Babak Belur Dibuat Debt Collector

1450 Kata
Handphoneku dari tadi berdering gak berhenti-berhenti, sementara aku di rumah sendirian sedang mengerjakan pesanan dimsum yang akan diambil nanti siang pukul satu. Tanganku lagi belepotan adonan udang, dan Abizar sejak tadi setengah tujuh pagi sudah keluar, “Aku ada urusan di luar, gak usah nanya aku di mana.” Jadilah, aku harus menyelesaikan dulu, sedikit lagi urusanku dengan adonan dimsum ini. Sekitar lima belas menit kemudian, semua pekerjaan membungkus dimsum selesai, sudah aku masukan juga ke kukusan, dan aku baru bisa melihat handphoneku, untuk memeriksa siapa yang daritadi meneleponku tidak berhenti-berhenti. Dua nama yang saling bergantian meneleponku, Abizar dan Kak Puspa. Aku mencoba memeriksa pesan, hanya pesan dari Abizar, yang masuk, “Telepon itu diangkat, sih, ato dibuang aja itu handphone sekalian.” Aku jadi kesal, ada apa sih, sampe marah-marah begitu. Karena penasaran ada kepentingan apa Abizar dan Kak Puspa bolak balik nelepon aku, akhirnya aku menelepon nomor Abizar kembali, hanya nada dering saja tapi tidak ada yang angkat, berkali-kali. Karena tidak kunjung diangkat, jadi aku memutuskan untuk menelepon Kak Puspa, hanya dalam satu kalo deringan, teleponku langsung diangkat, “Kemana aja si, Tan. Berkali-kali saya coba neleponin kamu, gak dari nomor saya, gak dari nomor Abizar, gak ada sautan sama sekali. Cepat kamu ke sini, Abizar ada di rumah, dia ini abis dipukulin orang, badannya luka-luka. Sekalian bawa baju beberapa pasang, kalian nginep di sini dulu untuk sementara.” Aku mencoba mencerna semua ucapan Kak Puspa, Abizar dipukulin orang, Abizar luka-luka, nginep di rumah besar? Ini orang seenaknya aja ngatur urusan rumah tangga orang, itu dimsum di kukusan masih belom mateng, belum lagi pesanan dimsum untuk beberapa hari ke depan sudah aku terima, “Kak, kenapa Abizar gak diantar pulang aja, atau naik taksi online gitu, aku lagi nunggu pesanan dimsumku matang.” Di ujung sana membentakku semau mulutnya bicara, “Dasar istri gak mikir, kamu gak ada otak atau gimana sih, ini suamimu lagi luka-luka, kamu ke sini, donk, urus suamimu. Malah disuruh pulang sendiri, saya tunggu. Kamu itu istrinya, ya suami ini diurus, kalo saya lagi yang ngurus, ngapain kemaren adek saya ngeluarin uang banyak buat nikahin kamu?” Aku tidak mendebat lagi, hanya meng-iya-kan ucapan Kak Puspa, “Baik, nanti aku ke sana.” sebelemu mematikan handphone pun Kak Puspa masih mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan, “Sekarang, Tan, sekarang loh kamu ke sini, bukan nanti.” Tidak aku jawab lagi, langsung aku matikan sambungan teleponnya. Aku ke dapur untuk memeriksa sudah seberapa matangnya dimsumku, setelah itu menghubungi orang yang sudah order dimsum, bahwa aku akan mengantarkan dimsum mereka beberpa jam lebih cepat, beruntung hari ini hanya ada tiga alamat yang beli dimsumku, jaraknya juga tidak terlalu berjauhan dan searah dengan rumah besar. Setelah memastikan semuanya aman, aku mencicil untuk membereskan beberapa pasang baju yang akan dibawa ke rumah besar nanti. Aku berencana hanya satu atau dua hari saja di sana, tidak mau berlama-lama, selain tidak sehat untuk keadaan kejiwaan dan rumah tanggaku, tinggal di sana juga membuatku tidak leluasa untuk memasak pesanan dimsum, yang nanti akan berdampak pada kesehatan dompet dan pemasukanku. Setengah jam kemudian, handphoneku kembali berdering, nama Abizar tertera di layar, “Ya, Bi …” tidak salam, tidak halo, tidak hai, langsung ngebentak aku, “Dasar istri gak berguna. Udah sampe mana kamu, daritadi ditungguin gak dateng-dateng, ini sampe kakakku yang ngurusin aku, DI MANA KAMU, TANIA?” aku terkesiap, ini orang pada kenapa, sih, daritadi ngejerit, ngebentak, nyuruh, kayak aku babu mereka, “Aku masih di rumah, ini pesanan dimsum orang kan harus diselesaikan karena kalo gak diselesaikan dan diantarkan aku bakal rugi, rugi bahan, rugi pelangganku pergi. Nanti kamu juga yang ikutan pusing, kalo aku gak ada pemasukan. Sabar bisa, kan? Kamu toh masih bernapas.” Aku menarik napas panjang, sudah tidak bisa lagi aku bersabar, tidak ada jawaban dari ujung sana, “Lagian, kamu juga aneh, Bi. Kalo ada apa-apa, kenapa kok pulangnya ke rumah besar, di sini istrimu. Kamu nuntut aku untuk ngurus kamu, tapi kamu malah perginya ke sana, ya karena udah terlanjur kamu ada di sana, minta tolong lah dulu sama Kak Puspa buat jagain kamu, sebentar. Habis urusan dagangku beres, aku bakal ke sana, KALIAN GAK USAH BENTAK-BENTAK SAYA, PAHAM?” telepon langsung aku matikan, sebodo amat, mau marah, mau apa, udah gak perduli lagi aku. Handphone aku matikan suaranya, handphone aku setting dalam keadaan mode diam. Biar aku bisa fokus sebentar saja ngurus daganganku, sumber penghasilanku. Setelah dimsum aku angkat dari kukusan, aku diamkan sebentar, dan ketika sudah setengah dingin aku langsung masukkan ke dalam wadahnya, agar tidak terlalu panas tapi juga tidak terlalu dingin. Setelah membungkus dimsum sesuai pesanan, memastikan baju aku dan Abizar aku memesan taksi online, dan menunggu sekitar sepuluh menit lalu taksinya datang. Aku meminta taksi online tadi untuk berhenti di beberapa alamat, yang satu jalan, “Pak, saya mau minta tolong, nanti ada beberapa tempat yang harus saya datangi, satu jalur, kok, bisa, ya, Pak, nanti saya lebihin.” Untung banget pak supirnya baik, “Siap, Mbak, gak apa-apa, saya juga gak buru-buru. Sejak pagi saya belum narik sama sekali, untuk orderan Mbak masuk, ke mana juga saya antar.” Orang lain, yang aku gak kenal, bisa sebaik ini sama aku, sementara kakak iparku sendiri, kakak dari suamiku, bicara ke aku semaunya, mengerluarkan kata-kata kasar alih-alih berkata lembut. Aku mencoba untuk menyandarkan kepalaku di senderan kursi, ada denyut yang dari tadi aku rasakan tapi tidak aku hiraukan, dan rupanya denyut ini sekarang lebih berasa karena berubah menjadi sakit yang lumayan mengganggu. Setelah jalan ke tempat-tempat yang memesan dimsum, taksi online langsung mengarah ke rumah besar, hanya menghabiskan waktu sekitar lima belas menit, aku sudah sampai di depan rumah. Entah apa yang sedang aku pikirkan, beberapa detik aku melamun, dan kaget ketika supir taksi online memanggil namaku, “Mbak Tania, udah sampe, Mbak, bener kan ini rumah?” aku terkesiap, setelah membayar ongkos dan menurunkan tas yang berisi baju Abizar dan aku, aku masuk ke dalam, dan di ruang tamu ada Abizar dengan satu orang perempuan, dengan posisi mereka duduk saling bersebelahan. Aku yang kaget dengan keadaan tersebut, refleks bertanya, “Eh, kamu siapa, Mbak? Dempet amat duduk sama suami saya?” perempuan itu yang awalnya gak menyadari kedatanganku di tempat itu, tiba-tiba bergeser beberapa senti dari Abizar. Dengan kikuk Abizar menyapaku lalu menjelaskan siapa perempuan itu, “Tan, udah dateng? Ini Sofia, teman SMA-ku dulu. Dia kebetulan perawat di puskesmas kecamatan. Dia bantu ngobatin luka-lukaku.” Aku hanya mengangguk, masuk ke dalam, dan bertemu Kak Puspa, “Lama banget baru datang, dasar gak niat ngurus suami. Jangan nyesel nanti kalo suamimu diurus sama perempuan lain yang lebih telaten.” Aku hanya diam, tidak menanggapi, langsung terus jalan ke kamar belakang, kamar Abizar selama ini, dan kamar yang kami pakai kalo menginap di sini. Setelah selesai nyusun baju di lemari, aku merebahkan tubuhku yang tidak berapa lama kemudian Abizar masuk ke kamar menyusulku, “Tan. Rumah itu rencananya mau aku jual. Tadi aku ditagih debt collector bank, karena udah tiga bulan ini aku tidak bisa bayar bunga sekaligus pinjamanku.” Aku yang tadinya berniat untuk beristirahat sebentar, terperanjat, dan bangun terduduk. Mencoba mengerti dan memahami kata-kata yang Abizar ucapkan, “Pinjaman apa, Bi? Sejak kamu gak kerja, kamu gak pernah keluar uang sepeser pun, kan, dan uang yang tiga kali kamu pernah kasih ke aku itu, kemarin kamu bilang pinjam ke Kak Puspa, kok bisa kamu pinjam ke bank?” Dengan wajah tidak menyenangkan, mungkin dia mau marah, dia menjawab pertanyaanku, “Ya uang itu kan aku pinjam ke Kak Puspa, harus dikembalikan, kan? Makanya aku pinjam ke bank, sisanya aku pakai untuk ikut treding saham, Tan. Temanku ada yang nawarin, kemarin, aku pikir dengan modal uang yang sedikit, bisa dapet untung besar, ternyata amblas, sisanya ya aku belikan barang kebutuhanku, rokok, terus kalo lagi ada kumpulan sama teman-teman, kan aku juga butuh uang, bensin motor, dan beli beberapa item game yang sering aku mainkan daripada aku main perempuan atau mabuk?” Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Bisa-bisanya Abizar ngajuin pinjaman ke bank tanpa sepengetahuanku dan uangnya habis untuk hal-hal yang gak penting sampai harus menjual rumah kami. Sekarang aku yang pusing, harus tinggal di rumah ini lagi bukan pilihan yang mudah, belum lagi aku sudah ada usaha yang harus tetap berjalan. "Kita ngontrak aja deh, Bi. Gak mungkin rasanya kalo harus tinggal di sini lagi, aku sudah ada usaha yang menyita waktu, gak mungkin aku bikin daganganku sementara dapur hanya satu, belum untuk masak makanan buat keluarga ini, belum daganganku." Abizar mendekus keras, sambil jalan keluar dia ngomong, "Benar kata Kak Puspa, kamu memang gak pernah mau nyampur dengan keluarga ini, kamu selalu memisahkan diri." dan membanting pintu kamar tepat di depan mukaku, aku benar-benar kehabisan kata-kata dibuat Abizar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN