Cuma Segitu Doank, Usahamu, Prana?

1085 Kata
"Sampe kapan kamu mau begini, Tania?" sembur Prana. Aku yang baru saja turun dari mobil, cukup kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Kenapa sih, orang ini, pagi-pagi udah misuh-misuh. Aku menduga ini karena kemarin, perihal aku tidak menjawab panggilan teleponnya. Jadi aku berpura-pura tidak mengetahui kenapa Prana begini dan memilih menghindarinya. Kemarin, aku memang sengaja tidak menjawab panggilannya bahkan sengaja tidak membuka pesan-pesannya. Aku tidak mau dia merasa aku menanggapinya, membalas perhatiannya, dan yang lebih parah, bisa saja dia menganggap aku menerima perasaannya. Namun, jujur saja, kemunculan dia pagi ini hampir saja mendobrak pertahananku. Dia tidak pernah lelah. Sempat aku berpikir untuk mencoba, hanya saja hubungan hanya akan berjalan di tempat, hatiku tidak bisa menerima semua ini meski satu sisi ada rasa yang menyusup begitu saja. "Maaf Prana, aku gak bisa." Lalu berjalan ke ruangan dan membiarkannya di belakang mengikutiku. "Aku akan tunggu sampai kamu siap, Tania. Siap membuka hati kamu." "Aku gak pernah minta kamu untuk nunggu. Pergi, Prana, cari orang lain, yang jauh lebih baik dari aku." Aku berjalan memutar, karena Prana sengaja menghalangi jalan sehingga celah antara dua mobil itu tidak bisa aku lalui. Rupanya lelaki itu tidak menyerah, dia mengekoriku seperti bayangan. Pak Dirman yang sedang menyapu bagian depan kantor menatap kami dengan tatapan bingung. "Apa yang kamu khawatirkan?" "Prana, aku mau kerja. Kamu tahu sendiri kan tim audit lagi gencar periksa keuangan. Banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan. Jadi tolong, izinkan aku bekerja dengan tenang." "Memangnya kamu tega membiarkan aku kerja dengan perasaan tidak tenang. Aku butuh kepastian, Tania. Aku butuh jawaban kamu." Ketika Tania sampai di ruangannya, Tania melirik sebuah mug baru, warnanya merah marun, modelnya lebih bagus dari mug lama yang pecah tempo hari. "Kamu beli itu?" tanya Tania. "Gak penting, Tania. Itu hal sepele, jangan alihkan pembicaraan ini. Karena ada yang lebih penting yang harus kita bicarakan baik-baik. Selain mug itu, iya, aku yang beliin, buat kamu. Tapi bukan itu inti permasalahannya, agh …" Prana menggaruk kepalanya kasar. Alisnya yang tebal bertaut, dari sana aku tahu, lelaki itu tidak akan menyerah. "Aku sudah tidak bisa lagi mengarungi rumah tangga. Mulai kembali dari nol. Aku trauma Prana." "Aku gak seburuk mantanmu, keluargaku gak sejahat keluarga mantanmu, gimana caranya aku meyakinkan kamu, gimana Tania?" "Siapa yang jamin? Siapa yang jamin kamu gak nyakitin aku? Siapa yang jamin keluargamu bisa terima aku dan gak jahatin aku? Siapa yang bisa jamin aku gak terluka lagi?" Tidak sadar aku meninggikan suara. Prana mungkin tidak tahu, aku sakit, hatiku terluka. Di luar saja aku terlihat bahagia, tersenyum, tegar, selalu hadir di garda terdepan ketika teman, orang kantor, bahkan OB yang hampir dipecat pun aku siap bela, aku kuat. Tapi hatiku rapuh. Trauma yang ditorehkan lelaki b******k itu membuatku begini. Melangkah ke jenjang pernikahan lagi untuk yang kedua kalinya, itu sama saja artinya aku siap untuk jatuh ke lubang yang sama. "Gak ada, Tania. Bahkan aku sendiri gak bisa jamin bahwa kamu akan selalu bahagia, tapi aku janji akan berusaha sekuat tenagaku, membahagiakan kamu, menjauhkan kamu dari orang jahat, melindungi kamu ...." "Prana, kamu cuma kebawa suasana. Karena sehari-hari hanya aku yang kamu lihat. Kamu harus balik lagi, Prana. Sebelum perasaan kamu semakin dalam. Lihat dunia luar. Di sana kamu akan ketemu orang banyak, matamu akan terbuka, banyak wanita yang jauh lebih baik dari aku. Jangan habiskan waktu mudamu cuma untuk mengajakku menikah, karena itu percuma." Aku memotong ucapannya. Sudah tak kuasa aku menahan amarah. Prana mengusap wajahnya, dia seperti sedang berpikir keras, apalagi yang harus dilakukannya. "Oke, terserah kamu mau bicara apa, aku akan memperjuangkan kamu. Aku akan berjuang membuat hati kamu terbuka." "Mari bertaruh," ucapku, menantangnya, kala dia melangkah dengan lesu menuju ruangannya. Hari ini merupakan hari yang luar biasa. Lima laporan keuangan dari store yang berbeda melenceng sangat jauh. Untungnya, Yani yang merupakan bagian keuangan pabrik bersedia membantuku untuk memeriksa data yang tidak singkron ini. Saat makan siang Pak Dirman membawakanku nasi padang dengan lauk ikan kembung sesuai dengan pesanan. Aku mulai makan di tengah tumpukan pekerjaan yang harus selesai hari ini. Dan Prana tidak sekali pun menunjukkan batang hidungnya. Dia seperti ditelan bumi. Ada perasaan tenang kala pria itu tidak lagi merecokiku. Juga perasaan kehilangan saat aku tidak menemukan senyumannya. Aku memutuskan pulang setelah salat magrib di musola. Namun sebelumnya aku mampir ke ruangan meeting. Siang tadi saat meeting dengan manager store sepertinya aku meninggalkan catatanku di sana. Kuseret langkah menuju ruang meeting. Sayup-sayup aku mendengar percakapan dua orang, laki-laki dan perempuan. Sesekali keduanya tertawa, dan entah mengapa hatiku seperti dicubit. "Eh ... Sorry, ganggu ya? Cuma mau ngambil catatan, tadi ketinggalan tadi abis meeting," ucapku, sebisa mungkin bersikap biasa saja, sambil melambaikan catatan yang memang aku cari. Prana terkejut kala aku melihatnya sedang asik ngobrol bersama Banun. Secepat kilat, kuambil buku yang tadi tertinggal. Sebelum berlalu aku berujar pada mereka, "Udah, kalian jadian, deh. Tuh, mumpung ada kesempatan bagus, Pak Prana. Betul, kan, Banun. Lagian Banun itu high quality jomlo, Pak. Jangan sampe Bapak keduluan kumbang lain untuk melamarnya, nanti nyesel, loh." Prana tersenyum pahit, Banun tersipu, dan aku ... Teriris. Ah salah siapa? Begitu yang aku bilang kepada diriku senditi. Tapi, hei, coba lihat, itu Prana, yang tadi pagi kekeuh bilang dia akan berjuang untukku? Mataku sakit kala Prana tersenyum pada Banun, dia memberikan senyum yang sama, seperti senyum yang dia tunjukan kepadaku. Apa artinya semua ini, Prana? Aku berusaha menepis rasa yang mencubit dalam d**a, berjalan melalui koridor yang sepi irama sepatu yang beradu dengan lantai keramik. Terbayang dengan jelas bahagianya Banun saat tertawa bersama Prana. Aku salah karena terlalu meletakan rasa terlalu cepat. "Tania, tunggu, Tania. Buru-buru amat, sih. Hei ... Tania, STOP!" Prana setengah berteriak, membuatku mau tidak mau berhenti juga. "Ada apa? aku buru-buru, sudah malam. Besok harus ngadep bos besar. Harus nyiapin laporan, aku belom mandi, gerah banget, makanya aku ..." "Aku sama Banun cuma ngobrol mengenai hasil rapat tadi, kami membahas rencana ke depannya. Karena tadi Banun kasih beberapa ide dan gagasannya," kilah Prana. aku berusaha untuk tidak peduli. "Prana ... udah, aku gak butuh penjelasan apa-apa. Kamu sama Banun mau ngobrol kerjaan, bahkan bahas masa depan kalian pun, aku gak peduli. Selamat malam, assalamualaikum." Mau tidak mau aku harus bergegas, Prana bisa saja terus mengikutiku dan perdebatan akan semakin panjang. Sepanjang perjalanan menuju parkiran banyak sekali sekelebat bayangan tentang segala macam kebaikan Prana, terutama senyumannya. Tenggorokanku rasanya tercekat, seperti ada sesuatu yang mengganjal dan mendorong kelenjar air mata untuk berproduksi lebih banyak lagi. Hingga tak mampu mengelak, mereka luruh begitu saja. Mengaburkan pandanganku di antara remangnya penerangan menuju ke tempat parkir.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN