Jawaban dari Mbah Sugeng tentu saja membuat Zora kecewa. Ia sudah datang jauh-jauh kemari bersama Dery, melalui banyak hal, bahkan hingga membuat Dery terluka, bukan untuk menerima jawaban dari Mbah Sugeng yang bilang kalau ia tidak tahu jawabannya karena alam belum menjawab. Rasanya jadi seperti sia-sia saja, padahal mereka sudah tidak punya waktu banyak.
Bulan merah tinggal hitungan hari lagi. Entah apa yang sudah dilakukan Javon dan pasukannya di kota itu, namun Zora menebak jika Javon semakin melancarkan aksinya, dan kemungkinan korbannya bertambah. Ketika Dery bangun nanti, mungkin ia bisa meminta Dery untuk mencari berita mengenai korban baru di kota. Tapi, mengetahui itupun rasanya juga percuma, kan? Karena mereka tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya.
Javon pun pasti akan semakin melakukan pencarian terhadap Zora secara gila-gilaan. Firasat Zora mengatakan bahwa dirinya dan Dery akan aman selama mereka berada di pondok Mbah Sugeng ini. Entah kenapa, ia merasa jika selubung energi berbentuk kubah yang mengelilingi pondok ini merupakan proteksi kuat dari makhluk-makhluk tak diundang, termasuk Javon dan pasukannya.
Namun, mereka tidak bisa selamanya bersembunyi di dalam pondok ini. Mau bulan merah sudah lewat sekalipun dan Javon gagal melakukan ritualnya, ia pasti akan tetap memburu Zora dan Dery karena menyimpan dendam terhadap mereka yang sudah membuat rencananya gagal. Dan kemungkinan besar, karena Rowena telah gagal, Javon sendiri yang akan turun tangan. Jika itu terjadi, mustahil bagi mereka untuk bisa kabur dari jeratnya.
Setelah memberi jawaban itu kepada Zora, Mbah Sugeng masuk ke dalam pondoknya. Zora mengikuti pria tua itu, melihatnya berjalan mendekati sebuah rak tua yang berisikan berbagai macam tumbuhan kering. Beliau mengambil beberapa jenis tumbuhan kering di sana yang tidak diketahui sama sekali oleh Zora jenisnya apa, lalu memasukkan semua tumbuhan itu ke dalam lumpang yang terbuat dari kayu jati yang ada di pinggir rak. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Mbah Sugeng duduk bersila di depan lumpang, kemudian menumbuk semua tumbuhan yang diambilnya tadi dengan lumpang kayu itu.
Zora berdiri di belakangnya. Ia masih belum puas dengan jawaban yang diberikan oleh Mbah Sugeng. Dan ia tidak bisa jika harus diam saja. Zora butuh jawaban. Ia butuh bantuan agar bisa mengalahkan Javon dan menghentikan niat jahatnya. Ia tidak mau lagi Javon menyakiti manusia ataupun vampire-vampire lain.
"Apa kamu benar-benar tidak tahu bagaimana caranya mengalahkan Javon?" Zora kembali bertanya pada Mbah Sugeng. Kali ini terdengar lebih frustasi daripada sebelumnya. "Dia sudah sangat menggila sekarang. Dia punya niat jahat untuk menjadi makhluk terkuat di sini, karena itu dia memburuku. Dan dia juga memburu manusia, lebih banyak dan lebih brutal daripada yang pernah dilakukan oleh vampire selama ini. Karena itu, dia benar-benar harus dihentikan. Keberadaannya akan mengancam banyak pihak."
Yang didapat Zora sebagai jawaban hanya lah suara lumpang yang beradu dengan alu. Mbah Sugeng masih sibuk menumbuk semua tumbuhan itu dan lagi-lagi, mengabaikan Zora. Tidak bisa dipungkiri, Zora mulai kesal.
"Kita sudah tidak punya waktu karena sebentar lagi bulan merah. Kalaupun Javon tidak berhasil menangkapku, ia hanya akan melakukan perburuan lebih besar-besaran lagi terhadap manusia! Aku tidak jauh-jauh datang ke sini hanya untuk diabaikan dan mendapat jawaban kosong. Nyawa dari banyak pihak adalah taruhannya, termasuk nyawa Dery!"
Gerakan tangan Mbah Sugeng yang pada alu dan lumpangnya pun terhenti. Rasa kesal Zora membuatnya menoleh pada vampire itu dan langsung bertatapan pada sepasang bola mata perak Zora yang kini berkilat marah. Ada senyum kecil yang terukir di bibir pria tua itu, nyaris tidak terlihat karena tertutup oleh kumis putih yang hampir membuat semua bagian bibirnya tidak terlihat.
"Nak Zora, aku tau apa yang akan dilakukan Javon. Semua orang sepertiku dapat merasakan ketidakseimbangan energi yang disebabkan olehnya karena perburuan besar-besaran ini."
"Tapi kamu tidak terlihat peduli! Bahkan, seolah menganggap masalah ini sepele."
"Aku tidak pernah menganggapnya sepele."
Zora melengos, berusaha kuat meredam rasa kesalnya pada Mbah Sugeng.
"Aku bilang padamu aku belum tahu jawabannya. Dan itu, bukan berarti aku tidak tau," ujar Mbah Sugeng lagi.
Lalu, beliau mengambil sebuah kendi air yang ada berada di bagian paling bawah rak, dan menuangkan sedikit air ke dalam lumpang berisikan tumbuhan yang kini telah ditumbuk halus. Ia mengaduk-aduk sebentar isi di dalam lumpang kayu tersebut, kemudian mengambil mangkuk kayu dari rak, mengambil segenggam tumbuhan halus yang telah basah, dan memerasnya hingga air dari tumbuhan tersebut tertampung di dalam mangkuk kayu sebelumnya.
Mbah Sugeng mengulanginya lagi terhadap sisa tumbuhan yang ada di dalam lumpang, sembari melanjutkan penjelasannya. "Aku sudah tau bahwa kau dan Dery akan datang ke sini karena alam yang memberitahuku. Dan aku pun tau bahwa maksud tujuan kalian mendatangiku karena kegaduhan yang telah diberitahukan Javon di kota. Lagi-lagi, alam juga yang memberitahuku. Aku pun sudah bertanya pada alam bagaimana caranya mengalahkan Javon, seperti yang ingin kau ketahui. Tapi, alam belum memberiku jawaban."
Zora tidak mengerti siapa, apa, atau bagaimana caranya alam yang disebutkan oleh Mbah Sugeng memberikan jawaban atas semua itu kepada Mbah Sugeng. Namun, ia percaya jika apa yang disampaikan oleh alam memang benar.
"Lalu, kapan alam akan memberi jawaban itu? Kita sudah tidak punya waktu banyak karena sebentar lagi bulan merah. Javon sudah harus dimusnahkan sebelum itu."
Mbah Sugeng menggelengkan kepala. "Aku tidak tau," ungkapnya jujur. "Tapi aku akan mencari tau."
"Kapan? Apa aku harus ikut?"
Mbah Sugeng terkekeh dengan suara seraknya. "Kau tidak bisa ikut. Alam tidak akan senang jika didatangi oleh seseorang yang bukan utusannya."
Lantas, beliau yang telah selesai memeras air tumbuhan di dalam lumpang pun bergerak mendekati Dery dan duduk di sampingnya. Zora hendak mengatakan sesuatu lagi, namun ia batal melakukannya ketika melihat Mbah Sugeng memejamkan mata, meletakkan mangkuk berisikan air dari perasan tumbuhan tersebut ke dekat bibirnya. Lalu, Mbah Sugeng merapalkan sesuatu yang tidak dapat Zora dengar.
Setelah beliau membuka mata, secara perlahan air tumbuhan itu diminumkan pada Dery yang masih terlelap. Baik Zora, maupun Blacky yang sedari tadi ada di sudut pondok hanya menonton ketika Mbah Sugeng melakukannya.
Apapun itu yang diminumkan Mbah Sugeng kepada Dery, Zora menebak jika ramuan tersebut ditujukan untuk memulihkan kondisi fisiknya.
"Sekarang," ujar Mbah Sugeng setelah selesai meminumkan ramuan tersebut pada Dery. Pandangannya sudah kembali pada Zora.
"Apa?" Tanya Zora tidak mengerti.
"Aku akan mencari jawaban dari alam sekarang."
"Kemana kau akan mencari jawabannya?"
"Aku akan bertapa di puncak gunung ini," jawab Mbah Sugeng. "Paling lama, aku akan kembali besok sore. Dan selama aku pergi, pastikan Dery tetap baik-baik saja. Dengan kondisi tubuhnya yang lemah, hutan ini bukan lah tempat yang aman baginya."
Zora menganggukkan kepala mengerti. "Tentu saja aku akan menjaganya. Tanpa perlu kamu bilang pun, aku akan melakukan itu."
Sembari berdiri, Mbah Sugeng terkekeh. "Tapi kau gagal menjaganya kemarin."
"Kali ini, aku janji tidak akan gagal lagi."
"Yah, semoga saja," ujar Mbah Sugeng.
Di telinga Zora, pria tua itu terdengar tidak yakin, bahkan terkesan meremehkan janji yang Zora ucapkan itu. Dan setelahnya, tanpa mengatakan apa-apa lagi, termasuk kata-kata untuk pamit, Mbah Sugeng mengambil sebuah tas yang terbuat dari karung goni lusuh yang tergantung di dekat pintu pondok, lalu ia keluar pondok dan perlahan langkah kakinya terdengar menjauh.
Mbah Sugeng berangkat untuk bertapa mencari jawaban dari alam yang terus disebut-sebutnya.
Sementara Zora hanya bisa duduk di sebelah Dery, memerhatikannya yang sedang terlelap, menjaganya, berharap agar laki-laki itu bisa segera sadar dan baik-baik saja.
***
Dery tahu kalau sekujur tubuhnya sakit. Ia juga tahu kalau sekarang, dirinya sedang tidak sadarkan diri. Padahal, Dery sangat ingin bangun dari ketidaksadarannya dan mengomeli keadaan yang terjadi padanya. Namun, tidak peduli seberapa keras ia mencoba untuk membuka matanya, ia tetap tidak bisa melakukan itu.
Bahkan, ketika dirinya bisa mendengar dengan jelas percakapan antara Zora dan Mbah Sugeng, merasakan ketika Mbah Sugeng meminumkannya sesuatu, Dery tetap tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya seolah tidak bisa berkoordinasi untuk bergerak, membuka mata, maupun mengucapkan sepatah kata pun. Yang berfungsi hanya lah kesadarannya. Karena itu, ia agak merasa frustasi.
Mula-mula, hanya gelap yang bisa Dery lihat. Tapi, tidak lama setelah Mbah Sugeng memberinya ramuan yang rasanya seperti air cucian kaos kaki, perlahan ada setitik cahaya yang muncul di ujung kegelapan yang dirasakannya. Titik cahaya yang semula hanya berbentuk bulat kecil, perlahan seolah mendekat dan membesar, hingga menggantikan gelap menjadi terang.
Oh oke, ini mimpi. Otak Dery langsung berpikir begitu setelah cahaya terang itu jadi merubah penglihatan Dery yang awalnya gelap, berubah jadi ruang tamu rumahnya. Rumah bersama Engkong. Rumah yang sudah ditinggalinya sejak kecil.
Dery duduk di kursi panjang yang ada di sana. Seharusnya, ia berkeliling rumah, tapi entah kenapa di mimpi itu dia terlalu malas melakukannya, sehingga hanya duduk diam di sana. Lalu, tidak lama setelah Dery duduk, ada yang menghampirinya ke sana. Dan Dery sukses dibuat tertegun sekaligus ingin menangis karena melihat orang tuanya lah yang datang menghampiri.
Sungguh, Dery sadar jika ini semua hanya lah mimpi, dan sama sekali tidak nyata. Karena jika ini adalah kenyataan, orang tuanya tidak mungkin ada, tidak mungkin terlihat sehat, duduk mengapitnya di kanan dan kiri, lalu memberikan senyuman terbaik mereka untuk Dery. Sebab, sedari Dery masih kecil, mereka sudah pergi.
Namun, ini semua terasa nyata. Bahkan, ketika Dery menyentuh kedua tangan mereka pun, rasanya seperti nyata.
Ini cuma mimpi...ini cuma mimpi...ini cuma mimpi...
Alam bawah sadar Dery terus mengingatkannya akan hal itu. Ia tidak mau terlena dengan mimpi serupa kenyataan ini, dan pada akhirnya harus bangun dengan perasaan kecewa.
Sudah lama sekali sejak Dery melihat orang tuanya, bahkan meski hanya di dalam mimpi. Bahkan, ia hampir lupa dengan rupa mereka, walau masih bisa mengenalinya dengan sangat jelas.
Dery rasa, dia menangis ketika dirinya dipeluk dari sisi kanan dan kiri oleh kedua orang tuanya. Sang ayah mengusap-usap kepala Dery, sementara sang ibu memberinya sebuah kecupan di pipi dan kening.
"Ya ampun, anak Ibu ternyata udah dewasa..." ujar Ibu. Suaranya, persis seperti suara Ibu yang Dery kenal.
Ayah menepuk-nepuk punggung Dery. "Kamu tumbuh jadi anak yang baik ya, Dery. Kami bangga sama kamu yang sudah mau menolong banyak orang yang membutuhkan kamu."
Dery tidak tahu harus mengatakan apa-apa. Lidahnya kelu. Mungkin, karena ini hanya mimpi. Yang bisa dia lakukan hanya lah menggenggam tangan Ayah dan Ibu dengan erat, merasakan kehangatan, walau semuanya tidak nyata.
"Apapun yang terjadi, tetap bertahan ya, Dery. Kami tau, kamu pasti kuat. Kamu bisa melalui semuanya."
"Dan nanti, kamu pasti akan tau siapa kamu sebenarnya."
Dery menggelengkan kepala. Ia tidak mengerti. Apa yang akan dilaluinya? Memang dirinya siapa? Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tidak mampu disebutkannya.
Ayah dan Ibu hanya tersenyum pada Dery dan kembali memeluknya erat. Lantas, bersama-sama mereka berkata, "Kami menyayangimu, Dery. Selalu."
Dery ingin menjawab bahwa dirinya juga menyayangi mereka. Sangat amat menyayangi mereka dan selalu begitu. Ia juga rindu dan selalu punya keinginan untuk melihat mereka sekali lagi, walau hanya di alam mimpi. Kalau pun ternyata ini kematian, Dery akan rela. Tidak apa-apa mati, jika bisa berkumpul bersama orang tuanya.
Tapi, harapan itu ternyata tidak terkabulkan. Di saat Dery berpikir ia bisa berkumpul lagi bersama orang tuanya dan kali ini tidak akan terpisahkan lagi oleh maut, sebuah sentakan energi yang besar menariknya dan membuatnya terseret pergi dari orang tuanya. Bahkan, di saat ia belum sempat balas mengatakan bahwa ia menyayangi dan selalu merindukan mereka.
Ketika Dery membuka mata, sebuah langit-langit yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu langsung menyambutnya. Perasaan deja vu pun menyerang Dery. Rasanya sama persis ketika ia pertama kali terbangun di pondok ini waktu itu.
Dery kembali memejamkan mata saat merasakan pening yang menusuk di kepalanya. Saat ia kembali membuka mata, Dery sama sekali tidak menyangka akan disambut oleh wajah Zora yang begitu dekat. Kemudian, bibir mereka bersentuhan.
Zora menciumnya tepat di bibir.
DERY LANGSUNG GILA.