temannya.
Tidak seperti bisanya, Al malah diam dan sibuk memandang kosong bekal yang dibuat Gena khusus untuknya. Al biasa memakan bekal itu bersama Fian, dan ia baru sadar bahwa temannya itu sudah tidak bersamanya lagi sekarang.
Sejak pagi juga, entah kenapa janji yang dibuat Al belum bisa terlaksana juga. Mencari teman di sekolah ini ternyata lebih sulit dibandingkan saat ia belajar di rumah.
Masa Al akan selalu sendiri sampai sekolah selesai? Lebih baik dia homeschooling lagi saja jika begini!
Al terkejut saat Steve dengan gemas malah menarik tangan kecil Al untuk mengikutinya. Kotak bekal milik Al juga disambarnya, menuntunnya melewati koridor tempat para murid memandangnya takut.
Steve memiliki pengaruh sebesar itu disekokah ini?
Al bingung saat Steve malah membawanya ke kantin dan menoleh kesana-kemari untuk mencari sesuatu. Pandangannya kini tertuju pada Carlos dan teman Steve lain yang sedang melambai untuk memberitahu posisi mereka.
“Duduk.”
Seperti anak anjing yang patuh, Al diam saja saat dirinya malah dibawa duduk bersama para Alpha menyebalkan yang sempat mengejeknya dulu. Bekal itu juga disimpan di depan Al, sementara Steve memanggil penjaga kantin untuk memesan makanannya sendiri. Teman Steve yang lain masih terlalu sibuk untuk memperhatikan tingkah keduanya. Sehingga belum ada satu pun dari mereka yang bicara selama itu.
“Makanlah, kamu terlihat begitu menyedihkan sendirian di kelas hanya menatap bekal itu. Paman bisa memarahiku jika sampai membiarkanmu mati kelaparan di sekolah.”
Al masih diam. Namun tidak lama kemudian air mata malah turun di kedua pipi putihnya yang sontak membuat kumpulan Alpha itu sedikit merasa bersalah.
“Hei, kau tidak perlu terharu hanya karena-”
“Apa kamu akan mengejekku lagi di sini hah? Aku sudah cukup sedih sekarang dan kau malah semakin mengejekku. Seharusnya tadi kamu-”
Grep
Semua mata membola melihat Steve, seorang Alpha paling menyebalkan seantero sekolah memeluk Al yang notabenenya seorang Omega kelas atas langka di sekolah ini.
Apa mereka telah dijodohkan oleh Pemerintah? Itu yang ada dipikiran tiap orang yang menyaksikan kini.
“Aku tidak membawamu kesini untuk mengejekmu bodoh. Mulai sekarang kamilah temanmu dan kamu juga bukan Daddy Boy mengerti? Umm..... Maaf jika aku mengejekmu waktu itu."
Mata berair Al menatap Steve polos. Dia.... Lelaki itu baru saja meminta maaf kan? Mereka mau jadi teman Al katanya?
“Umm.... Ya sudahlah maafkan kami juga. Kami sungguh tidak tahu bahwa kamu seorang anak bungsu keluarga Tritas yang terkenal itu. Memiliki satu Omega di kelompok ini kupikir bukan masalah. Kami bisa melindungimu dari penganggu lain.” Carlos ikut menimpali ketika dia telah selesai mencerna apa yang tengah terjadi saat ini. Ia merasa ngeri melihat tatapan intimidasi Steve yang ditunjukan pada mereka semua.
“Jadi untuk sekarang berhentilah menangis. Ka.u membuat kami terlihat semakin jahat di sini,” sambung Steve lagi dengan suara lembut. Tangis Al mulai berhenti seiring waktu. Dia baru saja sadar bahwa dia telah menunjukan sifat cengengnya di sekolah. Padahal selama ini, dia mencoba untuk terus menahannya.
“Sekarang makan bekalmu. Bibi bisa memukulku jika kau masih tidak mau makan,” ucap Steve lagi. Tangannya bergerak untuk membuka kotak bekal Al.
Semua orang memandang takjub isi dari kotak itu. Sepaket makanan berbau harum tersaji didepan mereka. Penampilannya pun terlihat menggiurkan, membuat mereka tanpa sadar tak berkedip saat melihat bekal Al.
Seumur hidup mereka memakan makanan enak, belum ada makanan yang bisa membuat mereka, sekumpulan Alpha tergiur sejauh ini.
Al merasa tidak enak jika harus memakannya sendirian ketika orang-orang melihat ke arah bekalnya dengan tatapan penasaran. Jadi dengan baik hati dia menyodorkan bekalnya ke tengah meja.
"Kalau mau, kita bisa memakannya bersama," tawar Al malu-malu. Dia masih belum terbiasa bermain dan makan bersama dengan Alpha lain selain yang dipilihkan keluarganya.
Dengan semangat mereka semua mengangguk setelah mendapat persetujuan dari pemikliknya, sebelum sebuah tangan dengan cepat mengambil kotak bekal itu dari atas meja.
“Makanan di kantin ini masih cukup enak. Ini bekal Al, kalian tidak berhak memakannya,” desis Steve tajam walaupun mulutnya sedang asik mengunyah isi bekal Al. yang lain memandang tidak percaya, kenapa Steve jadi semakin seenaknya sendiri?
“Kamu kejam Steve! Sekarang Al kan teman kami juga!” jerit mereka tidak terima, namun berakhir dengan mengalah saat Steve melempar tatapan ‘mengeluh-lagi-maka-kalian-akan-mati’.
Pemandangan itu sempat membuat Al bingung untuk sementara, sebelum tawa murni pecah dari bibirnya yang mungil, menarik perhatian semua orang untuk mengagumi suara manis itu.
“Berkunjunglah ke rumahku jika kalian ingin makan lebih banyak. Aku akan mengatakannya pada Mommy,” tawar Al yang dibalas sorakan kemenangan oleh mereka semua. Di mata Al, mereka semua hanya tampak seperti kumpulan anak kecil yang senang setelah dijanjikan permen oleh dirinya. Membuat Al tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lagi.
Mungkin mereka tidak seburuk yang Al kira, itulah yang lelaki manis itu pikirkan untuk sekarang.
To be continued