Kertas kedelapan harus menerima perlakuan yang sama dengan tujuh lembar kertas sebelumnya. Di tangan seorang gadis dengan handuk yang melilit tubuhnya itu, kertas-kertas hvs hanya akan berakhir menjadi remukan berbentuk bulat tidak sempurna. Kata-kata yang ia tulis tidak pernah dirasa cukup untuk mengutarakan perasaannya. Padahal, hari ini adalah batas akhir menulis surat untuk seseorang yang ia kagumi. Mengapa harus melalui sebuah surat? Karena perasaan kagum tidak pernah cukup mendatangkan keberanian untuk menyapa orang yang dia kagumi itu.
"Kura-kura!"
Ia kembali meneriakkan nama binatang itu. Dinding-dinding kamar semakin tidak kuasa menahan tawa ketika mendengar teriakan cempreng sang nyonya kamar. Kura-kura adalah binatang yang hanya dan satu-satunya akan ia gunakan sebagai bentuk umpatan terhadap kekesalannya. Anjing telah terlalu banyak digunakan manusia lain untuk mengumpat, pikirnya.
"Kura-kura b*****t!"
Gadis itu sudah kehilangan ketekunan untuk benar-benar mengikuti perlombaan menulis surat. Bahkan, pena yang ia gunakan telah mendarat sempurna dalam tempat sampah yang terletak tidak jauh dari meja belajar.
"Let's see. Memang akan lebih baik kalau aku menjadi penerima surat."
Dengan kepercayaan diri cukup tinggi, gadis itu berpindah dari atas kasur menuju ke depan lemari pakaian. Di sana, telah tergantung seragam putih abu-abu.
Namanya, Sasli Mikaila Amalia. Orang-orang terdekat hanya akan menyapanya dengan sapaan Sas. Sementara itu, mereka yang mengenal sekadar nama akan menyapanya sebagai Sasli. Sas terkenal sebagai seorang gadis manis. Ia selalu berpakaian rapi dan sangat berkesan perempuan. Tetapi jauh dari itu, di saat-saat ia berada sendirian di dalam kamarnya, Sas bisa memiliki definisi tersendiri untuk kata perempuan.
"Demi kaki lamban kura-kura! Kenapa harus ada matematika hari ini?"
Umpatan kembali lolos dari mulut mungilnya. Sas tidak pernah menyukai pelajaran matematika. Bukan karena pelajaran itu sulit dipahami atau membutuhkan konsentrasi penuh ketika menghadapi deretan angka-angka. Nasib buruk matematika itu merupakan hasil dari cara mengajar para guru yang tidak sesuai dengan harapan Sas.
Sas tidak menyukai guru yang lebih senang membebani para siswa dengan bertumpuk-tumpuk pertanyaan daripada menjelaskan materi pelajaran hingga tidak mampu ditampung oleh papan tulis. Untuk siswa dengan kinerja otak sesuai takaran kebanyakan manusia lain, soal-soal hitungan matematika tidak pernah mengatasi kelemahan para siswa pada pelajaran tersebut. Mereka membutuhkan kesabaran para guru untuk menerangkan semua alur rumus.
Dengan kekesalan yang membuat kepalanya panas, Sas tetap bersiap seperti hari-hari lain ketika dia hendak pergi ke sekolah. Setelah selesai mengenakan seragam, memasukkan buku pelajaran ke dalam tas, menaburkan bedak tabur hingga merata di seluruh bagian wajahnya, mengikat rambut panjangnya, dan menyemprotkan pengharum tubuh di sekitar bagian lehernya, Sas bergegas menyentuh gagang pintu kamar tidur. Dia siap menghadapi orang-orang di sekitarnya.
Segelas teh panas, sepiring nasi goreng dengan beberapa potongan nugget, dan botol kecap asin tepat pada bagian kanan piring menyambut kedatangan Sas di meja makan.
"Pulang sekolah langsung pulang ke rumah, Sas. Jangan mampir ke toko buku. Lebih baik tabung uang kamu untuk beli baju." Sas menghafal dengan sangat baik petuah dari ibunya itu. Yaniar Jelita. Wanita berkepala empat yang berprofesi sebagai guru fisika di salah satu sekolah pertama negeri di kota ini juga menghafal dengan sangat baik keinginan langkah kaki anak gadis satu-satunya itu ketika telah mendapatkan uang bulanan.
Memberikan uang saku pada awal bulan merupakan kesepakatan antara Niar dengan sang suami, Jafar Ghufron. Jafar seorang pegawai negeri di institusi pemerintahan tingkat provinsi. Kehidupan sebagai pegawai negeri memang dijamin oleh negara. Bahkan, negara masih akan memberikan gaji hingga para pegawai negeri telah kembali ke tanah. Walaupun demikian, anak-anak mereka harus tetap mengerti cara mengatur keuangan sejak dini. Mereka harus bisa merasakan sulitnya mengendalikan pengeluaran untuk bertahan hingga akhir bulan. Jafar tidak segan membiarkan anak sulungnya, Zaki Arkara Pratama tidak mampu membeli segelas teh tawar di kantin sekolah ketika waktu istirahat tiba. Zaki yang memang boros telah menceritakan kesulitan yang ia hadapi, tetapi sebagai seorang ayah yang tegas, Jafar mengabaikan duka si sulung.
"Apa enaknya baca n****+? Buku-buku itu cuma ngebuat kamu dibual khayalan, Dek." Sas akan tetap memilih diam untuk menghadapi cemoohan Zaki. Sas lebih tertarik untuk mulai menambahkan bertetes-tertes kecap asin ke dalam sepiring nasi goreng di hadapannya.
Di dalam keluarganya, ibu dan kakak laki-lakinya itu tidak mengerti bagaimana Sas jatuh cinta ke dalam setiap kata-kata di dalam n****+. Seperti salah satu karya favoritnya yaitu n****+-n****+ dari Esti Kinasih. Sas dapat mencintai Ari sekaligus saudara kembarnya Ata hanya melalui ramuan kata-kata dari sang penulis.
Namun, ayah adalah satu-satunya anggota keluarga yang tidak pernah merendahkan hobi Sas. Itu pula yang menjadikan Jafar sebagai sosok kesayangan Sas di dalam keluarga sederhana mereka.
***
"Kalau ayah enggak bisa jemput, kamu naik ojek aja, ya." Sas mengangguk paham sembari mencium punggung tangan ayah.
Bagi Sas, waktu-waktu yang ia tempuh ketika ayah mengantarkan ke sekolah adalah waktu-waktu paling berharga di dalam hidupnya. Dia akan memeluk erat ayah dari jok belakang motor. Tidak peduli seberapa jauh dia mulai beranjak dewasa, saat berada di dekat ayah, Sas akan tetap menjadikan dirinya sebagai bocah perempuan yang sangat takut kehilangan sosok yang berperan sebagai tulang punggung keluarga itu.
Sas sangat mencintai ayahnya. Beliau adalah sosok yang tegas, tetapi tidak pernah berlaku kasar. Sas masih ingat ketika pertama kali dia memaksa ibu untuk memotong rambutnya hingga sebahu. Saat itu, Sas masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Jafar mengabaikan putrinya selama dua hari penuh. Tindakan yang sangat tidak disukai Jafar adalah apabila Sas dan Niar memilih gaya rambut pendek walaupun sebahu. Mengetahui kesalahannya, Sas juga tidak berani untuk mengeluarkan sepatah katapun di hadapan Jafar kala itu. Niarlah yang menjadi penengah di antara mereka. Sejak tragedi kemarahan Jafar dalam diamnya, Sas kapok memangkas rambut. Hingga sekarang, ia hanya akan merapikan ujung rambut pada setiap penghujung bulan agar tidak bercabang. Kemarahan ayah adalah ketakutan terbesar Sas.
Bagi Jafar, seorang wanita sudah seharusnya memelihara rambut mereka hingga terurai panjang. Panjang rambut itulah yang berperan sebagai pembeda di antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Hal selaras juga berlaku bagi Zaki. Jafar tidak akan pernah membiarkan anak sulungnya itu memanjangkan rambut. Menyerupai lawan jenis adalah hal yang tegas dilarang oleh agama, begitu pula paham yang dianut oleh Jafar.
Setelah mengantar kepergiaan ayah dengan lambaian tangan di depan gerbang sekolah, Sas segera memasuki lapangan sekolah. Akan selalu ada ritual rutin yang selalu dilakukan Sas sebelum dia memasuki kelas. Ia akan menepi dan mengarahkan langkah menuju bangku-bangku besi yang memang ditata rapi mengelilingi lapangan sekolah. Di sana, Sas akan selalu berpura-pura sibuk membetulkan tali sepatu hingga seseorang yang dia tunggu tiba. Biasanya, hanya akan menyisakan tujuh menit sebelum bel berbunyi, sosok yang ditunggu-tunggu Sas akan datang.
Seorang laki-laki dengan jaket hitam polos yang membalut tubuh atletisnya itu memasuki lapangan. Selanjutnya, Sas mulai berhitung hingga hitungan kedelapan sebelum beralih menggerakkan kakinya untuk berjalan mengikuti lelaki yang telah ia kagumi secara diam-diam semenjak kelas 10 itu. Sekarang, sebagai siswi tingkat akhir di SMA ini, Sas masih belum dapat berhenti dari kegilaannya tersebut. Tidak ada yang mengira, Sas bertopeng gadis lugu, pendiam, dan manis dapat menjelma sebagai seorang penguntit andal.
Dalam bertahun-tahun menjadi penggemar rahasia, tentu saja banyak hal yang telah diarsipkan Sas di dalam ingatannya dengan sangat baik. Muhammad Aidan. Satu-satunya lelaki yang ikut memutari hari-hari Sas selama di SMA. Aidan adalah lelaki pertama yang membuat Sas menyadari bahwa selalu ada perasaan yang dirasakan untuk kali pertama. Walaupun demikian, Sas juga menyadari apabila jatuh hati haruslah tetap tahu diri. Kesadaran itu pula yang menjadi satu-satunya alasan Sas betah menjadi seseorang yang tidak perlu untuk diketahui Aidan perihal eksistensinya. Sas sangat tahu diri, ada seseorang yang hanya perlu untuk dia kagumi tanpa melibatkan harapan-harapan untuk memiliki. Sas juga sangat tahu diri, dia tidak akan pernah bisa menjadi sosok yang diharapkan kejatuhan hatinya oleh Aidan.
Setelah mengikuti langkah Aidan, Sas akan bersiap melapangkan d**a. Seperti ritual yang masih saja dipertahankan Sas, begitu pula dengan Aidan. Bagian dari sekolah yang jarang dilalui oleh para warga sekolah karena kehadiran selokan yang tidak pernah bisa menghentikan kemunculan bau tidak sedap itu adalah hal yang memudahkan Aidan dalam melakukan rutinitasnya. Sas sudah menghentikan langkahnya dan kini berpura-pura sibuk dengan novelnya ketika ia berhasil menjangkau kursi panjang yang berada di bawah tangga menuju koridor kelas 11. Sas akan melakukan kegiatan penuh kepura-puraan itu ketika melihat Aidan memperlambat langkah. Dari jarak yang dianggap aman oleh Sas, gadis itu bisa memperhatikan dengan sangat jelas gerak-gerik Aidan. Lelaki itu secara rutin dalam dua tahun terakhir menyelipkan selembar kertas berwarna hijau ke dalam salah satu loker yang tertempel sebuah stiker bergambarkan galaksi pada bagian sudut kanan atasnya. Dengan gerakan cepat, sebelum orang lain mengetahui tindakannya, Aidan akan melesat menuju ruang kelas.
Bersama sesak yang selalu saja mengencangkan laju detak jantung Sas, gadis itu beranjak dari tempat pengamatannya. Menuju ke arah yang sama, tempat Aidan menyelipkan kertas berwarna hijau. Semua mata kecuali milik Aidan akan tahu bahwa kertas itu mudah saja jatuh hanya dengan satu sentuhan jari tangan.
"Dasar ceroboh." Gumam Sas sembari menyelipkan seutuhnya kertas hijau itu hingga memasuki loker yang dituju.
***