PART. 8

790 Kata
Rara pulang dari sekolah, ia sudah mampir ke rumah Si Mbah, untuk menyerahkan boks, dan juga uang hasil penjualan hari ini. Semuanya ludes terjual. Rara senang sekali. Seperti biasa, ia menerima imbalan dari Mbah. Mbah marah kalau Rara menolak. Beliau mengancam tidak akan mau menerima bantuan Rara lagi. Uangnya Rara tabung, dan biasanya ia belikan kebutuhan sekolah, dan pakaian untuk cucu-cucu Si Mbah yang sudah yatim piatu. Rara memarkir motornya di dekat gerobak bakaran. Ia memesan sepuluh tusuk bakaran. Lalu ia menuju gerobak es Thai tea. Ia membeli rasa original kesukaannya. "Sendirian, Ra?" "Eh, Koko Rama, sendirian juga, Ko?" "Iya. Kamu mau langsung pulang?" "Tidak, itu Rara pesan bakaran. Rara harus menghabiskan bakaran, dan esnya dulu baru pulang. Masalahnya, es barang terlarang buat Rara. Bisa diomeli Nini semalaman kalau ketahuan minum es." "Aku dengar Nini opname di rumah sakit?" "Eh, iya. Tak ada Nini, Amma yang akan menggantikan mengomeli Rara." Rara merogoh uang dari saku seragamnya untuk membayar es Thai teanya. "Eh, tidak usah, biar Koko yang bayar." "Benar, Ko?" "Iya." "Terima kasih ya, Ko." "Sama-sama." "Koko mau nongkrong sama Rara, tidak?" "Maaf ya, Koko tidak bisa ikut nongkrong. Ini esnya pesanan Mami, dan Papi." "Ooh, terima kasih ya, Ko. Rara ke sana dulu." "Iya. Semoga Nini lekas sembuh ya." "Aamiin, terima kasih, Ko." Rara kembali ke gerobak bakaran. "Rara!" "Eh, Paman Rahul." "Kamu ini, Ra. Yang lain dipanggil Kakak, Abang, Koko, kenapa aku dipanggil Paman?" Protes Rahul. Rara tertawa mendengar protes Rahul. "Rara juga tidak tahu kenapa. Eh, Paman Rahul sadar tidak sih, wajah Paman itu mirip yang main film Dilwale dengan Shah Rukh Khan. Siapa namanya, Varun ya kalau tidak salah?" "Alhamdulillah kalau aku seganteng itu." "Eh, pesanan Rara sudah jadi, ber ...." "Biar aku yang bayar, Ra." "Benar nih, Paman." "Iya." "Ih, terima kasih ya, Paman. Paman mau nongkrong sama Rara?" "Tidak, aku harus ke pasar, Ra." "Terima kasih ya, Paman. Rara duluan." "Iya." Rara duduk di tempat yang biasa ia duduki bersama Asila, dan Revan. Rara melayangkan tatapannya ke arah gerobak gado-gado. Terlintas dalam benaknya, saat ia menggoda Razzi di sana. Kesedihan yang sesaat sempat sirna, kini datang kembali di dalam hatinya. Rara menundukkan wajah, diaduk es Thai tea dengan sedotan. Di tatap bakaran di hadapannya. Diusap matanya dengan cepat, sebelum tetes air mata membasahi pipinya, begitu ia merasa ada air yang menggantung di pelupuk matanya. 'Ikhlas Ra, kamu harus ikhlas. Demi tawa, dan bahagia keluargamu. Pria bukan hanya Razzi saja. Banyak pria di sekelilingmu, cobalah alihkan perhatianmu pada mereka. Ya Allah. Aku mohon, kuatkan hatiku, kuatkan hatiku, kuatkan hatiku, aamiin.' Rara kembali mengusap matanya. Ia sudah memutuskan, untuk menyimpan rasa pedih ini sendirian. Ia sudah memutuskan, untuk berusaha sekuat tenaga menyingkirkan nama Razzi dari dalam hatinya. *** Tiga hari Cantika dirawat di rumah sakit, ia sudah boleh kembali pulang. Acara perayaan HUT Kemerdekaan sudah dimulai H-1. Jumat Sore perlombaan dimulai. Para Panitia berkumpul di lapangan sepak bola. Vanda duduk di bawah tenda, agar terhindar dari panas matahari. Sedang Rara berada di tengah lapangan, sibuk mengatur jalannya pertandingan. Suaranya terdengar paling nyaring, meski tidak memakai toa di tangannya. Vanda melirik Razzi yang duduk di sebelahnya. Tanggal pernikahan mereka belum ditentukan. Komunikasi mereka masih sebatas acara pertandingan. Tidak ada pembicaraan masalah pribadi di antara mereka. Vanda kembali melayangkan tatapannya ke tengah lapangan, di mana pertandingan sedang berlangsung. Sesungguhnya ia iri dengan Rara, bisa bebas melakukan apapun tanpa ada yang melarang, kecuali minum es tentunya. Sedang dirinya, tidak bisa terkena panas, dan debu, kulitnya akan terasa gatal. Tidak bisa kena hujan, dan angin malam, ia akan masuk angin. Rara tampak tertawa, dan bercanda riang dengan siapa saja. Seperti tidak ada kesedihan, dan tak ada beban di dalam hidupnya. Mata Razzi tidak bisa melepaskan tatapan dari Rara. Rara terlalu mempesona baginya. Razzi menundukkan wajah, ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Sudah mengambil keputusan untuk bersama Vanda, tapi hati, dan tatapannya belum bisa beralih dari Rara. Itu, karena Razzi merasakan, kalau Rara juga menyukainya. Rara terlihat bercanda riang dengan Rayen. Razzi tahu, Rayen menyukai Rara. Razzi merasa terbakar hatinya. Ia tak sanggup lagi diam, dan bertahan di sana. Melihat Rara begitu dekat dengan pria lain, hatinya terasa sakit. 'Ikhlas Razzi, kamu sudah memilih. Kamu sudah berjanji. Kamu sudah memutuskan. Ikhlas, berusahalah untuk melupakan Rara. Hhhh ... bagaimana aku bisa melupakannya, sedang dia begitu dekat, ada di sekitarku. Bagaimana aku bisa melupakannya, jika rasa ini sudah tumbuh, aku rawat, aku jaga, dari lima tahun lalu. Bagaimana aku bisa melupakannya, jika harapan itu sudah terlanjur besar di dalam hatiku. Ya Allah. Aku pasrah pada kehendakMU Aku pasrah ....' "Vanda, aku pulang sebentar ya, aku sakit perut." "Iya, Bang Razzi." "Assalamualaikum." "Walaikum salam." Razzi pergi meninggalkan Vanda. Ia tak sanggup lagi bertahan, dalam rasa sakit karena cemburu yang meluluh lantakkan perasaannya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN