Bab 1: Aku Telah Menunggumu

1124 Kata
Seandainya aku tahu bagaimana nasibku akan berakhir dan siapa yang akan kutemui, aku tak akan pernah menginjakkan kaki di rumah Keluarga Prayoga malam itu. *** "Tuan Prayoga sedang menunggumu." Seorang pelayan, yang belum pernah kutemui sebelumnya, membuka pintu vila. Dia menatapku dan dengan sopan tersenyum, "Tolong ikuti aku." Cakra Prayoga, tunanganku, dan keluarganya memiliki rumah besar di Jakarta Selatan, hanya empat puluh menit dari Jakarta Barat. Cakra dan aku sama-sama mahasiswa tahun kedua di Universitas Binus, dan karena rumahnya tidak terlalu jauh dari universitas kami, aku terkadang mampir untuk meluangkan waktu bersamanya. Sebelumnya, penjaga di gerbang membiarkanku masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mungkin karena semua orang tahu bahwa aku selalu diterima di rumah tunanganku. Namun, saat langkah kakiku bergema di lorong rumah, kata-kata peringatan dari sahabatku Ajeng terngiang di kepalaku. Meskipun aku mencoba untuk mengabaikannya, hal itu terus muncul kembali. 'Aku menemukan tunanganmu bercinta dengan wanita lain di tempat parkir restoran bintang lima kemarin.' Kata-kata Ajeng terdengar berulang kali seperti suara kaset rusak, dan aku menggigil. Cakra bukan tipe orang yang tidak setia seperti yang Ajeng katakan, 'kan? Tidak, tak mungkin dia begitu. Bahkan denganku, dia tidak akan bertindak lebih jauh dari sekedar ciuman atau pelukan hangat. Dia adalah seorang pria yang sangat sejati dan tidak menggoda wanita lain saat dia berada di sekitar mereka, termasuk saudara perempuanku Belinda, yang tampaknya membuat setiap pria tertarik. Dia cantik, seksi, dan dewasa. Hanya Cakra yang berbeda. Dia mengatakan bahwa dia menyukai kepribadianku yang baik dan polos, dan bahwa kami diciptakan untuk satu sama lain. Cakra begitu istimewa bagiku dan dia selalu mengatakan bahwa aku sempurna baginya. Aku membayangkan hidup yang langgeng dan bahagia bersamanya, itulah sebabnya aku baru saja meyakinkan keluargaku untuk berinvestasi dalam bisnis barunya Cakra. Aku sungguh ingin mendukungnya mengingat betapa keras usaha dia mengerjakannya, dan Cakra bahkan mengatakan bahwa dia ingin membangun perusahaan yang bisa dia wariskan kepada calon anak-anak kami suatu hari nanti. Aku suka bagaimana dia merencanakan masa depan kami, tetapi jika Ajeng memang mengatakan yang sebenarnya ... Aku menepis kata-katanya keluar dari pikiranku saat aku mengikuti pelayannya. Tak ada alasan bagiku untuk percaya bahwa Cakra tak akan setia kepadaku, dan aku tak ingin hal negatif itu merusak momen ini. Aku mengirimkan pesan untuk memberitahunya bahwa aku akan pergi hari ini untuk jalan-jalan sebelum pulang ke rumah untuk akhir pekan karena aku ingin mengejutkannya dengan kabar baik, investasi ayahku Wakil Presdir Investasi telah merestui persetujuan awal untuk mendanai bisnis baru Cakra! Aku membawa dokumen di tas aku dan ingin memulai akhir pekannya dengan benar. Dia telah bekerja sangat keras akhir-akhir ini, dia pantas mendapatkan ini dan bahkan lebih. Cakra tidak membalas pesanku tentang kedatanganku, tetapi tampaknya penjaga dan pelayan sama-sama tahu bahwa dia mengharapkan kehadiranku. Saat pelayan itu membawaku melewati lorong-lorong yang panjang, aku menyadari betapa membingungkannya vila itu meskipun aku telah beberapa kali berada di sini. Aku selalu merasa bahwa itu mengingatkanku pada museum seni rupa dengan lorong-lorongnya yang luas, tiang-tiang marmernya, dan pahatan patung dewa dan dewi terkenalnya. Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah Cakra adalah satu-satunya dari keluarganya yang tinggal di rumah ini. Ini tampak terlalu besar untuk ditinggali oleh hanya satu orang. Namun, aku tak ingin mengungkitnya. Aku pernah bertanya kepada Cakra tentang orang tuanya, tetapi dia mengatakan bahwa dia tak rukun dengan mereka. Sejak itu, aku menghindari topik tersebut. Aku berjalan dengan pelayan menaiki tangga kayu mahoni yang besar dan gelap, mendengar tapak sepatu kami bergema di tangga kayu keras di sekitar kami. Tiba-tiba, begitu kami berbelok melalui gapura lain, aku merasa ada yang tak beres. Ini bukan sisi yang biasa kukenali dengan dinding abu-abu gelap dan lis dinding hitam saat aku mengunjungi Cakra. Aku biasanya diajak ke sisi barat, tetapi kini aku dibawa ke sisi timur, bagian dari mansion yang pernah Cakra katakan berulang kali kepadaku untuk diabaikan saja. Analogiku akan museum seni sangat tepat, karena di sisi ini dindingnya penuh dengan karya seni romantis yang menggambarkan pasangan yang terjalin dengan cara yang hanya aku bisa bayangkan dengan malu-malu. Namun, mereka sedikit lebih ... vulgar daripada yang bisa membuatku nyaman. Saat kami berjalan semakin jauh menyusuri lorong, dan jendela-jendela beralih jadi tempat lilin dinding yang kusam, aku merasa sedikit gelisah. Aku menelan ludah dan mengintip ke arah pelayan dengan senyum sopan, "Bukan bermaksud kasar, tapi apakah kamu yakin dia berada di sisi ini?" "Ya, Tuan Prayoga menunggumu di kamar di ujung koridor." Dia begitu yakin sehingga aku memercayainya lebih dari perasaanku sendiri. Bagaimanapun, ini adalah rumah Cakra, dia bebas memilih kamar mana yang ingin dia gunakan. Kami mencapai pintu kayu gelap yang berbeda dari yang lain di rumah. Pelayan itu mundur selangkah dan meninggalkanku sendirian, permisi dengan membungkuk lembut. Meskipun kami telah berkencan untuk sementara waktu, tidak sering bagiku untuk datang ke sini pada larut malam. Entah kenapa, aku sedikit gugup, tetapi aku mengatakan pada diri sendiri bahwa kegugupanku tidak beralasan. Aku akan meluangkan waktu bersama Cakra, memberinya kabar baik, dan pulang setelahnya seperti biasa. Aku memutar pegangan kuningan mengkilap dan membuka pintu. Ruangan itu remang-remang dan memiliki aroma vanila dan lilin rempah yang kuat. Aku memicingkan mata dan menunggu untuk menyesuaikan diri dengan ruangannya yang gelap, bertanya-tanya apa yang sedang direncanakan Cakra. Apakah ini sebabnya dia tidak membalas pesanku? Karena dia punya kejutan untukku? Ketika mataku menjadi terbiasa dengan segalanya, aku terpana dengan apa yang kulihat. Ini bukan seperti kejutan yang ada dalam benakku. Kertas dindingnya berwarna hitam matte dengan fleur-de-lis timbul, dan ada 'X' besar, dari kayu, berwarna merah tua dengan bantalan kulit hitam yang bersandar di dinding yang menarik perhatianku. Tatapanku mengembara ke perabotan mewah dengan perangkat keras logam dan pelapis kulit. Dua jenis cambuk berbagai warna merah dan hitam tergantung di pasak rak mahoni yang dibuat khusus bersama dengan berbagai jenis dayung, palang, pengekang, dan banyak lagi. Ada tali nilon hitam terbungkus lembut yang tergantung di dinding jauh, membingkai karya seni klasik dua kekasih, siap untuk mengikat seseorang. Tak ada apapun mengenai ruangan ini yang mencerminkan sosok tunanganku. Barang-barang ini menyerupai hal-hal yang hanya kudengar melalui mulut Ajeng, dan kulihat di ponselnya secara rahasia. Wajahku mulai terbakar dan jantungku mulai berpacu. Aku harus pergi dari sini. Sensasi menggelegak yang meresahkan naik melalui perutku dan membuatku ingin lari jauh. Ini bukan hal yang pantas untuk dilihat oleh mataku. Tiba-tiba, jantungku berdebar kencang di telingaku saat menyadari seseorang melirik tubuhku, mengamati dan mencatat setiap napasku dan gerakanku yang paling lemah, mencapku. Keringat berkilauan di kulitku dan mengalir di punggungku saat napasku semakin terengah. Ruangan terasa seperti berputar, dan aku tahu aku tak sendirian. Namun rasanya bukan tunanganku yang berada di sini. Sosok itu terasa lebih gelap, lebih menakutkan. Seperti predator, mengintai, dan menunggu untuk menerkam mangsanya. "Kemari," suara menggeram yang dalam dan gelap tiba-tiba membelai telingaku, membuatku melompat dengan mencicit saat perintah yang rendah dan padat itu jatuh ke dalam keheningan, "Aku telah menunggumu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN