SMA Harapan Bangsa sedang dihebohkan oleh pertandingan basket antara kelas 12 Ipa 1 dan 12 Ipa 2, hampir semua siswi meneriaki nama yang menjadi most wanted sekolah ini yaitu Samudera Tirta Alardo.
"Sayang semangattttttt," teriak Ara yang membuat telinga Oceana hampir pecah, selalu seperti ini dia akan heboh sendiri kalau sang pacar sedang bertanding, Oceana dan Ara sedang duduk di pinggir lapangan menyaksikan pertandingan sengit itu.
Bukan rahasia umum lagi kalau 12 Ipa 1 dan 12 Ipa 2 adalah saingan dalam hal apapun itu, bahkan dalam hal lomba kebersihan kelas pada saat 17 Agustusan mereka berebutan piala yang pada akhirnya dimenangkan oleh 12 Ipa2.
"Cowok gue tuh kelihatan tambah cool banget waktu dribble basket, gimana cewek-cewek gak pada tergila-gila sama pemandangan di depan sana coba."
Oceana menghela napas. "Risiko punya cowok famous ya gitu, Ra."
Ara menganggukkan kepalanya dan tetap menatap ke depan, pertandingannya sudah berakhir dan tentu saja I2 Ipa1 lebih unggul, 10-3.
Samudera menghampiri kedua gadis itu, Oceana memberikannya air mineral dan Ara me-lap dengan handuk kecil keringat di dahi Samudera.
"Daebak, kamu selalu the best sayang."
Samudera tersenyum simpul tetap meneguk air mineral yang hampir habis itu.
"Sayang, nanti kamu pulang sendiri gak apa-apa 'kan?"
Ara menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"
"Bawa motor soalnya, 'kan gak mungkin bonceng bertiga, mobilnya dipake Mama."
Oceana melirik Samudera. "Yaudah lo pulang bareng Ara aja, nanti juga gue bisa naik kendaraan umum."
"Lo pulang sama gue, Na."
Ara bangkit dari tempat duduknya kemudian berlari dengan perasaan kesal, tanpa menggubris panggilan dari Oceana dan Samudera.
"Kejar Ara sana, dia ngambek gara-gara lo!"
Bukannya menanggapi ucapan Oceana, Samudera justru merangkul Oceana. "Jauh-jauh lo dari gue, bau keringat juga!"
"Biasanya juga keringat gue yang lo minum."
"Jijik!"
Samudera menarik tangan Oceana bangkit dari tempat duduknya dan merangkulnya sepanjang koridor.
"Ara atau Oceana sih pacarnya Sam?"
"Setahu gue sih Oceana sahabatnya Sam."
"Ara cemburu gak ya Sam lengket banget sama Oceana."
"Gak kali, 'kan Ara sama Oceana juga sahabatan."
Oceana risih ditatap seperti itu oleh orang-orang sepanjang koridor apalagi sambil mendengar bisik-bisikan setan. "Sam, lepas dong rangkulan lo, gak enak tau jadi pusat perhatian."
"Biar deh, cuek bebek aja. Lo 'kan sahabat gue wajar lah kalau gue rangkul dan peluk lo."
Sesampainya di kantin, Oceana mencari tempat duduk dan Samudera yang pesan.
Oceana : Ra, kantin sini. Ngambeknya udah kali, gue ngalah deh. Lo yang pulang bareng Sam nanti
Ara : gsh, gw bs plg naik grb
Oceana menghembuskan napasnya pelan, kalau balasan Ara sudah hemat huruf gini tandanya ia beneran ngambek. Baru saja Oceana mau membalas w******p, tiba-tiba Samudera datang dengan nampan berisi penuh makanan yang membuat Oceana tergoda.
"Ih lo kok peka, tau aja gue lagi laper banget. Ah bestfriend banget lo. Jadi makin sayang."
"Iyalah, sejak kapan gue pelit sama lo, apalagi perut lo 'kan karet."
Oceana mulai mengaduk-aduk siomay yang super pedas itu. "Sam, nanti lo pulang bareng Ara aja, tadi gue udah minta Ayah jemput kok."
"Na—"
"Benar, Sam. Dan Ayah bisa kok jemput."
Bohong, dia hanya ingin Samudera pulang bersama Ara agar gadis itu tidak ngambek lagi, lagipula Oceana tidak ingin dianggap orang ketiga di antara hubungan mereka.
"Yaudah."
♥ ♥ ♥
Hujan semakin deras mengguyur kota Jakarta, Oceana masih setia duduk di halte bus depan sekolahnya menunggu ada kendaraan umum lewat tapi nyatanya hingga kini tidak ada satupun bus atau taksi yang lewat, sekalipun ada sudah full, karena kalau sore memang kendaraan umum jarang lewat di sekitar sini.
Baterai ponsel Oceana habis, dia tidak bisa menghubungi orangtuanya atau kendaraan online. Beberapa kali Oceana menghela napas, jujur ia takut. Hujan semakin deras, sesekali petir menyapa telinganya dan langit mulai gelap.
"Gue takut," lirih Oceana, berharap ada keajaiban.
Sementara di rumah, Samudera gelisah karena sedari tadi ponselnya Oceana tidak aktif, akhirnya ia menghubungi Bundanya Oceana.
"Halo, Tan. Oceananya ada?"
"Gak tahu, Om sama Tante lagi ada acara di luar."
"Oh gitu ya, Tan."
"Coba kamu hubungi Oceana, di sini ramai banget. Tante tutup ya."
"Iya, Tan."
Samudera kembali menghubungi nomornya Oceana, tetap operator yang menjawab.
Samudera keluar dari kamarnya dan berlari ke lantai bawah terlihat adiknya sedang menonton tv.
"Rel, di garasi ada mobil gak?"
Aurel menggeleng. "Kan Papa belum pulang terus mobil masih dibawa sama Mama."
Samudera meraih kunci motornya di atas meja.
"Bang, hujan gede di luar. Jangan nekat."
"Ada mantel."
"Gak mempan."
"Bodo."
Mengabaikan teriakan sang adik, Samudera mengambil mantel di atas kamarnya kemudian berjalan ke garasi, walau dia tahu mantel tak mampu melindungi tubuhnya dari derasnya air yang turun, dia tetap nekat memecahkan jalanana kota Jakarta.
Langit sudah mulai gelap, Samudera menancap gasnya dengan kecepatan tinggi menuju area sekolah, berharap sahabatnya itu baik-baik saja.
Samudera berhenti di depan halte dan melihat Oceana yang sedang meringkuk kedinginan sambil menangis, dia turun dari motornya. "Oceana...,"
Oceana menatap Samudera. "Sam...,"
Samudera duduk di sebelah Oceana, dia juga merasakan dingin yang menusuk ke tulang.
Samudera menghapus air mata di pipi Oceana. "Gue gak suka lo bohong kayak tadi."
"Sam, lo gak perlu ke sini. Lihat badan lo basah semua."
"Gue gak bakal tenang kalau sahabat gue belum ada kabarnya. Gue cowok, Na. Tahan dingin."
"Maafin gue, Sam."
Samudera mengangguk. "Gue mau peluk lo, tapi gue juga basah. Yang ada seragam lo ikut basah nanti."
Tanpa aba-aba, Oceana langsung memeluk Samudera. "Gak apa-apa. Kalau pelukan gini jadi sedikit hangat."
"Lain kali gak boleh bohong lagi, gue gak mau kejadian ini keulang dua kali."
Oceana menatap Samudera. "Ah sahabat terbaik banget."
"Bukan cuma terbaik, Na. Tapi terganteng, terpintar, ter-famous dan tesegala-galanya."
Oceana menatap jengah. "Dan terpercaya diri."
Samudera terkekeh geli. "Gue jatuh cinta sama Ara tapi justru lo yang pengin banget gue lindungi. Kenapa ya?"
"Iya lah, karena gue cantik."
"Cantikkan Ara lah, Ara itu badannya berisi, tinggi, gak kayak lo pendek, kerempeng lagi."
Oceana melepaskan pelukannya dan menjauh. "Yaudah."
"Becanda astaga, lo gak kurus dan gak pendek-pendek amat, sayang." Samudera menoel hidung Oceana.
Oceana tetap memasang wajah cemberut.
"Marah ya?"
"Gak."
"Mau apa biar gak ngambek lagi?"
Mata Oceana berbinar. Kalau dibujuk seperti ini siapa juga tidak akan menolak. "Traktir makan, gue laper banget tapi di restoran Jepang."
"Kapan?"
"Sekaranglah, masa tahun depan!"
"Hujan, Oceana sayang."
"Tunggu hujan reda, Samudera sayang."
"Cari pacar dong Na, biar gak malakin gue terus."
"Cariin yang seganteng Alex Lange."
"Di samping lo ini lebih ganteng dari Alex Lange."
"Boleh muntah?"
"Boleh, asal gak dikira hamil anak gue aja."
"Edan!"
***