2017
"Undangan paling tepat di saat yang tepat.
Pertemuan kedua, predator dan mangsanya.
Aku pasti akan membuatmu terperangkap.
Dalam kedalaman jurang yang teramat gelap.
Ha-ha.
Waktu pembalasan itu semakin dekat.
Ucapkan 'selamat tinggal bahagia'.
Ini tahun terakhir untuk kalian masih bisa tertawa."
ZEKRION A. LAITH
⠀
Zekrion Adhinatha Laith adalah seorang pengusaha muda sukses yang merupakan pewaris tunggal sekaligus CEO dari ZALCorp. Perusahaan yang bergerak dibidang pengembangan perangkat lunak atau software global dan konsultan teknologi. Perusahaan ini mengembangkan desain produk, managemen proyek, layanan aplikasi seluler, situs web travel maupun e-commerce serta aplikasi mobile lainnya.
Di usianya yang masih 32 tahun, pencapaiannya sungguh sangat luar biasa. Ia jenius, pandai melihat peluang, gigih dan penuh inovasi. Sesuatu yang pastinya bisa membuat iri pengusaha lain yang bahkan lebih berumur dan berpengalaman darinya.
Buat Zekrion, tidak ada waktu untuk bermain-main. Ia punya misi dan waktu misi itu sudah semakin dekat. Musuhnya juga telah tersudut, berada di ambang kehancuran.
Ia terbahak keras. Tawa yang membahana di ruangan ber-AC super dingin yang untungnya kedap suara. Ruang khusus CEO yang berada di lantai 57 ini menjadi saksi bisu betapa CEO tampan nan beku itu ternyata masih bisa tertawa. Tawa yang sinis dan sarat dengan aura kegelapan. Sama sekali tidak tersirat kebahagiaan di dalamnya.
Matanya yang cokelat gelap — seperti mata kebanyakan orang Asia pada umumnya — menyusuri seluruh penjuru ruangan. Di setiap inci ruangan ini memperlihatkan segala kenyamanan dan kemewahan yang biasa dimiliki oleh kaum jetset.
Dinding ruangan dilapisi wallpaper bermotif batik dengan warna dasar krem dan ukiran berwarna cokelat. Lantai dan langit-langit ruangan sewarna walnut.
Televisi LCD model terbaru dengan layar lebar membentang di dinding. Layar yang biasanya menjadi sarana untuk melakukan video conference bersama klien penting perusahaan. Di depannya terdapat sofa untuk menjamu para tamu.
Lukisan pegunungan, foto-foto bersama relasi atau karyawan serta sertifikat-sertifikat penghargaan milik perusahaan tertata rapi di dinding. Beberapa tanaman hias Palem Kuning dan Lidah Mertua atau Snake Plant, di taruh di beberapa sudut ruangan. Sementara itu tanaman Bambu Rejeki atau Lucky Bamboo/Ribbon Plant di susun berjejer di depan jendela kaca kantor. Berada di sisi kanan meja kerjanya.
Sama sekali tidak ada bunga di ruangan itu. Tetapi ada wewangian khas yang terhirup di udara. Wangi bunga tanjung yang berasal dari lilin aroma terapi bermerek 'Ceisya Fragrances', menyala di atas meja kerja.
Lukisan separuh badan seorang wanita mengenakan pakaian era Majapahit abad ke-14 Masehi, menghiasi dinding bagian belakang meja kerja. Tatapan wanita dalam lukisan itu tampak sendu dengan butiran bening di pelupuk matanya. Latarnya berwarna merah serupa darah kental yang dikelilingi api di dalam kegelapan, seakan berjelaga. Judul lukisan ditulis dengan sepuhan cat warna keemasan: ‘Sri Tanjung – The Legend of Banyuwangi’. Legenda asal-usul daerah Banyuwangi di Jawa Timur Indonesia. Kisah yang sudah dikenal sejak era peradaban Hindu-Buddha di Nusantara.
Lukisan ini banyak menyedot perhatian dari para klien, khususnya klien dari luar negeri. Bahkan ada di antara mereka yang senang mengoleksi benda-benda seni serta barang antik, terang-terangan mengungkapkan rasa ketertarikan mereka untuk membeli lukisan klasik ini. Namun sang CEO menolak dengan tegas. Lukisan ini terlalu berharga buatnya. Bukan untuk dijual berapa pun harganya.
Sang CEO memandangi lukisan di hadapannya.
“Sebentar lagi, Sri Tanjung-ku. Aku akan membalas perbuatan mereka untukmu,” geramnya dipenuhi dendam.
Pria itu mengalihkan pandangan pada layar komputer di meja kerjanya. Memeriksa laporan perusahaan dan bursa saham. Lalu tersenyum sinis ketika melihat keberhasilannya dalam mematahkan setiap langkah yang diambil perusahaan musuh besarnya.
Sebentar lagi apa yang ia inginkan akan tercapai. Selangkah demi selangkah mantan Bos-nya itu akan berakhir bangkrut, lalu jatuh miskin. Direktur Utama perusahaan tersebut mulai tampak berhati-hati dalam menginvestasikan sahamnya atau membuat pergerakan apa pun. Padahal hanya beberapa waktu lalu Rion memperkirakan, tahun ini seharusnya perusahaan itu sudah collapse. Kira-kira dari mana dia mendapat pinjaman?
Pria itu meringis. Ia sudah tidak sabar melihat kehancuran musuhnya. Tapi seperti rumput liar yang sulit dibasmi, perusahaan itu masih bertahan hingga saat ini. Namun tak apa. Rion sangat menikmati detik-detik di mana ia mengetahui bagaimana pria tengik itu kalang kabut ke sana ke mari akibat pergerakan perusahaan rahasianya, ‘Laith Company’. Sangat menikmati kejatuhan pria yang menghancurkan hidupnya. Nanti setelah hartanya, giliran kesayangan dan harga diri pria itu yang akan Rion injak!
Zekrion mendengus sinis, berdiri menyentuh permukaan lukisan Sri Tanjung. Mengusap butiran air mata di pelupuk mata wanita dalam lukisan.
Ia menatap lukisan itu sendu.
"He will pay for everything soon, my love ...!” bisiknya lembut.
⠀
“Ngobrol dengan lukisan lagi, hum?”
Rion terperanjat. Sama sekali tidak mendengar suara langkah atau bahkan pintu ruangan yang terbuka.
“Apa tidak ada adab mengetuk pintu di kantor ini,” cela Rion mendelik sengit.
Pria di hadapannya terbahak.
“Ayolah sepupu, apa gunanya memasang muka pemangsa begitu di hadapan gue. Nggak ada efeknya. Jangan sampai muka loe permanen jadi begitu. Lecek amat ...!” ucap pria itu acuh sambil duduk santai di hadapan sepupunya yang galak. “By the way, jangan bilang loe bakal nginap di kantor lagi.”
Pria berambut cepak itu melirik lemari buku dan file berukuran besar yang melebar berjejer membentuk dinding. Di balik salah satu lemari, terdapat pintu rahasia menuju ruangan pribadi sang CEO. Ruangan khusus untuknya saat lelah dan ingin beristirahat barang sekejab atau lembur dan memutuskan menginap di kantor.
Office penthouse tersebut juga dilengkapi dengan tempat tidur yang mengarah ke balkon, memperlihatkan pemandangan kota dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Dilengkapi pula dengan kamar mandi dan jacuzzi yang menambah kenyamanan pemiliknya.
“Ya,” jawab Rion singkat. Pura-pura sibuk dengan berkas di meja kerjanya.
Pria di hadapannya memandangnya sendu.
“Sampai kapan loe kayak gini terus, bro?"
Rion mendelik.
“Maksudnya?”
Pria cepak itu menghempaskan napasnya.
“Jomblo, karatan, jamuran, jarang dibelai. Ini sudah 10 tahun dan loe masih tetap berkabung? Kenapa loe nggak nyoba buat ngelupain dia?”
Rion menyipitkan matanya.
“It’s none your business, Man!” tekannya tajam.
Yudi mengejapkan mata. Menghela napas dalam.
“Jangan terus-terusan hidup dalam kenangan masa lalu. Apalagi mengabadikan dendam. Buka hati loe, Bro. Loe masih muda. Masa depan juga masih panjang. Nggak baik kayak gini terus. Loe manusia hidup, bukan mayat hidup.”
Rion berdecak. Sepupunya ini memang benar-benar bawel!
“Mudah buat loe ngomong begitu. Bukan istri loe yang wafat dalam kondisi mengerikan. Loe nggak tahu gimana perasaan gue. Just shut up!" ucap Rion sengit.
Yudi mengangkat bahu. Ia memang tidak tahu apa-apa tentang masalah itu. Rion menutupi semua hal darinya. Tidak pernah bercerita apa pun tentang kematian istrinya. Lalu bagaimana bisa Yudi menilai seberapa berat dendam dan sakit hati yang dirasakan Rion. Ia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan yang Maha membolak-balik hati, bisa melembutkan hati sepupunya kembali. Seperti dirinya yang dulu lagi.
“Sorry, gue nggak bermaksud mengorek luka lama loe, Bro,” tukas Yudi dipenuhi rasa bersalah. Ia mengalihkan pandangan ke berkas yang masih dipegang Rion. “Jadi, gimana menurut loe perkembangan Laith?” tanya Yudi mengalihkan topik pembicaraan.
Rion mendengus sinis.
“Berjalan mulus sesuai yang gue mau.”
Yudi menatap Rion tajam.
“Gue nggak bermaksud ikut campur. Tapi gue punya pertanyaan buat loe.”
“Apa?”
“Gue perhatikan, setiap langkah yang diambil Laith, mengarah pada satu perusahaan. Reyes Jaya Contractor. Rival abadi Laith. Loe bahkan nggak segan-segan menekan pergerakan perusahaan lain yang ingin membantu Reyes. Ada apa dengan perusahaan itu? Bukannya dulu loe pernah kerja di sana?”
Rion terkekeh.
“Gue cuma nggak suka dengan karakter Direktur Utamanya. Dia fuckman. Loe tahu itu, ‘kan?”
Yudi mendengus. “Istilah macam apa itu? Fuckman? Seriously?” Yudi menggelengkan kepala. “Alasan yang kelewat dibuat-buat. Semua bos kebanyakan fuckman.”
“I’m not!”
“Gue curiga loe gay.”
“Sialan!” Rion melempar gulungan kertas remuk di mejanya ke arah Yudi.
Pria berambut cepak itu mengelak. Mereka tergelak.
“Kalau emang loe nggak suka karena sifatnya yang playboy, apa loe juga bakal nyerang perusahaannya Nates? Bukannya Nates playboy juga?” Yudi menyindir persahabatan Rion dengan salah seorang CEO perusahaan property yang juga adalah kenalannya Yudi.
“Itu beda. Nates cuma berhubungan suka sama suka. Sementara Reyes, melahap semua yang dia suka. Bahkan dengan cara licik.”
"Apa bedanya .... Sama-sama main cewek juga."
Sekilas Yudi seperti melihat kilat kebencian yang begitu besar dari mata sepupunya itu. Ia yakin, pasti ada alasan lain kenapa Rion begitu membenci Reyes. Padahal setahunya, dulu Rion sering memuji-muji kebaikan bosnya itu.
“Terus kalau loe emang nggak suka sama Reyes, kenapa loe malah nyari tahu soal putrinya?”
“Jangan sok-sok an jadi detektif, man. Gue nggak cuma nyari tahu tentang putrinya. Gue juga nyari tahu tentang istrinya, perusahaannya, karyawannya bahkan bekingannya. Okay!”
Rion menatap Yudi setenang mungkin. Ia berharap penjelasan ini cukup bisa diterima. Tapi Yudi terlihat masih menatapnya curiga.
“Loe nggak percaya sama gue?”
“Gue kira loe tertarik sama anaknya. Sayang banget.” Netra Yudi menangkap brand lilin aroma terapi di meja. Ia tersenyum tipis.
Rion mendengus. “Kenapa gue harus tertarik. Siapa yang mau punya mertua kayak si Reyes itu!”
“Watch out your mouth, dude!” Yudi tergelak. “Jangan sampai kata-kata loe tadi malah di-aamiin-kan sama malaikat. Terus loe ... bakal jilat ludah loe sendiri. Camkan itu!”
Rion melotot. “Njir! Loe ngutuk gue?”
“Nope," Yudi menggeleng. “Gue selalu mendoakan yang terbaik buat loe. Lagian, walau pun Bokapnya kayak gitu, putrinya beda, Man! Bidadari surga, sama kayak Nyokapnya.”
Rion melengos acuh. Ia memang sudah mendengar banyak hal positif tentang putri kesayangan sang playboy. Gadis kecil yang dulu pernah ia temui, telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan menawan. Sifatnya juga seperti bidadari. Rion bahkan sempat mendengar, bahwa hari ini, di ulang tahun gadis itu yang ke 19, Ceisya menghabiskan siangnya dengan menjamu anak-anak panti asuhan. Sungguh dermawan dan juga ramah.
Apa itu mengundurkan niat Rion?
BIG NO!!!
Tentu saja TIDAK!
Hal itu malah kian membuatnya membenci keluarga Reyes. Rion semakin jengkel pada Ceisya karena wanita itu mampu membuat nama buruk Reyes tertutupi oleh semua kebaikannya. Sangat menghambat pergerakan Rion. Semakin besar alasannya untuk merusak orang yang paling disayangi pria biadab itu.
“Well, kalau emang loe nggak tertarik sama putrinya, ya sudah. Berarti undangan ini percuma juga gue serahin sama loe.”
Yudi mengeluarkan undangan berwarna cokelat metalik dengan pita baby pink dan tulisan silver dari saku jasnya.
“Atau gue buang aja?” ucapnya seakan bicara pada diri sendiri.
Rion melirik undangan itu. Membaca tulisannya.
⠀
Ceisya Birthday Invitation – Romeo & Juliet Mask Party.
⠀
"Undangan ulang tahun Ceisya. Pesta topeng Romeo dan Juliet," gumam Rion. Alisnya mengernyit.
Sejak kapan gadis itu ingin ulang tahunnya dibuatkan pesta? Yang Rion baca dari tabloid, berita online, maupun dari status sosial media gadis itu, Ceisya selalu menolak keinginan ayahnya untuk merayakan pesta ulang tahunnya secara besar-besaran. Kenapa kali ini jadi berbeda?
“Okay. Gue bawa balik aja.” Yudi membuat ancang-ancang hendak berdiri dari duduknya.
“Stop!” tahan Rion sebelum Yudi memasukkan kembali undangan tersebut ke saku jasnya. “Gue kebetulan free malam ini. Jadi, mungkin ntar ... uhm ... kalau sempat, yeah ... nggak yakin juga. Tapi, lihat ntar. Taruh aja di meja!”
Rion kembali pura-pura membalik dokumen dan kertas-kertas yang ia sendiri tidak tahu itu apa. Ia hanya ingin Yudi melihatnya sibuk.
Sudut bibir Yudi terangkat. Ia mengulum tawanya mendengar jawaban kikuk Rion. Sangat berharap kalau ini adalah pertanda bahwa Rion mulai mencoba membuka hatinya.
“Oke,” tukas Yudi setelah beberapa saat.
Ia menaruh undangan itu di atas meja kerja Rion.
“Loe ke sana sama siapa?”
“Sama Bebeb gue dong. Tapi ntar gue juga janjian sama Daimon dan istrinya buat bareng ke pesta. Secara, kita ‘kan dapat undangannya.”
“Uhm ... oke. Thanks.”
Yudi terkekeh melihat ekspresi malu-malu tapi mau Rion.
“Kalau gitu loe punya waktu tiga jam buat siap-siap,” ujarnya seraya berdiri dari kursinya. “Gue balik dulu.” Yudi beranjak menuju pintu.
“Wait, bro!" Rion memanggil Yudi kembali saat pria itu sampai di depan pintu. "Bentar."
Yudi berbalik menatap Rion. Mengerutkan alis. Melihat Rion yang menyusulnya sambil membawa bingkisan kecil.
“Selamat buat kehamilan ke dua istri loe,” cetus Rion tulus. "Dan ini buat ponakan cantik gue juga ipar gue. Mereka pasti suka."
Yudi tersenyum padanya. "Thanks, bro." Ia menerima bingkisan tadi, sambil berdoa agar suatu saat nanti, gilirannya yang akan menghadiahkan hal yang serupa pada keluarga sepupunya itu.
Rion menatap punggung Yudi yang menjauh.
Seharusnya ia dan Sri Tanjung-nya juga sudah punya anak dan keluarga bahagia saat ini. Kesedihan sekaligus kemarahan kembali berkobar di dadanya. Ia menatap sinis undangan di meja.
“Pesta topeng, ya. Betapa menyenangkannya.” Rion mendengus dengan mata menyipit penuh kesumat.