Be Stong, Young Lady

1185 Kata
Sayup aku mendengar ada suara-suara berisik di sekelilingku. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja yang ada di sani. Yang pasti aku bisa mendengar suara wanita menangis yang lambat laun akhirnya aku sadari bahwa itu suara Ibu, lalu suara Prana yang entah sedang memarahi siapa, karena nada bicaranya seperti sedang memarahi seseorang, sementara Bapak, di mana Bapak, aku mencoba menerka keberadaan Bapak, sebelum aku menyadari sejak tadi ada yang mengelus kepalaku, iya, ini tangan Bapak, maka dengan tenggorokan yang serak, aku mencoba untuk memanggil Bapak, “Pak,” tapi entah kenapa mataku berat banget, benar-benar tidak bisa dibuka, jika tidak merasakan haus yang luar biasa, mungkin sekarang aku masih tertidur dan belum bangun. “Tania, Bu, Tania siuman, Bu. Prana, panggil dokter.” Bayangan Prana langsung menghilang dari ruangan, aku bisa mendengar Ibu bertanya kepadaku, “Tan, kamu gak kenapa-kenapa, kan. Apa yang dirasakan, Nak?” aku mengangguk, mau ngomong banyak tapi belum mampu dan hal pertama yang keluar dari mulutku adalah kalimat, “Aku haus, Bu. Minta minum.” Tidak berapa lama, Ibu menyodorkan gelas ke mulutku, “Tan, matamu kenapa gak dibuka, masih ngantuk?” aku mengangguk. Setelah derasnya air minum mengaliri kerongkonganku dan sukses membasahinya, aku baru bisa mengeluarkan suara, “Iya, Bu. Mata Tania berat banget. Lagi pada ngapain, Bu? Apa yang terjadi, kenapa tadi Tania dengar suara Prana teriak-teriak seperti itu?” aku yang kebingungan mencoba mencari penjelasan. Ibu dan Bapak tidak menjawab apa pun, hanya bilang ke aku, “Nanti dokter yang jelaskan, ya, Nak. Sekarang Tania tenang dulu.” Tidak berapa lama pengelihatanku sedikit demi sedikit sudah kembali, aku sudah bisa melihat dengan jelas lagi. Aku merasakan udara dingin seperti subuh yang menguar, apakah ini subuh? Bukannya tadi ketika aku tidur itu tidak lama dari azan zuhur? Memang sudah berapa jam aku tidur? Banyak banget pertanyaan di kepalaku yang butuh penjelasan. “Bu Tania, apa yang dirasa saat ini?” begitu pertanyaan Dokter Anastasi pertama kali setelah memeriksa keadaanku. Aku mencoba diam sebentar untuk benar-benar mencari rasa yang tidak nyaman yang dirasakan oleh tubuhku, “Masih nyeri di bagian itu saya, Dok. Lalu ini pergelangan tangan saya juga masih ngilu, dan saya ngantuk banget. Padahal saya tidak pernah merasakan ngantuk yang sangat yang seperti ini sejak terakhir kali saya duduk di bangku SMP.” Dokter Anastasia hanya mengangguk, “Baik. Jika ada hal lain yang dirasa tidak enak atau kurang nyaman, silakan beri tahu saya, ya.” setelahnya Dokter Anastasia keluar dari ruangan dan Rangga datang dengan suaranya yang menggelegar, “Saya bisa tuntut rumah sakit ini atas kelalaian terhadap identitas dan keamanan juga keselamatan pasien.” Lalu Prana keluar, mungkin mau menghampiri Rangga. “Ada apa, sih, Pak?” aku melihat Bapak menarik napas panjang, “Kamu sudah tidur sejak zuhur siang kemarin. Sekarang sudah jam enam pagi keesokan harinya.” Aku terbelalak kaget. Ini aku tidur kok bisa selama ini. “Kami mulai merasakan ada yang aneh, ketika hampir magrib kamu belum juga bangun. Dan setelah kami ingat-ingat, ada beberapa kali seorang suster masuk ke ruangan ini dan menyuntikkan sesuatu. Saat ditanya oleh Prana, obat apa itu, suster tersebut mengatakan jika itu obat untuk meredakan nyeri.” Aku mencoba mencerna ke mana arah cerita Bapak. Bapak kemudian melanjutkan ceritanya, “Tapi ketika terakhir kali, sesaat setelah suster tersebut keluar, Prana yang ingin mengetahui bagaimana keadaanmu, dia keluar untuk menemui suster tersebut. Prana mencarinya ke ruang perawat, tapi tidak ditemukan perawat dengan nama tersebut di sana. Beruntung, ketika mau balik ke kamar Prana melihat suster tersebut masuk ke kamar mandi wanita, dan Prana mengikutinya. Maksud Prana adalah menunggui suster tersebut keluar dari sana. Namun Prana mendengar si suster itu menelepon seseorang.” Aku masih menunggu keseluruhan dari cerita ini, baru bisa tau apa sebenarnya yang terjadi. “Lalu, Pak?” aku bertanya karena gak sabaran. “Prana mendengar si suster menyebut nama Abizar dan Puspa pada saat suster tersebut menelepon seseorang. Setelahnya Prana yakin, kalo suster tersebut suster gadungan.” Aku syok, “Abizar dan Puspa? Terus, apa hubungannya perempuan itu dengan Abizar dan Puspa?” “Suster gadungan itu adalah istri kedua Abizar, Tan.” Prana masuk ke dalam ruanganku bersama Rangga yang wajahnya terlihat merah padam. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa, “Mau ngapain mereka mengirim perempuan itu ke sini? Lantas, cairan apa yang disuntikkan ke infusku?” Prana dan Rangga berdiri di sudut bawah ranjangku. Mereka berdua menatapku, “Cairan penenang, obat tidur, dan kafein dalam jumlah yang banyak. Tujuannya adalah untuk membuatmu tertidur lama, bahkan membuatmu pingsan dan tidak sadar. Mereka ingin saat jadwal kamu diinterogasi oleh kepolisian, kamu belum menyadarkan diri. Jadi mereka bisa mengulur waktu dan menyusun strategi untuk meloloskan Abizar dan jeratan hukum.” Ibu mengelus kepalaku, Prana dan Rangga, kedua lelaki ini entah sudah sejak kapan menemaniku di sini, entah mereka sudah makan atau belum, Bapak menggenggam erat tangan kananku, wajahnya terlihat letih. Aku tidak bisa berlama-lama terpuruk dalam keadaan ini. Semakin lama aku seperti ini, semakin banyak orang yang akan aku buat repot. Sudah cukup Ibu dan Bapak, Prana dan Rangga aku buat susah. “Tapi kamu tidak perlu khawatir, Tan. Rangga sudah membawa perempuan itu ke kantor polisi. Dan sekarang Abizar akan dijerat pasal berlapis, perempuan itu juga sudah aku laporkan atas tuduhan mengancam keselamatanmu. Puspa juga akan aku buat masuk dan merasakan dinginnya jeruji besi. Keluarga itu memang pantas mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Aku yang akan memastikan kalo mereka tidak akan bisa lolos dari hukuman. Aku gak akan membiarkan manusia model mereka menyiksa kamu, membuatmu sakit, dan menyisakan trauma yang luar biasa di hidupmu.” Rangga bicara dengan nada emosi, aku bisa mengerti kenapa dia seperti itu. Aku mengangguk, “Terima kasih, Ga. Makasih, Prana. Ibu dan Bapak. Kalian orang-orang hebat yang Allah kasih untuk menjagaku, aku gak tau bakal jadi apa aku, jika tidak ada kalian.” Aku diam, kami diam dalam keheningan. Aku mencoba untuk menghabiskan semua kesedihan ini, seperti ucapanku tadi, aku tidak bisa berlama-lama menyusahkan mereka, aku harus kuat, dan bangkit, demi mereka juga demi kehidupanku. Aku akan menghadapi proses ini dengan kuat dan aku pastikan Abizar, Puspa, dan suster gadungan itu merasakan dan mendapatkan ganjaran setimpal atas apa yang sudah mereka lakukan terhadapku, atas dampak yang mereka akibatkan terhadap orang-orang tersayang yang berada dan berdiri di sini menemaniku. Demi keluarga dan orang-orang ini aku harus berdiri tegak, aku harus kuat. “Oke, mari kita akhiri kesedihan dan cerita pilu ini.” Ucapku sambil menepuk kedua tanganku, membuat Ibu, Bapak, Prana, dan Rangga terkejut dari lamunan mereka masing-masing, “Aku laper, aku mau makan nasi uduk, ayam goreng kampung yang panas tiga, dan minum es teh manis. Boleh, kan, Prana?” Prana mengangguk dengan cepat, senyum cerah mengembang di sudut bibirnya, “Boleh banget.” Aku tersenyum, senang, “Tapi dengan satu syarat, kalian semua juga harus makan. Aku mau makan sampe kenyang. Belikan juga suster dan dokter di luar. Aku mau membagi kebahagiaanku ini, kebahagiaanku memiliki kalian, kebahagiaanku karena sampai sekarang Allah masih memberiku kesehatan.” Tanpa dikomando, Prana dan Rangga keluar ruangan, “Kami berburu nasi uduk dulu.” Tukas Rangga dan keduanya menghilang dari pandanganku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN