Perkedel Jagung Asin

1050 Kata
"Harum ya, Bu Tania, kopinya. Yakin, nih, gak mau dibuatin?" tanya Pak Dirman sekali lagi, aku menggeleng dengan mantap, “Yakin. Nanti lagi, Pak, ngopinya. Kasihan perutnya.” Ucapku sambil nyengir, membayangkan kalo asam lambungku lagi kumat, duh … gak, deh. Pak Dirman lantas pamit, membawa secangkir kopi di atas nampan. Dia berjalan tergesa menuju ruangan istirahatnya. Ketika pertama kali menjejakkan kaki di perusahaan ini hanya Pak Dirman yang mau menemaniku. Beliau selalu menyajikan kopi dan membantuku membeli makan siang. Karena dia tahu, tidak banyak orang yang mau jadi temanku. Perantauan dari kampung, dengan wajah jutek yang memang bukan aku buat-buat, alaminya begini, ditambah aku introver yang lebih senang makan siang sendiri, lembur, pulang kantor sendiri, gak ada interaksi dengan teman-teman kantor, lebih tepatnya menghindari berinteraksi dengan mereka. Iya, ini salah satu kekuranganku, menjadi pribadi tertutup yang lebih nyaman melakukan apa-apa sendiri. Saking senangnya sendiri, aku pernah melakukan marathon nonton film di bioskop, seharian, sendiri. Mulai dari itu bioskop buka, sampai sekitar pukul sepuluh malam, aku baru keluar dari mall itu. Kalo buat sebagian orang, sendiri itu bisa membunuh, kalo untukku, keramaian justru yang bisa membunuhku. Tidak nyaman, tidak suka berbasa-basi, senyum gak jelas sama orang asing, bahkan jalan-jalan tanpa tujuan, itu bukan tipeku sama sekali. Tapi, berkat Pak Dirman juga, mungkin beliau yang menceritakan bagaimana aku sesungguhnya, orang-orang di kantor mulai berani menyapaku, mulai berani ngajak makan siang bareng, meskipun beberapa kali tetap aku tolak. Tapi lama kelamaan mereka jadi paham dan mengerti aku yang sesungguhnya. Setelah selesai mencuci tumblerku, mengisi air putih, dan berjalan kembali ke ruangan, tiba-tiba si Banun, yang tadinya membisu, bertanya ke aku, "Mbak, Pak Prana mana?" tanya Banun tiba-tiba. "Tadi turun di perempatan, gak ikut sampe kantor. Katanya ada yang mau dia beli," jawabku lalu duduk dan mulai menyalakan komputer kembali. Dan bertanya ke Yani, apa ada pekerjaan atau sesuatu di laporan, “Yan, ada apa nih. Ada masalah, gak, sejak aku keluar tadi sampe sekarang?” Yani menjawab dengan mulut yang sedang ngunyah, “Gak ada, Mbak. Mau nyoba cireng, gak, Mbak? Anak produksi tadi nawarin ke sini, istrinya jualan. Mungkin Mbak Tania mau pesen untuk di kostan?” aku mengangguk, “Iya, pesen aja, berapa sebungkus?” Yani menghentikan kunyahannya, “Satu bungkus delapan belas ribu, Mbak. Mau pesen berapa bungkus?” aku menjawab pertanyaan Yani, “Beli lima bungkus aja, terus nanti kasih Pak Dirman, minta tolong digorengin, kasih ke anak-anak, ya. Ini uangnya, delapan belas ribu dikali lima jadi sembilan puluh ribu, ya. Sisanya ambil aja, buat jajan anak-anakmu, Yan.” Yani mengangguk semangat, dan mengambil gawainya, mungkin mengetikkan pesan ke penjual cirengn tadi. Aku melihat sekilas ke arah Banun. Gadis itu tampak kecewa, aku tahu dia pun memiliki rasa yang lain terhadap Prana. Seperti aku yang selalu terbawa suasana kala Prana pamer senyum. Apalagi saat dia mengutarakan perasaannya. Aku jadi ingat apa yang dia katakan di mobil tadi pagi. "Tan, maaf ya," bisik Prana. "Untuk apa?" tanyaku, kupause permainan dalam gawaiku. Sayang sekali jika harus mengulang sementara aku sudah berada di level yang paling tinggi. "Untuk cerita ngalor ngidul dan untuk kemarin.” Lalu dia terdiam, mungkin sedang mencari kata-kata, “Aku benar-benar tidak ada topik lain selain hanya membicarakan hasil meeting sama Banun. Gak ada apa-apa antara aku dengan dia." Prana bergumam pelan, sesekali melirik cemas ke arah Pak Andri. Aku tahu betul dia khawatir obrolannya di dengar. "Ada apa-apa juga gak apa-apa kali, Pak. Kalian serasi, kok." "Tolong berhenti berkata demikian, berhenti mendorongku untuk mendekati perempuan lain, Tan. Yang aku mau hanya kamu." Pipiku mungkin bersemu merah, rasanya hangat. Pandanganku beradu dengan netra Pak Andri, dia tersenyum sekilas, menandakan bahwa dia mendengar dengan jelas apa yang Prana ucapkan. "Darimana saja, Pak," tanya Banun antusias. Dengan suara yang aku tau, itu dibuat-buat, karena biasanya Banun tidak pernah se-ramah itu kepada lawan jenis. Seketika itu juga lamunanku buyar, aku melihat Prana membawa sebuah bungkusan berwarna merah. Banun menghampiri Prana, dia menyerahkan kotak bekal merk terkenal. "Saya masak sendiri, lho, Pak. Silakan coba." "Tapi ..." "Kalo gak dimakan saya ngambek, ah," ujarnya manja. Yani melihat ke arahku, dia tersenyum, dan aku bingung harus bagaimana menanggapinya. Prana tersenyum seraya menerima pemberian Banun. "Terima kasih, nanti saya makan, ya, Banun." Ucap Prana yang sukses membuat Banun tidak bisa membendung rasa bahagianya. Gadis itu terlonjak kegirangan. Lalu dia kembali duduk dengan wajah malu-malu. Kali ini, aku memberi kepercayaan penuh pada Prana. Karena dengan mata kepala sendiri Banun lah yang mendekati dan memberi Prana makanan. Bukan sebaliknya. "Tan, aku beli nasi padang, makan bareng ya." Rasanya ingin bilang tidak, tetapi perut gak bisa bohong. Hanya lemper ayam dan roti sosis yang aku makan usai meeting tadi. "Ini nasi padang favorit aku, lho Tan. Lain kali kita makan di sana ya," ajak Prana. "Makasih, Prana." Aroma masakan padang menguar saat Prana membuka bungkusan yang di ikat menggunakan karet gelang tersebut. Lalu dia menyerahkannya padaku. Sementara Itu dia sendiri membuka kotak bekal yang Banun berikan barusan. Nasi putih, ayam goreng, capcay, dan perkedel jagung terlihat begitu menggugah selera. Aku minder, gadis yang usianya jauh di bawahku bisa menghidangkan masakan yang begitu menggugah, sementara aku, yang ku tahu hanya makan saja. "Taruang, Makan semuanya," tawar Prana. Tiga orang lainnya yang berada di ruangan ini mempersilakan kami yang baru sempat makan siang. Dengan ekor mataku, kulirik Banun, dia cemberut seraya menatap layar komputer. "Tan," bisik Prana. "Makan, Pak, gak usah banyak omong." "Tan," bisiknya lagi. "Apa sih?" "Kantor serasa milik kita berdua, ya?" ucapnya kali ini tidak berbisik, aku yakin mereka juga dapat mendengar apa yang dikatakan Prana. Aku memberikan tatapan melotot ke arahnya, “Pak Prana, ssttt … Makan, Pak, nanti nasinya jadi dingin, jadi gak sedap lagi.” “Gak apa-apa, nasinya dingin, lauknya dingin, semuanya ini dingin, asal jangan sikap kamu aja, yang dingin ke aku, Tan.” Selorohnya, sambil tersenyum dan mulai menyuapkan makan ke mulutnya. Entah sadar atau gak, Prana tiba-tiba nyeplos, “Nun, sepertinya jodohmu tidak lama lagi datang.” Ke Arah Banun dan sukses membuat gadis itu tersipu. Tapi kemudian Prana meneruskan ucapannya, “Karena, ini perkedel jagungmu, uasin poll.” Demi mendengar ucapan Prana, seketika itu juga Banun berdiri, lalu pergi ke arah toilet dengan wajah tertekuk. Aku yang sekarang gantian marah ke Prana, “Kamu loh, Prana. Bikin orang sedih gitu.” Prana acuh, dia meneruskan kembali acara makannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN