Bersirobok Tatap

1025 Kata
Kuhapus air mata yang terus berjatuhan tanpa sebab. Kenapa kubilang air mata itu turun tanpa sebab, karena memang aneh, masa iya aku menangis hanya karena melihat Prana dan Banun jalan bersisian. Mungkin mereka sedang kencan. Pria yang kemarin, sering menyatakan cinta, beberapa kali, bilang bahwa dia serius, mau menikah denganku, yang sudah jauh merancang masa depan. Tapi lihatlah, hari ini, dia sendiri yang justru menjilat ludahnya sendiri. Aku pikir, Prana tidak begitu, at least ketika dia berani bilang sayang dan mau serius sama aku, aku mengubah pandanganku, sedikit, tentangnya, tapi ternyata semua pria pada dasarnya sama saja. Well … sorry, kalo aku salah, dan ada satu atau dua atau beberapa dari kalian yang protes, “Wei, aku gak gitu.” Sorry banget, tapi, beberapa lelaki yang hadir di kehidupanku, kebanyakan begitu. Kalo kalian gak begitu, bagus, deh, pertahankan, kalian adalah termasuk orang-orang yang langka. Yang pasti aku salah sangka, salah juga karena mengharapkan sesuatu yang mungkin tidak pernah aku dapatkan. Dan kesalahan terbesarku adalah membiarkan hatiku terbuka dan menerima Prana yang mulai masuk, harusnya itu tidak terjadi, harusnya aku tetap pada pendirianku, menutup pintu hati ini, selamanya, mungkin, atau minimal sampai aku benar-benar sembuh. Toh, bukankah selama ini sudah bertekad untuk tidak menjalin hubungan lagi? Seketika aku sadar dari lamunanku, aku memilih untuk menghilang secepatnya dari tempat ini, lalu mataku berkeliling mencoba mencari pramusaji yang bisa membantuku, dan aku melihat ke arah counter mencari pramusaji. “Mas,” teriakku, sambil melambaikan tangan memanggilnya. Dengan tergopoh-gopoh, sedikit berlari, seorang pemuda dengan apron cokelat muda itu menghampiri mejaku, “Ada yang bisa dibantu, Teh?” tanya pemuda itu. Aku mengangguk, “Bisa tolong bungkus makanan ini, Mas? Sambil minta billnya, ya, Mas.” Pemuda itu meng-iya-kan permintaanku, “Bisa, Teh, tunggu sebentar, ya. Sekalian nanti saya bawakan billnya.” Lantas pramusaji itu membawa pesanan yang sudah tersaji di meja menuju ke counter. Setelah menunggu beberapa menit, sekitar lima belas menit, pemuda tadi datang dengan membawa bungkusan, dan bill tagihan, “Silakan, Teh. Ini billnya, ini bungkusan makanannya. Bayarnya di kasir di depan, ya Teh, dekat pintu keluar.” Aku mengangguk, “Makasih, ya.” lalu mengambil bungkusan makananku, dan berjalan menuju pintu keluar sekalian membayar pesanan makananku. Rencanaku untuk belanja, bubar. Pada akhirnya aku langkahkan kaki menuju Indekos, padahal tujuanku untuk belanja bulanan dan melihat-lihat baju yang siapa tau ada yang bagus, buyar, gagal, gara-gara dua makhluk menyebalkan ini. Ini bukan pertama kalinya aku kecewa pada Prana dan begitu juga untuk yang kesekian kalinya kecewa pada laki-laki. Kenapa, sih, kalian tuh, para lelaki, suka banget melakukan dan berasumsi hal-hal yang hanya benar menurut kalian? Aku pernah juga sempat dekat dengan seseorang, di saat aku tidak jadi pergi dengannya, dia justru pergi dengan adik kelas kami. Ketika aku tanya kenapa dia malah jalan sama perempuan lain, jawabnya lurus dan lempeng banget, “Ya, aku kan gak jadi pergi sama kamu, terus dia minta temenin sama aku untuk cari makan dan baju, yak arena aku juga lagi gak sibuk, gak ada kerjaan, aku temenin deh. Lagian aku sama dia cuma teman saja, kok. Gak ada hubungan apa-apa.” Dan itu menurut dia baik-baik saja, gak ada yang salah. Entahlah, aku kadang berpikir, apa semua kejadian ini, menimpaku, ditinggal lelaki yang dekat denganku karena aku punya perangai yang kurang baik, suka ngambek, cepat tersulut cemburu atau kalian tuh, para lelaki yang memang gak pernah paham dan peka. Seperti dia, Prana, harusnya Prana jujur saja jika mau jalan dengan Banun, jangan bilang ada kepentingan yang terkesan ditutup-tutupi, gak perlu sampe segitunya bohong. Dengan tingkahnya yang begini, aku justru makin tambah yakin kalo dia gak serius sama aku, malah sekarang dia ngedeketin Banun. Kupercepat langkah menuju ke pintu luar, karena aku sudah memesan taksi online, yang semoga saja, ketika aku sampai di pintu keluar tempat ini, taksi onlinenya sudah datang, berharap tidak bertemu Prana dan Banun di depan Mal. Ketika sudah sampai di pintu keluar mall, ternyata taksi online yang kupesan belum juga muncul, aku sudah begitu resah, aku benar-benar gak mau lagi menyakiti hatiku dengan melihat kedua makhluk itu jalan berdua. Aku yang sedang menunggu taksi online yang aku pesan, sampai, mencoba menenangkan hati, melihat di sekelilingku yang dari jarak tiga meter aku bisa melihat orang-orang yang menggunakan kostum superhero, kostum tokoh kartun lalu berpose bersama pengunjung. Tidak lama, gawaiku bergetar, lalu panggilan dari nomor tak dikenal masuk, sepertinya ini driver. “Assalamualaikum,” ucapku. Benar dugaanku, ini driver taksi online, “Waalaikumsalam, sebelah mana, Mbak?” mungkin dia mencoba mencariku di antara keramaian pengunjung mall, “Di depan pintu keluar, sebelahan sama pos jaga parkiran, Mas.” Sopir mengiyakan, dia memang sudah dekat, tetapi ramainya pengunjung membuatnya sedikit bingung. Mataku terus berkeliling, menyapukan pandangan melihat deretan driver ojol yang menunggu pesanan. Menyaksikan orang-orang yang keluar dan masuk mal juga anak-anak yang antusias dengan orang-orang berkostum superhero. Beberapa di antaranya menangis ketakutan. Tak disangka, tatapanku bersirobok dengan orang yang tidak ingin aku lihat. Jelas tergambar dalam raut wajahnya orang itu sama kagetnya denganku. Namun, dia berusaha tenang, tersenyum dan berjalan pelan ke arahku, seolah berusaha membuatku juga tenang agar aku tidak kabur ke mana-mana. Dia salah perhitungan, aku sudah muak melihat wajahnya, dan untung saja taksi yang aku pesan sudah tiba. Buru-buru aku naik dan meminta sopir untuk segera, pergi dari tempat itu secepatnya, “Tolong cepat pergi, Mas. Saya dikejar orang gak dikenal, saya takut dia mau ada niat jahat ke saya.” Mendengar ucapanku, sopir tersebut, menjalankan mobilnya dengan agak ngebut. Aku melihat ke belakang. Mataku menangkap sosok Prana yang semakin mengecil, tidak ada Banun di sisinya, aku kembali menatap lurus ke depan, sambil mendengarkan ocehan sopir yang mengingatkanku agar berhati-hati, “Lain kali, kalo ada yang mencurigakan gitu, cari satpam aja, Mbak. Biar nanti kan kalo orangnya memang mau jahatin Mbak, satpam bisa bantuin. Hati-hati, Mbak sekarang ini …” dan entah apa lagi yang diucapkan sopir itu, aku hanya mengangguk-angguk, ucapannya seolah hilang timbul, masuk ke dalam kuping kananku dan sukses keluar tanpa ada sedikitpun yang nyantol di otakku. Kelebatan Prana masih sukses membuat perhatianku dan pikiranku fokus ke sana. Kemana Banun? Bukannya tadi mereka jalan rerendengan, berduaan. Masih jelas di ingatanku, senyum Banun yang seolah-olah mengejekku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN