Bayu mengedarkan pandangan melihat area penjemputan bandara sudah begitu padat, kepadatan itu susah membuat Bayu melihat ke depan sana, apakah kekasihnya itu sudah sampai atau belum, tapi sepertinya pesawat dari luar negeri itu sudah sampai karena banyak nya keluarga yang terlihat menyambut dengan pelukan, suara ponsel Bayu bergetar di saku jasnya, ia mengambil saku di dalam jasnya dan melihat nomor Jihan, seraya membuat Bayu tersenyum senang.
"Hallo, Sayang?" jawab Bayu.
"Kamu di mana, Honey?" tanya Jihan, mengedarkan pandangan di sekitar area penjemputan.
"Aku di area penjemputan, tapi di sini padat sekali, aku nggak melihatmu."
"Aku di dekat cafe, Honey, ayo kesini."
"Cafe mana?"
"Rainbow," jawab Jihan.
"Aku melihatmu." Bayu melambaikan tangannya, dengan perasaan membuncah, Bayu menghampiri wanita yang ia rindukan itu dan tanpa ba-bi-bu langsung menyosor memeluk kekasihnya, membuat Jihan tersenyum lega.
"I miss you, Honey," bisik Jihan.
"I miss you to, Sayang," jawab Bayu, merangkul pinggang kekasihnya dan membawanya ke mobil. Bayu membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Jihan masuk.
Mereka lalu meninggalkan area parkir penjemputan, padatnya penjemput membuat keduanya tertawa kecil.
"Apa bandara sepadat itu setiap hari? Aku baru tahu," kata Bayu.
Jihan tertawa kecil. "Mungkin sebagian menjemput kekasih atau keluarga mereka yang baru pulang dari rantauan. Sepertiku," jawab Jihan. "Kita mau langsung pulang?"
"Kamu mau kemana emangnya? Biar aku antar," kata Bayu.
"Kita makan siang dulu, ya, setelah itu kita ke rumahmu. Hem?" mendengar kata Jihan, membuat Bayu berpikir sejenak, dia tidak mungkin mengajak Jihan ke rumahnya ketika istrinya ada di sana. Bayu harus mencari alasan yang masuk akal, agar Jihan tidak curiga. Bayu belum siap saja mengatakannya sekarang, apalagi melihat senyum di wajah Jihan yang tidak pernah menjauh.
"Rumahku sedang dalam renovasi, Sayang, selama ini aku tinggal bareng Gavin," jawab Bayu. "Sudah hampir sebulan aku tinggal bareng Gavin." Dan, betapa bodohnya, ia membawa Gavin dalam masalahnya saat ini, bagaimana jika Jihan berganya pada Gavin? Sedangkan Bayu tidak pernah bertemu Gavin selama sebulan ini, karena Gavin yang bekerja di Jogja.
"Kamu tinggal sama Gavin? Aku pernah menelponnya seminggu yang lalu, tapi dia nggak bilang apa-apa," kata Jihan, membuat Bayu memutar bola matanya karena jawabannya kali ini salah. "Bisa berhenti sebentar?"
"Kenapa?" tanya Bayu.
"Berhenti saja," pintah Jihan, membuat Bayu menginjak rem dan memarkirkan mobil di bahu jalan tepat di bawah pohon rindang, jadi agak teduh.
"Apa kamu lupa? Aku tahu semuanya tentang kamu meski aku pergi, tapi kali ini aku merasa ada yang kamu sembunyiin dariku, Gavin mengatakan dia udah nggak bertemu dengan kamu selama sebulan karena dia harus bekerja di Jogja." Jihan memberi jeda beberapa detik, lalu melanjutkan. "Katakan padaku, ada apa? Apa ada yang terjadi selama aku pergi? Aku mohon, katakan saja, kenapa kamu nggak kepengen aku ke rumahmu? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyiin di rumah kamu? Atau, kamu menikah diam-diam tanpa sepengetahuanku?"
Mendengar hal itu, membuat Bayu tertegun, tak akan ada gunanya menyembunyikannya pada Jihan, karena Jihan terlalu mengenalnya sehingga tak ada cela buat Bayu berbohong.
"Katakan saja, aku akan berusaha menerima kebohongan sesakit apa pun itu," kata Jihan, dia memang sudah curiga pada Bayu, jika Jihan menelpon, Bayu selalu terdengar berbisik, seakan takut ketahuan.
Bayu menghela napas, ia tak tega. Namun, ia harus cerita. Bayu menatap Jihan penuh cinta berusaha menyalurkan perasaannya melalui tatapannya. Itu akan menyakiti Jihan. Namun, ini pilihan Jihan, jadi ia harus menghargai itu.
"Ayah dan Bunda menjodohkanku," kata Bayu, memulai kejujurannya dan memberi jeda sedikit agak lama. "Aku mencoba menolak dengan caraku, tapi makin keras juga usaha Ayah dan Bunda berusaha menjodohkanku dengan anak sahabatnya Ayah. Bunda sakit dia harus di kemoterapi, selama beberapa hari menerima perawatan di Singapore, aku sudah berusaha menolak. Namun, Bunda mengatakan demi dirinya aku harus menerima perjodohan itu."
"Aku nggak pernah berniat mengkhianatimu. Namun, itu semua terjadi di luar dugaanku, aku terlalu mencintai Bunda sampai takut kehilangan dirinya jika saja aku menolak, melihatku menikah sama halnya memperpanjang umur Bunda."
"Sudah berapa lama kamu menikah?"
"Dua minggu," jawab Bayu.
"Dan, kamu membuat wanita itu tinggal di rumahmu? Rumah yang katanya untuk kita setelah menikah?" Jihan mulai merasakan sesak yang berkepanjangan, hatinya menderu sakit, terlalu sakit. "Sama saja, kamu menggantikanku dengan wanita itu."
"Aku nggak tahu harus membawanya kemana, Sayang."
Jihan terisak. "Kamu, kan, bisa membawanya ke apartemen atau kontrakkan." Jihan menyeka air matanya. "Aku jadi merasa berdosa, telah bersama suami orang, sama saja aku seperti pelakor."
"Kamu bukan pelakor, Sayang, dia yang datang ke kehidupanku dan merebut segala mimpi kita."
"Jangan menyalahkannya, wanita itu nggak salah, dia pun terpaksa menerima perjodohan kalian, yang aku sesali, kenapa nggak jujur saja sejak awal?"
"Kamu bisa, kan, menungguku? Aku akan menceraikannya."
"Menunggu? Sama saja aku merebutmu darinya."
"Dia yang merebutku darimu, bukan kamu." Bian meralatnya. "Aku butuh waktu sampai kondisi Bunda membaik, setelah itu, aku akan segera menceraikannya. Selagi aku mengurus segalanya, bantu aku dengan doa, aku pasti akan menikahimu, karena hanya kamu wanita yang ku inginkan."
"Aku nggak bisa menunggu."
"Katakan bisa, Sayang, please..."
"Aku—"
"Please, Sayang, tunggu aku sampai waktunya tiba."
"Tapi, sampai kapan aku harus menunggu? Kamu hanya akan menyakitiku dan menyakiti istrimu."
"Sampai kondisi Bunda membaik. Hem?"
"Sepuluh bulan, aku kasih waktu selama sepuluh bulan, jika dalam sepuluh bulan kamu nggak menceraikan istrimu, aku yang akan pergi." kata Jihan, berusaha mengatur perasaannya. "Selamanya dari kamu." tambahnya.