Akhirnya Abizar Tau

1402 Kata
Jam setengah enam pagi, aku mencoba bangun dari tempat tidurku. Karena hari ini niatku memang ingin masuk kerja, sudah beberapa hari kemarin aku tidak masuk kerja, sudah beberapa kali juga kepala ruangan di apotek tempat aku kerja menanyakan gimana kabarku dan kapan aku masuk. Jadi hari ini aku memutuskan untuk masuk kerja, harus kuat. Kalo gak, bisa-bisa aku diberhentikan dari tempat kerja, sementara aku belum ada pekerjaan lain. Jadi dengan setengah memaksakan diri untuk melek, berjalan tertatih menuju kamar mandi untuk mandi, dan bersiap untuk berangkat kerja. Ketika sudah siap untuk keluar dari kamar, handphoneku berdering, Abizar yang meneleponku, “Sayang, aku udah di depan. Kamu kerja, kan, hari ini?” aku meng-iya-kan pertanyaan Abizar, “Iya, Bi, ini aku udah siap. Kamu turun atuh, pamit sama Bapak dan Ibu. Gak enak kalo kita langsung jalan aja.” Hening di seberang sana, tidak ada jawaban, “Bi, turun, ya. Aku tunggu di depan.” Terdengar desahan kurang menyenangkan, “Harus, ya, Tan? Bukannya Ibu dan Bapak kamu pasti udah tau, ya, kalo aku yang bakal jemput kamu. Emang ada orang lain, selain aku, ya, yang jemput kamu?” aku bersikeras, memaksa Abizar untuk turun dan pamitan sama Bapak dan Ibu, “Turun, pamitan deh. Kalo gak aku marah nih, aku pergi kerja sendiri aja deh. Kamu gak usah jemput.” Dengan sedikit nada keras, Abizar menjawab ucapanku, “Iya, deh, iya. Ini aku turun, ribet banget mau jemput aja. Kamu buruan juga keluar dari kamar, aku gak mau lama-lama.” Tidak berapa lama, terdengar salam Abizar di pintu depan. Aku bergegas keluar karena gak mau Abizar menunggu terlalu lama. “Pak, Bu, di depan ada Abizar jemput aku. Aku mau berangkat kerja.” Aku ngomong ke Bapak dan Ibu, yang kebetulan lagi di ruang makan. Bapak mengangguk, tetap duduk di tempatnya. Hanya Ibu yang mengekoriku ke pintu depan dan menemui Abizar, “Jangan pulang malam-malam, gak usah pake acara nginep-nginep. Denger, Tan?” suara Bapak yang terdengar sampai ke ruang tamu, aku curiga, Bapak memang sengaja ngomong volume suaranya diperbesar gitu, dengan niatan agar Abizar mendengar ucapannya, “Iya, Pak.” Aku menyahuti omongan Bapak dan melanjutkan jalanku ke depan. “Gak masuk dulu, Abizar, ikut sarapan.” Tawar Ibu ke Abizar. Disambut uluran tangan Abizar mengambil tangan ibuku untuk diciumnya, sebagai tanda penghormatan. “Udah sarapan, Bu. Mau jemput Tania, langsung ngantor Tania kerja dan saya langsung ke kantor. Nanti mampir, Bu, lain kali.” Ibu mengangguk, “Ya udah atuh. Sok, berangkat. Nanti kesiangan. Inget pesan Bapak, jangan pulang malem-malem dan gak boleh nginep-nginep lagi. Pamali, calon penganten pulang malem-malem, ya.” kami berdua mengangguk. Kemudian kami jalan menuju mobil, Abizar menggandeng tanganku. Setelah kami di mobil, Abizar memberiku kotak makan yang dingin banget, “Ini apaan, Bi? Kok dingin?” Abizar menengok ke arahku dan bilang, “Permintaanmu semalem. Kan minta irisan lemon dingin dan ini garamnya.” Aku bertepuk tangan kegirangan, seperti anak kecil yang dibelikan mainan kesukaannya. Aku mengecup pipi Abizar dan mengucapkan terima kasih, “Asik, lemon kesukaanku, kecintaanku. Makasih sayang.” Abizar berkelakar, "Oo ... Sekarang cintanya sama lemon, nih, akunya gak disayang dan gak dicinta lagi?" Aku langsung memeluk tubuhnya, "Kalo cinta ke kamu mah, gak bakal bisa digantikan oleh apa pun, Bi. Tenang aja." Dan di perjalanan menuju apotek tempatku kerja, aku nyemilin irisan lemon tadi, benar-benar segar, dan aku tidak mual sama sekali. Abizar yang beberapa kali menengok ke arahku, mengernyitkan dahi berkali-kali, “Gak asem, Tan? Aku aja sampe ngilu ngeliatnya gitu.” Aku menggeleng, “Enggak, Bi. Enak, seger. Kamu mau nyoba?” aku menyodorkan irisan lemon ke mulut Abizar, dia langsung memalingkan wajahnya ke samping, “Ih, gak mau, Tan. Asem. Lagian kamu aneh ih, kok tumben, mau makan yang begituan, pagi-pagi gini lagi. Kayak orang ngidam aja.” Aku mengangguk, “Iya, aku memang lagi ngidam.” Abizar tertawa ngakak, “Iya, deh, yang udah mau hamil anaknya aku mah. Nanti kalo udah sah, kita ngebut, ya, kejar setoran, biar kamu langsung mblendung.” Aku menanggapi ucapan Abizar, “Gak perlu nanti, Bi. Sekarang ini aku udah hamil.” Awalnya, tidak ada respon dari dia, ketika aku ngomong begitu. Tapi selang beberapa saat, mungkin dia sudah sadar dan bisa mencerna ucapanku, Abizar ngerem mendadak, menghentikan laju mobil secara tiba-tiba, membuat irisan lemon yang ada di tanganku jatuh, dan garam yang aku taruh di tutup tempat makan, berceceran ke bawah. Untungnya di belakang tidak ada motor atau mobil yang sedang ngebut. Setelahnya, Abizar mengambil jalur kiri, untuk meminggirkan mobil. Setelah diam beberapa saat, dia kembali bertanya, “Tan, kamu serius? Beneran, kamu hamil? Kamu lagi becandain aku, kan?” aku melihat ke arahnya, “Aku serius. Dari hari Senin kemarin, aku gak masuk. Badanku emang gak enak, seperti masuk angin, ditambah lagi, aku sudah telat beberapa minggu. Kemarin sore, aku test pack. Ini hasilnya, garis dua. Aku lagi gak bercanda, Bi.” Abizar merebut test pack di tanganku, dia lalu berteriak dan memukul stir, “Gak mungkin, Tan, ini gak boleh terjadi. Gimana kata Kak Puspa dan keluargaku?” aku kaget dengan reaksi Abizar. Sebagai seorang yang duluan membawaku ke lembah hitam, ke dasar jurang paling dalam pada hubungan kami, aku berpikir, harusnya dia sudah tau, ini resiko yang akan terjadi. Tapi, kok begini? “Bi, kita udah sering melakukan itu. Ya, wajar aja, kalo aku hamil. Lagian, kan kamu sendiri yang bilang, kalo terjadi apa-apa, gak ada masalah, karena kamu akan bertanggung jawab. Kok sekarang kamu bereaksi seperti ini?” aku melihat Abizar menjambak rambutnya, seperti orang menahan kesal. Kami diam selama beberapa saat. Tidak berapa lama Abizar kembali menjalankan mobilnya dan kami meneruskan perjalanan dalam diam. Setelah sampai di depan apotek, Abizar memberhentikan mobilnya, dan bilang ke aku, “Nanti pulang kerja, aku jemput.” Aku mengangguk, tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut kami berdua. Aku masuk ke dalam dan langsung menuju ke ruang kepala ruangan, untuk nongolin muka aja, biar tuh kepala ruangan tau kalo aku masuk kerja hari ini, “Aku udah masuk, ya, Bu.” Hanya sekilas melihatku, kepala ruangan itu bilang, “Mau gajian aja, masuk. Kemaren, berhari-hari gak masuk. Langsung jaga deh di depan. Daritadi saya yang turun ngelayanin, enak banget kalian dateng pada siang.” Aku pengen jawab banget deh, “Ya emang apa salahnya kalo kepala ruangan ikut ngelayanin? Kan bukan pekerjaan kotor apalagi hina.” Tapi ya sudahlah, aku hanya mengangguk, menjawab “Iya, Bu. Siap.” Lalu menutup ruangan, menuju ke mejaku, menaruh tas, dan semua barang yang aku bawa, lalu ke depan untuk jaga kasir. Baru ada satu orang yang datang, Rika, teman kerjaku. “Jangan cari masalah, macan lagi PMS.” Begitu sambut Rika. Aku mengangguk, “Iya, tuh. Tadi aku baru dari ruangannya, dia malah nyeplos, mau gajian baru masuk. Ya gajian mah, emang hak kita. Kan kita kerja satu bulan, aku gak masuk kerja cuma tiga ato empat hari, masa sisa hari kerjaku gak mau dibayar sama dia, dasar.” Kami berdua ketawa, “Biasa, udah lama gak kena buai.” Tidak berapa lama, dari dalam ruangan terdengar suara, “Ngobrol aja, KERJA!” aku dan Rika, berhenti tertawa, lalu menjawab, “Iya, Bu. Siap komandan.” Lalu cekikikan. Kalo bukan karena teman-teman kerja yang baik, yang menyenangkan, aku sudah lama resign dari sini. Kerja itu, bukan hanya melulu tentang gaji, tentang beban kerja, tapi juga tentang kenyamanan. Aku menjalani hari itu dengan berjuang sekuat tenaga untuk tidak tumbang, karena beberapa kali aku harus bolak balik kamar mandi dan muntah, karena mual yang teramat sangat. Walaupun Rika sempat bertanya, “Kamu hamil, Tan? Kan belum sah, udah duluan tah, ituan sama Abizar?” aku menggeleng, ketawa masam. Walaupun dalam hati, khawatir ketahuan sama teman-teman kerja yang lain. Di sisa hari, aku berusaha untuk tidak banyak bergerak, lebih banyak menarik napas, agar lebih lega dan tidak mual. Selebihnya, pasrah hingga menunggu waktu pulang kerja. Abizar tidak menghubungiku sesering sebelumnya, hanya dua kali dia mengirim pesan, “Jangan lupa makan.” Dan yang kedua, menanyakan jam berapa aku minta dijemput, “Nanti pulang jam berapa, aku harus jemput jam berapa?” dan setelah itu, sampai sore ini handphoneku sepi, tidak ada suara panggilan telepon berdering atau tanda pesan masuk, tidak seperti biasanya. Aku menduga, ini ada hubungannya dengan percakapan kami tadi di mobil. Mungkin Abizar membutuhkan waktu untuk berpikir mengenai rencana kami ke depannya, jadi aku akan memberikannya waktu untuk sendiri dulu, tidak mengganggunya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN