Setelah membeli sarapan, Fandi kembali ke perumahan. Ia melihat Naomi tengah duduk dengan lamunannya. Fandi memahami bagaimana jalan pikiran kekasihnya saat ini, siapa pun itu tak ada yang menginginkan di jodohkan jika ia sudah mencintai orang lain.
"Sayang, ini sarapannya, kamu harus sarapan, ya," kata Fandi, menaruh sarapan yang ia beli di warung depan gang di atas meja. dan mengambil sendok di dapur. Lalu kembali duduk di samping kekasihnya.
"Kita harus menikah demi impian kita berdua," kata Naomi, membahas soal pernikahan lagi.
"Kita bahas hal itu nanti saja, ya." Fandi mencoba menghindar, karena ia pun bingung harus bagaimana bersikap dan menanggapi permintaan Naomi.
"Apa kamu nggak pengen menikahiku?" tanya Naomi, menatap mata Fandi.
Fandi menggeleng, "Siapa yang tak ingin menikah dengan wanita yang ku cintai? Aku ke Bandung dan berjuang seperti ini, demi melamarmu, demi kamu, demi masa depan kita, tapi semua hal yang di lakukan secara mendadak akan berakhir tidak baik, Sayang. Karena itu, kamu makan dulu dan kita bicara setelah itu. Jangan membicarakan masalah serius dalam keadaan perut kosong," kata Fandi.
"Aku nggak ingin makan. Aku nggak lapar," rengek Naomi.
"Terus kamu mau apa jika tidak ingin makan?”
“Aku mau kamu menikahiku, hari ini juga, di KUA juga nggak apa-apa,” jawab Naomi, membuat kepala Fandi rasanya mau pecah saja.
“Sayang, pernikahan bukan permainan, pernikahan harus di rencanakan dengan baik pula,” kata Fandi.
"Aku ini di jodohkan Papa, aku kemari memintamu menikahiku, karena aku menolak untuk di jodohkan dengan pria yang nggak aku cintai. Jadi, pahamilah perasaanku saat ini."
"Terus?"
“Kamu sudah tahu? Tahu darimana?” tanya Naomi.
"Aku sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanku, lewat Weni."
"Jadi, kamu katakan ke Weni, aku di sini?" tanya Naomi.
"Tentu saja, dia sahabatmu, 'kan?"
"Tapi, dia ada di pihak Papa sama Mama," kata Naomi.
"Weni kata, dia akan selalu mendukungmu, mendukung apa pun keputusanmu, dia menyuruhku menjagamu di sini dan dia juga akan memberi alasan kepada orangtuamu, jadi aku tidak meragukan Weni," kata Fandi, menjelaskan.
"Jika kamu sudah mengetahuinya, kenapa masih nggak menunjukkan reaksi apa pun? Kenapa nggak terkejut atau memintaku menikah sekarang juga.”
“Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang.”
“Kenapa harus bingung? Hatiku memilihmu, dan itu akan tetap ada, jadi nikahi aku saja dan kita bisa berjuang bersama-sama,” kata Naomi.
“Aku bisa saja berjuang mendapatkanmu, tapi apa gunanya jika tanpa restu orang tuamu?”
“Jadi, kamu tidak ingin berjuang? Kamu tidak mencintaiku rupanya.”
"Aku sangat mencintaimu! Aku juga terlalu mencintaimu untuk melepaskanmu kepada pria lain," kata Fandi, berusaha berpikir.
"Terus, apa lagi yang kamu pikirkan? Kita menikah saja, hem? Jika kita menikah, Mama sama Papa pasti akan merestui kita, aku yakin."
"Tapi, menikah tanpa restu orangtuamu, menurutku itu tidak benar, Sayang." elak Fandi.
"Mereka nggak akan pernah merestui kita, seberapa keras pun usaha kita, mereka nggak akan merestui kita, mereka membutuhkan tameng untuk membuat perusahaan bangkit lagi dan itu nggak ada dalam diri kamu. Aku mohon, mengertilah, mengapa aku memintamu menikahiku secepatnya." kata Naomi, membuat Fandi menunduk. Ia memang pria yang tidak berguna, menyelamatkan keluarga wanita yang di cintainya pun tak bisa, bagaimana menjadi imam nanti?
"Dan, kamu rela melihat kedua orangtuamu menderita ketika perusahaan mereka bangkrut? Sedangkan kamu tahu sendiri, jika perusahaan itu satu-satunya harapan orangtuamu." tanya Fandi, membuat Naomi menunduk dan berpikir sejenak. Perkataan Fandi memang ada benarnya. Namun, bagaimana pun sikap kedua orangtuanya ia selalu berusaha mencari pembenaran. Namun, tetap tidak benar menurutnya.
"Terus, kamu mau aku menikah dengan pria lain?"
"Jika itu yang terbaik, kita mau bagaimana lagi?" seperti di sambar sebuah kilat, yang menghantam tubuhnya. Naomi menatap Fandi dengan seksama, apa maksud perkataan Fandi barusan? Jika itu yang terbaik? pertanyaan itu bergemuru di kepala Naomi.
"Berarti kamu nggak pernah mencintaiku. Karena kamu pun nggak berjuang mendapatkanku." Naomi menunduk, perkataan Fandi barusan, mampu membuat hatinya menyesakkan.
"Aku mencintaimu, Sayang, melebihi cintamu padaku dan aku terus berjuang demi mendapatkanmu juga menghalalkanmu, tapi pikirkan kedua orangtuamu. Aku gak pengen menikahimu dengan cara ini, lalu menjauhkanmu dari orangtuamu, sama saja aku mengajarkanmu durhaka pada mereka," kata Fandi, ia menyeka air matanya agar Naomi tak menyadari tetesan air matanya, ini juga berat, sungguh. Namun, tak ada jalan lain, jika semua pintu tertutup rapat.
"Jadi, maksud kamu, kamu merelakanku?" tanya Naomi dengan mata berbinar, berharap jawaban yang akan di berikan Fandi kali ini bisa membuat hatinya tenang.
"Jika itu yang terbaik untuk kamu dan keluargamu … aku ikhlas, Sayang," jawab Fandi.
Deg. Jantung Naomi seakan terhenti, tubuhnya seakan tak mampu saling menumpuh, apa maksudnya? Jadi, Fandi ikhlas, jika wanitanya itu menikah dengan pria lain dan memulai hidup baru dengan orang lain?
"Terbaik untukku?" Naomi memberi jeda, menatap kekasihnya penuh harap. "Jika itu terbaik untukku, aku nggak akan mungkin jauh-jauh kemari, semudah itu kah kamu mengatakan ikhlas setelah apa yang telah kita lalui? Apa hanya aku yang memperjuangkan hubungan kita? Apa hanya aku yang sedih?"
"Sayang, aku mohon, kita akan mencari solusinya bersama-sama, aku hanya mengatakan itu jika tak ada jalan lain, di satu sisi, aku menginginkanmu tapi di sisi lain, ada orangtuamu yang membutuhkanmu." Fandi mencoba menjelaskan. Namun, kekecewaan sudah menyerang Naomi.
"Alih-alih mencari solusi, kamu malah mengatakan menyerah dan mengikhlasku sebelum berjuang mendapatkanku," rajuk Naomi, memalingkan wajahnya dan menyeka air matanya.
"Sayang, aku—"
"Sudah, yang terpenting saat ini, aku tahu jawabanmu." Naomi begitu kecewa.
Fandi menggenggam kedua bahu Naomi. "Aku mencintaimu, merelakanmu saja membuatku hampir gila berpikir, bagaimana jika benar? Kita akan mencari solusi sama-sama, kita akan mencari jalan yang terbaik."
"Sekali lagi, biarkan aku bertanya." Naomi memberi jeda.
"Apa kamu nggak ingin nikahin aku? Meski tanpa restu?" lagi-lagi Naomi mengulang pertanyaannya.
"Sayang, alih-alih memintaku menikah, pikirkan juga bagaimana perasaan dan hidup orangtuamu yang bergantung pada dirimu." Fandi memberi jeda beberapa detik, "Aku mencintaimu, aku pasti akan menikahimu dengan senang hati. Namun, bukan dengan cara ini."
"Terus, dengan cara apa?" tanya Naomi. "Dengan cara menunggu restu orangtuaku yang nggak kunjung memberi jawaban? Sampai kapan lagi aku harus menunggu?"
"Aku—"
"Beri aku tumpangan, aku ingin beristirahat," kata Naomi, memotong kalimat Fandi.
Fandi mendengkus. "Kamu di sini saja, aku juga harus bekerja, pulang kerja nanti, kita akan mencari solusi sama-sama," kata Fandi dan di jawab dengan anggukan Naomi.
Beberapa menit kemudian, sepeninggalan Fandi, Naomi membaringkan kepalanya di atas ranjang mini milik Fandi, Naomi menatap foto-foto dirinya dengan Fandi sewaktu Fandi masih di Jakarta, banyak kenangan dalam foto tersebut, senyum bahagia itu terpancar di wajah keduanya, sebelum orangtua Naomi turut campur pada hubungan putrinya. Foto tersebut di tempel Fandi di samping ranjang agar jika merindukan Naomi, ia bisa menatap foto-foto itu tanpa harus susah-susah menahan rindu.
Suara ponsel Naomi sejak tadi berdering, menandakan pesan dan panggilan. Namun, Naomi enggan mengangkat atau pun melihat ponselnya. Ia biarkan saja berdering sejak tadi tanpa mengeceknya.
Naomi berusaha mengatur perasaannya, kenyataan pahit yang ia terima sejak sampai di perumahan ini, Fandi akan mengikhlaskan dirinya bersanding dengan pria lain demi kelangsungan hidup orangtua Naomi.
****
Sore menunjukkan pukul 5, sudah waktunya pulang bagi seluruh karyawan, Fandi membereskan bawaannya dan menaruhnya di dalam tas, sejak tadi banyak hal yang menggunung di kepalanya, bagaimana nasib hubungannya dan bagaimana caranya mempertahankan Naomi, tanpa menyakiti kedua orangtua Naomi.
"Fan, lo kenapa? Sejak tadi tuh, gue liatin lo kayak ayam sakit tahu, nggak?" Tanya Manda, sahabatnya, Manda adalah seorang wanita. Namun, ia tomboi dan tidak ada feminimnya sama sekali.
"Gue lagi pusing, Man," jawab Fandi.
"Pusing? Pusing kenapa lo? Lo kangen sama Naomi?"
"Naomi lagi di kamar."
"Naomi? Di kamar? Maksud lo?" tanya Manda, keheranan.
"Naomi baru saja sampai tadi pagi dari Jakarta dan sekarang dia di kamarku, dia sedang beristirahat," jawab Fandi.
Manda menendang kursi dan mendudukinya agar lebih dekat dengan Fandi dan mendengar cerita Fandi. "Jadi, Naomi ada di perumahan? Kok gue gak lihat?"
"Gimana lo mau lihat, lo kan di perumahan sebelah," kata Fandi.
"Oh iya, gue lupa. Terus, jika Naomi di perumahan, kenapa lo kayak ayam sakit? Alih-alih bahagia pacar lo dateng, malah kelihatan lo gak seneng," sindir Manda.
"Gue seneng dan bahagia banget Naomi ada di perumahan, tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran gue, Man."
"Apa itu?" tanya Manda, rasa penasarannya mulai menginterogasi sahabatnya.
"Naomi datang dan meminta gue nikahin dia."
"What? Bukannya lo lagi ngumpulin duit dulu? Bukannya kalian udah sepakat juga?" tanya Manda, yang tentu saja heran.
"Naomi di jodohkan sama orangtuanya, karena itu Naomi kabur dari rumah dan ke Bandung meminta gue nikahin dia, gue seneng banget jika harus menikahi dia. Namun, yang gue pikirin bagaimana orangtuanya? Mereka nggak akan pernah ngerestuin hubungan kami dan kedua orangtua Naomi menyimpan banyak harapan pada Naomi dan pria pilihan mereka." Fandi menjelaskan. "Gue bingung harus gimana?"
"Wah ... ribet juga, ya, kalau gitu. Kenapa nggak ngikutin kata hati lo aja, sih? Gue tahu, alih-alih menikahi Naomi, lo malah mikirin orangtua Naomi. Gue tahu banget apa yang ngeganggu lo."
"Jika lo tahu, kenapa nggak ngasih solusi?"
"Gue nggak bisa ngasih solusi, Fan. Karena yang tengah lo hadepin adalah pilihan yang sulit."
"Baiklah, gue bakal pikirin sendiri, tapi gue butuh tempat untuk Naomi, lo mau, kan, Naomi nginep di kamar lo? Lo, kan, tahu peraturan perumahan, gue gak mungkin sekamar dengan Naomi."
"Tentu saja, gue bisa kok ngasih tempat buat Naomi, dia juga, kan, teman gue. Dia pernah bantuin gue, jadi gue bakal ngasih tempat sampai kapan pun dia mau. Tapi, gue lagi ada urusan dulu di luar, mungkin baliknya agak malem banget, kalau Naomi pengen istirahat dia bisa langsung ke kamar, kunci kamar gue ada di tempat biasa."
Fandi menghela napas gusar, terlalu berat memutuskan apa yang ingin ia lakukan, ia sangat mencintai Naomi, melebihi dirinya sendiri. Namun, ia sadar, Naomi belum menjadi miliknya dan Naomi milik Ibram dan Sinta yang merupakan orangtua Naomi.