Bab 3

1059 Kata
“Untunglah hanya mimpi.” Airin terbangun dari tidurnya dan memutuskan untuk duduk dipinggir kasur. Jantungnya berpacu. Kedua matanya menatap jam yang terpsang di dinding. “Sudah tengah malam kenapa Mas Tendi belum kasih kabar?” Hanya itu yang ia pikirkan saat ini, ditambah mimpi yang tadi di alaminya berhubungan dengan Tendi. Di mimpinya suaminya meninggal dan ia menangis sangat histeris. Tapi itu hanya mimpi, ia yakin Tendi baik-baik saja di sana. Gelas di mejanya kosong. Ia keluar dari kamar dan berjalan ke dapur hendak mengisi gelanya. “Kamu belum tidur Rin?” Airin terlonjak dan memutar badan. Jantungnya berdebar karena kaget. Endang berdiri di ambang pintu dapur mengenakan daster panjang sampai mata kaki dengan muka setengah mengantuk. “Belum bu, Airin mimpi buruk. Masa Airin mimpi Mas Tendi meninggal.” “Mas Tendi pasti baik-baik saja ya kan Bu?” Pasti. Airin sangat yakin suaminya baik-baik saja. Ini hanya bunga tidur yang kebetulan lewat di mimpinya. “Pasti. Tendi akan selalu baik-baik saja.” Endang pun mendekat kepada Airin dan meneguk segelas air putih. “Kamu mau Ibu temani? Tenang saja Ayah tidak akan cari Ibu. Dia sudah tidur dengan nyenyak.” Airin mengangguk. Dan mereka berdua berjalan bersama memasuki kamar Airin. Endang tidak mau menantunya terjaga semalaman, jika tidak tidur Airin akan sakit dan bisa membuatnya cemas. Airin membaringkan tubuhnya bersama Endang yang tidur di sampingnya. Walaupun ia sudah yakin Tendi baik-baik saja entah kenapa hatinya masih merasa gelisah. Ia harap semua yang ia rasakan saat ini tidak ada hubungannya dengan Tendi. “Tendi belum kasih kabar juga Rin?” Airin menggelengkan kepalanya. Sarapan kali ini hanya roti panggang dan segelas s**u. Ini diakibatkan karena mertuanya kesiangan dan membuat seluruh penghuni rumah telat bangun. “Lagi sibuk Bu. Paling sore Tendi kasih kabarnya. Maklum dia kan ke Medan buat urusan kantor.” Bakti menyela pembicaraan Istri dan menantunya kemudian melanjutkan kegiatan memakan roti panggang ditemani satu buah koran yang ada di atas meja. “Benar kan kata Ibu. Untung kamu nggak ikut Rin. Kamu nggak bakal dianggap sama Tendi dia malah akan sibuk dengan dunianya dan kamu mati karena bosan.” “Dulu, Ayah kamu juga kayak gitu. Makanya Ibu selalu nolak. Males banget sendirian di hotel. Mendingan di rumah sendiri, bisa bersih-bersih, gossip dengan tetangga.” Perkataan Endang merupakan pukulan telak untuk Bakti. Mengingat hal itu ia selalu merasa bersalah karena telah membuat istrinya mati kebosanan berhari-hari ia tinggalkan sendirian di hotel. Mau bagaimana lagi masa ia ajak istrinya rapat. “Ayah berangkat dulu Bu,” ucap Bakti lantas berdiri diikuti oleh Endang. Airin hanya mengangguk singkat lalu meminum segelas s**u sampai habis. “Airin berangkat dulu ya Bu,” Airin keluar menyusul Endang, di luar sana ibu mertuanya sudah sendirian. Bakti sudah berangkat menuju kantor. Airin bekerja di divisi keuangan bersama dengan Revan, mengerjakan laporan keuangan dan melaporkan keuntungan atau kerugian yang dialami oleh perusahaan. Pekerjaan itu memang sangat monoton, tidak ada hal lain yang dapat kerjakannya akan tetapi ia sangat menyukai pekerjaan itu. Tendi juga sangat tahu bahwa ia benar-benar menikmati pekerjaannya. “Airin. Tolong kerjakan laporan keuangan yang tadi saya kirim ya. Besok saya akan rapat dan saya sangat butuh laporan itu,” ucap Pak Ahmad ketua divisi keuangan. “Baik Pak,” jawabnya kemudian di depannya Revan tersenyum sambil berbisik kata semangat yang membuat Airin tersenyum lebar. Hanya saja isi dalam otaknya masih memikirkan Tendi. Suaminya baik-baik saja kan? Tidak ada hal buruk yang menimpanya kan? Hah pikirannya tidak mau diajak fokus untuk bekerja. Airin tidak boleh seperti ini. Ia harus fokus bekerja. Dia memejamkan mata dan berusaha membuat otaknya lancar dalam mengerjakan laporan yang ada di laptopnya. Sepertinya ia bisa mengalihkan pikirannya dari Tendi sekarang dengan lancar tanpa hambatan kedua tangannya mengetikan angka demi angka. Mungkin langit tidak mengzinkannya untuk tidak berbuat masalah kali ini. Sekarang ia sangat lapar bahkan perutnya sangat keroncongan. Namun, ia tidak boleh seperti ini. Ia harus fokus! Walaupun Pak Ahmad sangat baik padanya ia tidak boleh mengecewakannya. Fokus, tetap fokus Airin! Sayangnya isi cacing yang ada di dalam perutnya tidak bisa diajak bekerja sama. Ia mengambil dompet kecil di atas mejanya dan berjalan cepat menjauhi meja kerjanya. Revan yang ada di depannya kaget lantas berdiri. “Airin kamu mau ke mana?” “Ke warung depan!” Revan tersenyum lebar melihat tingkah Airin. Sahabatnya itu tidak bisa menahan lapar. Bahkan di saat wanita lain menahan lapar ketika tengah malam Airin tidak akan bisa melakukan hal itu ia tidak pernah memikirkan tentang berat badan, prinsipnya jika lapar maka ia harus makan tidak ada pantangan apa pun. “Padahal sebentar lagi gue akan ajak dia makan.” Warung depan kantornya berukuran kecil seperti warung pada umumnya. Barang yang dijual pun sama. Minuman dingin, nasi beserta lauk pauk dan tentunya ada mie. Hanya saja kali ini ia akan makan besar. Perutnya tidak kenyang jika hanya memakan mie atau roti. Telunjuknya dengan lincah menunjuk lauk pauk yang ada di dalam kaca. Bi Ana sang pemilik pun dengan gesit menyendok makanan yang diinginkan Airin. Daging ayam dan sambal yang ia pilih, tidak lupa kerupuk putih yang tergantung di sampingnya. Tempat makannya pun tepat di depan kaca yang menampilkan berbagai makanan pendamping nasi. “Bu Airin sendiri? Pak Revannya mana?” tanya Bi Ana sambil menyerahkan piring berisi makanan yang tadi ia pesan. “Saya kelaparan Bi, Revan masih ada di dalam.” “Kata siapa di dalam? Gue juga nggak mau kalah. Bi Rawon dan jangan lupa dicampur bumbu pecel ya.” Revan muncul di pintu warung mengikuti jejak Airin ia berlari ke bawah. Mana bisa ia sibuk di atas dengan angka-angka sedangkan Airin berada di bawah sedang menikmati makanannya. Ia tidak mau di diskriminasi seperti itu. Raut wajah Airin berubah sendu mendengar makanan yang di pesan Revan. Rawon dicampur bumbu pecel juga merupakan makanan kesukaan Tendi. Mengingat Tendi ia jadi teringat bahwa lelaki itu belum menghubunginya semenjak ia berangkat ke medan. Airin jadi tidak bersemangat untuk makan meskipun isi dalam perutnya kembali berbunyi. Tendi tidak selingkuh kan? Awas saja jika selingkuh laki-laki itu akan sangat menyesal! “Kenapa sil lo pesan makanan itu! Nggak bisa apa makan yang lain? Ayam atau kangkong kan bisa? Kenapa harus rawon?” protesnya dengan kedua mata melotot dan muka yang sudah memerah. Revan memandang Airin dengan tatapan aneh. Ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. “Lo lagi marahan kan sama Tendi?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN