"Baiklah, apa yang kamu inginkan?" tawar Adeen. Cara dia memperbaiki kesalahan.
“….”
Ayu masih diam. Tak bersuara. Pun tak bergerak sedikit pun dari posisinya. Entah dia sedang menangis atau bagaimana. Adeen tidak tahu. Dia terus menenggelamkan wajahnya.
Dilihatnya jam dinding. Sekilas saja. Pukul setengah dua belas siang. Delapan menit lagi kantin ini akan dipenuhi karyawan kelaparan. Sudah pasti mereka akan terheran-heran melihat interaksi seperti laki-laki yang berusaha membujuk pacarnya yang sedang ngambek. Adeen bergidik geli. Seumur-umur belum pernah ia menjatuhkan harga dirinya demi wanita.
“Hei! Sebentar lagi kantin akan penuh. Ayo kita bicara di ruangan ku saja.” Adeen inisiatif menarik pergelangan tangan Ayu. Namun apa yang terjadi? Ya! Ayu menepisnya. Membuat Adeen terbelalak.
Wah, ini perkara serius! Belum pernah Ayu merajuk seperti ini. Lebih gawat lagi kalau dia melapor pada Mama. Adeen harus melakukan sesuatu!
“Ehem! Kau tahu? Apa yang ku ucapkan tadi memang benar….”
Ayu berdecak. Kakinya menghentak. Adeen tak bisa menangkap bola matanya. Sebab sejak tadi gadis ini tak sudi menatap Adeen. Sudah jelas dia sangat marah.
“Tidak mudah menjadi wanita karir. Banyak hal yang harus kau buang demi menyandang sebutan itu. Waktu, keluarga, bahkan kesehatan mu sendiri.” Adeen melanjutkan. Mencoba memberi pemahaman. Dan apa yang dikatakan memang benar seperti itu. Banyak kejadian negatif yang di latar belakangi oleh istri yang lebih sukses dari suami.
Perselingkuhan. Judi online. Penganiayaan. Astaga, harga diri lelaki itu tinggi. Dan jahatnya mereka tak ingin dikalahkan oleh wanita. Termasuk Adeen.
“Jika kau ingin jadi wanita karir. Kau harus siap dengan resiko itu. Kelak, mungkin saja anak mu yang masih balita lebih akrab dengan babysitter nya ketimbang Ibunya. Menyakitkan bukan? Itu sebabnya aku mengatakan hal itu. Aku ingin kau sadar, wanita karir juga punya sisi lemah. Tak serta merta selalu terlihat keren.”
“Sebenarnya aku juga tidak setuju dengan gagasan wanita karir. Melihat seorang wanita bekerja sampai malam membuat d**a ku sesak. Percayalah pada ku. Biar aku yang akan memenuhi kewajiban ku sebagai pria.”
Sungguh! Dengan kalimat bijaksana itu Adeen merasa terbang ke langit. Satu dari banyaknya kelemahan Adeen. Kelebihan kepercayaan diri sampai membuatnya merasa dialah yang paling keren sejagat raya. Tak tau saja dia, wanita di depannya masih bersikap acuh lalu melayangkan kata menusuk seperti ini,
“Tapi… Mas kan ndak cinta aku.”
Oh benar juga! Tak ada yang bisa Adeen lakukan selain melongo.
“Kemarin aja langsung minta cerai.”
“I-iya sih.” Adeen pun mengakui.
“Kalau aku ndak jadi wanita karir. Terus siapa yang tak andelin untuk bertahan, Mas?”
“I-itu. a-aku bisa memberi mu naf—“
“Ujian janda itu berat Mas. Kalau ndak punya kedudukan bakal dipandang sebelah mata,” Ayu menjelaskan.
Adeen bungkam. Faktanya memang begitu. Tidak jauh-jauh, saat ini Adeen pun menganggap remeh Ayu. Itu pun statusnya masih gadis. Apalagi kalau sudah janda?
Tck! Lagi-lagi satu kosong. Adeen tak bisa membalas perkataan Ayu. Ia kalah telak!
****
Dua mata coklat terang itu terus menatap. Bulu mata lentik melengkung turut menutut jawaban atas ungkapan Ayu barusan.
“Ujian janda itu berat Mas. Kalau ndak punya kedudukan bakal dipandang sebelah mata.”
Adeen tampak risau. Bingung menjawab apa. Matanya kesana kemari. Menghindari kontak langsung dengan Ayu. Hingga waktu tak berpihak dan satu per satu karyawan datang. Jam istirahat telah datang. suasana semakin pelik.
Terdengar helaan nafas. Ayu berdiri. Menatap datar. Kekecewaannya masih ada. Dibanding berdebat dan disaksikan banyak orang. Lebih baik Ayu menyingkir. Begini-begini juga, Ayu masih peduli dengan nama baik Adeen. Tidak ada untungnya menjatuhkan orang.
“Aku mau pulang Mas. Tenang aja, aku ndak bakal ngasih tau mereka kalau aku istri mas. Biar mereka ngiranya istri Mas itu cantik, berpendidikan, ndak kayak aku yang norak. Kampungan. Oh ya, aku juga ndak bakal lapor sama Ibu. Lambe ku ndak seember itu kok.”
Tertampar? Sudah jelas! Adeen itu punya jiwa keadilan yang tinggi. Melihat ketidakadilan yang Ayu dapatkan karena keegoisannya sendiri, menyenggol prinsip hidupnya. Namun tak bisa dipungkiri kalau Adeen terus menolak kehadiran Ayu. Papa dan Mama percaya ini hanya masalah waktu. Tidak bagi Adeen. Kesan pertamanya buruk. Adeen adalah pendendam yang nyata. Sekali tidak suka, susah sekali membujuk hatinya agar lunak. Mungkin hanya keajaiban yang bisa membalikan.
Adeen masih ditempat. Banyak pasang mata menatap takzim. Pun sapaan ramah yang sering Adeen dengar sepanjang berjalan memasuki kantor. Ada pula yang kebingungan dengan hadirnya Adeen. Jarang sekali Adeen menyambangi tempat ini. Makan siangnya lebih sering di restoran mahal. Itu pun bersama kolega. Membuat Adeen menjadi pusat perhatian.
Namun si pusat perhatian ini justru terus menatap punggung kecil yang tengah berjalan melawan arus. Telanjang kaki. Lagi-lagi dia melepas sendalnya entah di mana. Tidak heran, setidaknya sudah dua kali Ayu melakukan hal sama di tempat umum.
“Selamat siang Pak?” sapa seseorang. Adeen menoleh. Melihatnya mengulurkan tangan. Sekedar ramah tamah. Adeen menyambutnya dan tersenyum. “Siang.”
Pria paruh baya yang beberapa kali Adeen lihat selama rapat internal ini berbicara. Adeen tak seberapa menyerap. Seperti biasa, mereka selalu menyanjung sepak terjang Adeen dan berbasa-basi. Untuk orang to the point seperti Adeen. Mereka cukup mengganggu. Sebagai pemimpin, Adeen harus sabar bukan?
“Terimakasih sudah menyempatkan waktu datang kemari. Ini benar-benar kejutan,” ungkapnya. Lalu berkat itu Adeen teringat satu hal. Petuah lama yang Mamanya sampaikan dulu.
“Adeen, kau tahu? Di dunia ini ada kata ajaib yang bisa menghilangkan semua masalah. Dengannya hidup mu bisa lebih tenang. Kau ingin tahu kata ajaib seperti apa itu?”
Adeen kecil berhenti dari sesenggukannya. Ia menyeka air mata. Lantas mengangguk antusias.
“Baiklah….” Arista mengubah posisi duduk. Mereka berhadapan. Satu tangan mungil itu digenggam. Hangat terasa. “Jawabannya adalah maaf dan terimakasih.” Adeen kecil masih kebingungan. Tercetak sekali di raut wajahnya.
“Maaf untuk kesalahan yang kau perbuat dan terimakasih untuk kebaikan yang kau dapat.”
“Tapi, Gilbart yang memulainya duluan. Dia tiba-tiba memukul ku.” Matanya kembali menggenang. Bibir mungilnya menukik ke bawah.
“Api tidak akan hidup tanpa penyebab. Mungkin saja Gilbart tersinggung dengan ucapan mu.” Adeen kecil menunduk. Menyadari kesalahan. Arista tersenyum simpul. Dia raup kedua pipi gembul putranya yang masih di kelas satu sekolah dasar. “Jadi besok temui Gilbart dan minta maaf, ya?”
“Hum.”
Butuh waktu dua menit untuk Adeen mengulas balik kenangan masa kecil. Tentang dua kata ajaib yang hampir Adeen lupakan. Kakinya melangkah. Paruh baya yang mengajaknya ngobrol berhenti mengucap. Dia melihat atasannya melenggang begitu saja. Matanya fokus ke depan. Seolah ingin menangkap tangkapan besar. Sekarang Adeen tahu harus melakukan apa.