Persiapan Pernikahan

1710 Kata
Tidurku yang lumayan nyenyak, karena kebahagiaan membuncah di hatiku. Hari ini, Abizar berjanji mau menjemputku untuk memilih undangan, cari gedung, cari baju, tentukan tema pernikahan, dan hal-hal yang berkaitan dengan rencana pernikahan kami, dua bulan lagi. Aku bangun dengan senyum yang terus mengembang. Berniat ke kamar mandi, tapi terhenti karena mendengar Ibu dan Bapak sedang berbincang di meja makan, aku memilih untuk bersembunyi di balik dinding ini, karena ingin mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. “Aku masih ngeganjel, Bu. Rasanya ada yang tidak beres sama Abizar dan keluarganya, kalo aja Tania membatalkan pertunangannya, aku malah bersyukur. Gak apa-apa, kita malu, tapi sebentar, dan Tania selamat dari pernikahannya dengan Abizar. Daripada kita harus merelakan anak perempuan kita, harus menikah dengan lelaki itu, dengan keluarga yang seperti itu.” Aku mendengar Bapak bicara begitu ke Ibu, hatiku sedih, berarti kemarin, sebenarnya Bapak tidak restu akan lamaran Abizar terhadapku. “Jangan gitu, Pak. Kita harus husnuzon ke Abizar dan keluarganya. Semoga, kemaren itu, memang benar-benar sedang tidak bisa datang ke sini. Jangan bayangkan bagaimana buruknya, Ibu lihat Tania kemarin, bahagia. Buat Ibu, itu sudah cukup. Karena kebahagiaan Tania adalah di atas segalanya, Pak. Bapak juga harus begitu, apa pun yang terjadi, kebahagiaan Tania adalah yang paling utama.” Lalu hening sejenak. Aku mengambil waktu, beberapa saat, lalu mencoba membuat suara, agar Bapak dan Ibu tau, kalo aku akan datang, “ehem … Lagi ngobrol apaan, sih, Pak, Bu, seru banget kayaknya. Ikutan, donk.” Ibu tersenyum, lalu menyeduhkan kopi untukku, “Lagi ngomongin kamu, Tan. Gimana nanti, rencana pernikahanmu, kan waktu persiapan kalian hanya dua bulan, nih. Aku mencoba menjawab pertanyaan Ibu, “Hari ini, insyaallah aku dan Abizar mau ke tempat temannya yang suka cetak undangan, sekalian cari souvenir, cari gedung, sama mau cari-cari baju akad sama baju pesta, Pak, Bu.” Bapak hanya mengangguk, tapi diam. Aku tau, Bapak masih tidak enak dengan kejadian kemarin. Ketika sudah menandaskan kopi segelas dan roti bakar selai kacang dua lembar, aku bangun dari kursi, mengambil handuk, dan menuju kamar mandi, sebelumnya bilang ke Bapak dan Ibu, “Tolong restui pernikahan aku dan Abizar, ya, Pak, Bu. Biar langkah kami ringan dan tidak ada masalah.” Bapak mengganggu, lalu Ibu menjawab dengan senyuman menenangkannya, “Insyaallah didoakan lancar sampai hari H, Nak.” Aku mengangguk lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Sekitar dua puluh menit kemudian, aku sudah di depan cermin, mencoba mematut diri dengan berbagai mix and match baju yang mau aku pakai, “Hari ini, resmi hari pertama aku dan Abizar jalan sebagai sepasang calon penganten. Aku harus tampil cantik, meyakinkan Abizar bahwa dia gak salah memilih calon istri.” Lima menit kemudian, handphoneku berdering, Abizar menelepin, “Sayang, udah siap apa belum? Aku sekitar lima belas menit lagi sampai di rumahmu, kamu siap, kan, kita mau jalan hari ini?” aku mengangguk antusias dan berhenti ketika ingat juga sadar bahwa Abizar tidak bisa melihat anggukan kepalaku, “Iya, donk. Aku siap, kok. Sebentar lagi aku beres. Ini lagi memilih-milih baju.” Lalu di ujung telepon Abizar menggodaku, “Wah … sekarang, lagi gak pakai apa-apa? Ih, kamu polosan, ya?” aku tertawa menanggapi ucapan Abizar, terdengar romantis di telingaku, “Sssttt … rahasia, udah, kamu nyetirnya hati-hati, nanti kalo udah sampe depan, kabarin. Biar aku keluar kamar. Ya.” terdengar kalimat setuju dari ujung telepon, “Oke, sayang aku.” Setelah menutup telepon dari Abizar, aku mempercepat gerakanku untuk memilih baju, memakainya, dan duduk di depan cermin, untuk menyapukan sedikit bedak dan sentuhan lipstik warna nude, warna kesukaan Abizar. Kenapa aku suka kalo warna lipstik ini adalah kesukaan Abizar, karena, aku pernah memakainya beberapa kali, dan bertepatan dengan itu juga, Abizar selalu bilang, “Bibirmu cantik pake warna ini, Tan. Aku suka, bikin gemes dan gregetan.” Aku tersenyum dan menutup wajahku, mengingat kejadian itu, di satu sisi, aku malu, tersipu, seorang lelaki memujiku, tapi di sisi lain, aku senang, berarti aku cantik di mata Abizar. Sekitar dua puluh menit kemudian, Abizar sampai di depan rumah, “Sayang aku udah di depan.” Setelah menutup telepon dari Abizar, aku keluar kamar, dan mendapati Abizar sudah di depan pintu ruang tamu, “Masuk, Bi. Aku panggilin Bapak dan Ibu dulu, sekalian pamitan.” Setelah Abizar masuk, aku ke ruang tengah, tempat biasanya Bapak dan Ibu ngobrol, “Pak, Bu, aku pamit, ya. Mau pergi sama Abizar. Nyari barang-barang dan tempat untuk acara nikahan.” Bapak mengangguk, “Hati-hati, Tan. Inget, kamu masih jadi tunangannya, belom jadi istri sahnya, jangan macam-macam, jaga diri.” Aku mengangguk. Bapak tidak ke depan menemui Abizar, hanya Ibu yang menemaniku sampai ke ruang tamu, “Kami pergi dulu, Bu. Salam untuk Bapak.” Ibu mengangguk, lalu kami berjalan ke luar, menuju mobil, Abizar mendahuluiku, untuk membukakan pintu untukku, “Makasih, Bi.” Ucapku tersipu. Baru sekali ini, aku diperlakukan seperti ini dengan lelaki. Setelah kami masuk ke dalam mobil, tidak jauh dari rumahku, dan tidak lama setelah Abizar menjalankan mobilnya, dia menepikan mobil di jalan yang lengang, lalu dia menyentuh daguku, membawa wajahku menghadap wajahnya, dan menciumku, lembut, lama, dan dalam. Aku yang hanyut, tenggelam dengan keadaan, seperti menikmati ini, padahal, setengah kewarasanku, menolak apa yang dilakukan Abizar. Tapi entah kenapa, tubuhku membeku. “Aku kangen banget sama kamu, Tan.” Setelah beberapa saat dia melepaskanku. Aku menunduk dalam. Kami melanjutkan perjalanan dan mampir di pemberhentian pertama, tempat teman Abizar yang biasa menerima pesanan undangan, cetak kartu nama, cetak booklet, dan materi iklan lainnya. Kami masuk, lalu disambut dengan ucapan selamat dari beberapa orang yang ada di situ, “Wih, calon penganten. Selamat, ya, akhirnya ada satu perempuan juga nih, yang dipilih. Kamu tau, gak, Tan, Abizar ini, pacarnya banyak, terus …” kemudian mulut temannya itu dibungkam oleh Abizar, “Ssstt … jangan didengerin Tan, hayok, Can, mana contoh undangannya, biar kami bisa lekas memutuskan. Nguber target nih, abis ini harus survey venue untuk pestanya.” Lalu teman Abizar tersebut menunjukkan beberapa desain undangan. Aku sudah memilih beberapa contoh. Tidak lama, Abizar menelepon seseorang, aku pikir, yang diteleponnya adalah teman kerjanya, karena hari ini memang hari kerja, aku mengira, ada urusan kerjaan yang harus dihandle. “Kak, ini beberapa pilihan kami, menurut Kak Puspa, yang mana yang bagus?” aku agak kaget juga, Abizar menelepon Kak Puspa untuk menanyakan mana yang bagus, dan jawabannya sungguh membuatku kecewa, “Jelek semua. Mana coba, aku lihat contoh yang lain, selera kalian tuh aneh.” Dan begitulah, Abizar lalu menunjukkan beberapa contoh undangan yang tidak kami pilih, dan itu justru menjadi pilihan Kak Puspa. “Nah, itu aja. Udah, langsung pesan lima ratus undangan. Langsung bayar, inget, hemat, duitnya kan gak banyak. Yang penting sahnya, kalo pest amah, cuma syarat aja.” Aku diam. Setelah selesai dari tempat cetak undangan tersebut, kami meneruskan perjalanan kami untuk survey gedung, di tengah perjalanan, Abizar bilang ke aku, “Gak apa-apa, ya. Kita pakai undangan yang tadi dipilihkan Kak Puspa, dia kan udah pengalaman, pasti dia tau yang terbaik.” Aku mengangguk, “Iya, gak apa-apa. Cuma undangan ini.” Setelah sampai ke gedung pertama, kami menanyakan harga sewa dan fasilitas yang didapat, lalu Abizar mengambil video di dalam gedung itu. Dan kami berjalan kembali untuk melihat dua pilihan gedung lainnya. Setelah di gedung terakhir, kami istirahat sejenak di rumah makan, sambil makan siang yang kesorean, dan telepon Abizar berbunyi, “Yang murah aja gedungnya, itu yang paling terakhir aja tadi, eh … kalian lagi makan? Mana Tania, Tan, jangan makan banyak-banyak. Hindari dulu makan karbo, banyakin sayur, jangan gendut loh, nanti di foto jelek, baju pengantin juga gak muat.” Aku mengangguk, yang tadinya aku semangat untuk makan rendang dan mengambil ayam bakar kesukaanku, aku urungkan. Aku memilih mengambil telor balado satu dan sambel ijo saja, dengan lalapan yang banyak. Abizar melihatku, mungkin dia merasa kalo aku agak kurang suka sama ucapan Kak Puspa, “Tan, jangan marah, ya, sama Kak Puspa. Dia begitu maksudnya baik.” Aku hanya mengangguk, melirik Abizar yang sedang mengambil dendeng baladonya untuk yang kedua kali dan mengambil ayam bakar juga. Selesai makan, kami ke toko kain, memilih warna baju. Sebelum masuk toko, aku bilang ke Abizar, “Undangan, gedung, semua yang tadi kita lihat, itu kita nurutin Kak Puspa, kan? Sekarang, untuk tema warna baju dan pelaminan, aku mau ini keputusan kita berdua. Aku gak mau keputusan ini diserahkan ke kakakmu.” Abizar mengangguk, “Iya, sayang.” Lalu kami turun. Aku sudah melihat beberapa warna bahan yang dijajarkan di depanku dan Abizar, dan memilih kombinasi warna merah dan gold, “Ini aja, ya, Bi. Cantik, di kulitku juga bagus, di kamu pasti gagah.” Abizar mengangguk, “Aku ikut apa katamu, sayang.” Aku tersenyum. Hari sudah sore, rencananya, habis dari sini, kami akan ke tempat penyewaan tenda dan kursi, juga back drop pelaminan untuk kemudian kami melihat rekomendasi dari mereka. Hari sudah jauh ke malam, kami keluar dari tempat penyewaan tenda hampir jam sembilan malam. Karena kelelahan hari ini, aku ketiduran di mobil, dan Abizar pun memberhentikan mobil kami di pinggir jalan yang aman, mungkin dia juga capek. Karena udah ngantuk banget, aku tidur, gak kerasa apa-apa. Ketika terbangun, aku kaget, karena di sebelahku, ada suara napas seseorang, begitu aku membuka mata, aku sudah berada di kamar, dengan ranjang yang luas, seprei yang serba putih, harum, disambut dengan kecupan lembut dari Abizar, “Udah bangun, sayang?” aku terkejut, “Bi, kita di mana? Ini kamar siapa?” Abizar tersenyum, “Ini di hotel. Kamu kecapean banget, aku juga capek banget, Tan. Kita nginep di sini, ya, malam ini. Besok pagi, kita pulang.” Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, aku takut, aku teringat pesan Bapak, untuk menjaga diriku. Mungkin Abizar bisa membaca raut wajahku, “Tenang, sayang, gak bakal terjadi apa-apa. Aku tidur di sofa itu.” Dia menunjuk sofa yang ada di dekat jendela, aku mengangguk ragu, “Minum dulu. Ini air jahe hangat, tadi aku pesan dari restoran di hotel, kamu mau makan apa?” aku menggeleng, “Aku gak lapar, Bi. Bener, ya, kamu tidur di situ, jangan ke sini loh. Jaga jarak, biar aman.” Abizar tergelak, “Iya, sayang.” Tidak berapa lama, kantuk menyerangku dengan hebat, mataku berat banget, gak bisa dibuka, dan kemudian aku tertidur, nyenyak sekali, tanpa mendengar dan tau apa yang terjadi setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN