Prana Lagi

1040 Kata
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar, membersihkan diri, dan menyeduh kopi. Iya, kopi memang hal terbaik untuk meredakan sakit kepala yang sejak tadi aku rasakan, seperti ada palu besar yang dipukul berkali-kali. Makanan yang tadi tidak habis dan aku bawa pulang, berujung dengan teronggok di meja kecil yang memang aku khususkan untuk menaruh makanan. Gemintang yang menghiasi langit tidak mampu membuat perasaanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Pekatnya malam pun tidak jua mengantarkan rasa kantuk. Sejak pulang dari Mall sore tadi, kusimpan gawai di atas nakas. Tidak ada niat sedikit pun untuk melihat isinya. Sepanjang perjalanan dari mal ke indekos tadi, panggilan dari Prana tak kunjung henti. Setelah kepalaku agak reda sakitnya, mata juga sudah mulai kantuk, aku mencoba untuk naik ke ranjang berniat untuk tidur, dan gagal. Sejam dua jam mataku tidak juga terpejam, segala surah Al-Quran sudah aku putar, hanya berhasil membuatku memejam sebentar, lalu melek lagi. Hingga terdengar suara kentungan warga yang tengah melakukan ronda malam adalah satu pertanda bahwa jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku bangkit menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudu, mungkin baiknya aku salat malam saja, daripada menghabiskan waktu gak jelas bolak balik badan di atas kasur. Ketika di dalam kamar mandi dan mengambil wudu, samar-samar masih terdengar suara musik, mungkin dari kamar sebelah atau kamar depan yang masih begadang nyusun skripsi. Setelah selesai mengambil wudu, aku membentangkan sajadah dan memakai mukena, bertakbir di tengah keheningan malam adalah kenikmatan yang tidak semua orang bisa rasakan. Menumpahkan segala rasa, rasa syukur, rasa kesal, sedih, emosi, bahkan tekadang ketika kemarahan, kesedihan atau kekecewaan sudah terlalu di ambang batas, tidak ada kata yang keluar, hanya duduk bersimpuh, berzikir, dan menumpahkan seluruh air mata dalam diam. Karena aku yakin, Allah tau apa yang terbersit di hatiku, Allah tau apa yang sedang terjadi padaku, hamba-Nya ini. Sebelas rakaat sudah aku mengerjakan salat malam kali ini, dengan lampu kamar yang aku matikan, suasana hening dan tenang membuat semua kejadian berputar, ketika aku membantah ucapan Bapak dan Ibu lalu menikah dengan Abizar, ketika aku menutup usaha dimsumku dan memilih untuk melamar kerja pada perusahaan yang sekarang, ketika hari pertama aku sudah dianggap sebagai anak kesayangan Pak Anhar, padahal sebenarnya hanya untuk membuatku nyaman saja Pak Anhar baik seperti itu, bagaimana akhirnya aku diberi kepercayaan untuk menjadi wakil manager finance dan membawahi Yani juga Banun. Ah … nama itu, nama yang sukses membuat napsu makanku berkurang bahkan jatuh, nama yang belakangan ini jadi masalah sendiri di dalam diriku. Dan nama itu juga mau tidak mau harus aku sandingkan dengan Prana, sosok pria yang ketika pertama kali datang ke kantor sudah mencuri perhatian banyak karyawan wanita di sini, tidak sedikit mereka mencoba mendekati Prana. Aku ingat, sebulan sejak Prana masuk ke kantor, ada beberapa karyawan dari divisi administrasi bahkan HRD yang bolak balik ke lantai tempat kami berada, hanya sekedar untuk jalan keluar ke kantin. Padahal dari lantai mereka sudah ada lift yang bisa langsung turun menuju ke kantin, tapi mereka yang di lantai tiga dan lantai empat, sengaja turun ke lantai dua, untuk sekedar jalan dan melewati meja Prana. Semakin hari, akhirnya perangai perempuan-perempuan di kantorku terhadap Prana semakin terbongkar, termasuk Banun, perempuan muda yang tidak pernah kena kalo didekati dengan beberapa pria di kantor, justru langsung meleleh ketika melihat Prana pertama kali. Lalu bagaimana dengan aku? Iya, aku juga menaruh hati terhadapnya, hanya saja sebisa mungkin aku acuhkan. Karena aku sadar, akan sangat salah banget karena jatuh terlalu jauh pada rasa yang tidak seharusnya hadir. Seharusnya aku sadar diri Prana adalah anak muda yang mungkin akan memilih gadis yang jauh lebih baik, lebih sempurna fisiknya cantik dan saleh, dan dalam hal ini Banun adalah salah satu referensi terbaik yang ada di depan matanya, makanya ketika Banun juga dengan terang-terangan walaupun masih malu, menunjukkan sikap dan perasaan sukanya kepada Prana, aku tidak bisa apa-apa. Yah, walaupun memang ada terbetik sedikit rasa cemburu di hati, tapi siapa aku jika dibandingkan dengan Banun yang cantik, kemayu, tutur katanya lembut, penghafal Quran, siapalah aku yang dari segi fisik pun kalah jauh dengan Banun. Poin penting yang juga harus dijadikan pertimbangan adalah status yang kumiliki. Dan seorang Tania adalah janda, status yang memalukan, aku bukanlah gadis yang bisa dibanggakan oleh Prana. Status ini akan menjadi penghambat ke depannya, aku sangat yakin akan hal ini, karena itu juga aku sadar diri, sebelum terlambat sebaiknya aku mundur, sebelum aku lebih sakit karena kekecewaan yang akan aku rasakan, lebih baik aku tau diri dan tidak mencoba untuk ikut bertarung memperebutkan hati Prana. Meskipun beberapa hari belakangan ini Prana seperti menunjukkan perhatian yang jika dilihat-lihat dan aku merasakannya lebih dari sekedar perhatian ke teman kerja. Setelah lama aku duduk bersimpuh, bicara dengan diriku sendiri, mencoba merayu Allah agar membuat hatiku kuat dan menutupnya dari serangan tiba-tiba yang bisa membuat aku akan semakin dalam masuk ke jurang ketidakpastian yang menyakitkan. Malam semakin larut, aroma udara subur mulai tercium, menandakan sebentar lagi akan masuk waktu subuh, aku mengakhiri sesi curhatku ke Allah, melipat mukena dan sajadah yang aku pakai tadi, lalu menuju ke ranjang untuk sekedar memejamkan mata, musik dari kamar sebelah pun kini sudah berhenti berganti senyap yang menyergap. Kalau saja besok libur mungkin tidak tidur sampai azan subuh nanti adalah pilihan yang tepat. Mengingat dalam tidur pun ketakutan menyerang. Aku takut bertemu dengan Prana dalam mimpi, karena akhir-akhir ini terlalu banyak memikirkannya menyebabkan alam bawah sadar mengundang dirinya untuk hadir dalam mimpi. Mencoba untuk membuat ruangan semakin gelap, agar bisa membuat mataku beristirahat. Lampu yang dari tadi menyala akhirnya aku padamkan, diganti lampu tidur yang cahayanya remang. Kulangitkan doa, agar Allah mengizinkan aku tidur, walau sebentar saja, doa yang aku panjatkan juga memohon ke Allah, agar dalam tidurku kali ini Allah memberikan kebahagiaan dan ketenangan. Setelah membaca doa, lalu kubiarkan alam bawah sadar membawaku yang tengah resah. Manakala mata terpejam dengan kurang ajar, wajah cemas Prana yang aku lihat siang tadi saat mengejar taksiku berputar di kepala. Ah, Prana, kamu lagi. Tidak bisakah sebentar saja enyah dari kepalaku, aku mau tidur, istirahat sebentar saja, sebentar saja sebelum azan subuh berkumandang. Berhasil memejamkan mata sebentar, tidur sekeliyepan yang nikmat lalu dibangunkan oleh sayup suara azan subuh yang merdu, membuka mata lalu mengucapkan syukur masih diberikan Allah kesempatan untuk hidup, bernapas, dan meneruskan kehidupanku di dunia ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN