Kemunculan Abizar yang Tiba-tiba

1025 Kata
Karena hari ini aku sedang tidak salat sebab kedatangan tamu bulanan, jadi tidurku bisa lebih panjang. Itu niat awalnya, tapi sekitar pukul setengah enam subuh, pintu kamarku sudah diketuk. Aku dengan malas dan dengan muka yang masih awut-awutan, muka bantal lebih tepatnya, aku dengan terpaksa membuka mataku, aku menduga yang mengetuk pintu kamarku adalah Prana atau Mang Darma yang menemani Prana. Jadi tanpa bertanya aku langsung membuka pintu kamar dan aku terkejut. Yang berdiri tepat di depanku adalah sosok yang aku takutkan hadir lagi, bukan Prana, bukan Mang Darma, tapi Abizar. Dengan seringai jahatnya, dia menyapaku, “Hai, Tan. Ketemu lagi kita.” Aku yang kaget, terlambat menutup pintu karena setelah aku sadar dari keterkejutanku, Abizar sudah masuk ke dalam kamarku, dan mendorongku, hingga aku hilang keseimbangan. Dia mendekatiku lalu menunjukkan sebuah kunci, “Kamu gak akan bisa lari ke mana-mana.” Lalu dia membuang kunci tersebut ke kolong ranjangku. Aku yang panik berusaha untuk mendorong tubuhnya agar menjauhiku, dia bergeming, malah semakin merangsekku, yang menyebabkan tubuhku sekarang berada di bawah tubuhnya, aku tidak bisa bergerak. “Kemarin, kamu bilang bahwa alasan kita tidak punya anak karena milikku kecil, kan? Sekarang aku akan buktikan ke kamu bahwa milikku ini sudah besar, aku yakin kamu pasti keenakan dan bakal aku buat menjerit karenanya.” Ucapan Abizar membuatku benar-benar kalut. Aku berusaha berontak sembari berteriak, tapi percuma, Abizar membungkam mulutku, “Tidak percuma aku membuntutimu sebulan ini. Kamu memang masih seperti dulu, Tan, aktivitasmu tidak pernah berubah, selalu monoton. Tapi justru itu membuatku lebih mudah bertindak, siap-siap kamu bakal aku buat menjerit tanpa ampun.” Lalu dia menarik jilbab yang aku gunakan, aku mencoba untuk mempertahankannya, gagal. Abizar berhasil menarinya lalu melemparkannya ke ujung ruang, dalam hitungan detik dia sudah membuka hampir semua pakaiannya, termasuk celana panjang yang dia kenakan, hanya tersisa pakaian dalam saja. Saat dia sibuk membuka bajunya, aku mencoba untuk lari, dan berhasil, aku menemukan celah untuk bisa kabur, aku berusaha untuk mengambil kerudungku, lalu masuk ke kamar mandi. Sedikit lagi tanganku menyentuh gagang pintu kamar mandi, Abizar kembali menarikku, aku berhasil menarik benda yang ada di meja kerjaku, aku mencoba meraih apa pun yang bisa aku gapai, dan aku lemparkan ke arah Abizar, buku, vas bunga, lalu kotak pensil, tapi sia-sia. Benda-benda itu hanya mampu membuatnya mengerang kesakitan tetapi tidak membuatnya menggagalkan rencananya, dia berhasil kembali membuat posisi kami seperti tadi, dengan rakus dia menjelajahi setiap inci tubuhku, aku merasa kotor, dia meninggalkan jejak liurnya di tempat yang dia inginkan. Aku menangis sejadinya, Abizar sudah kerasukan setan, aku tidak mampu melawannya. Aku mencoba berteriak, tapi lagi-lagi dia menutup mulutku menggunakan tangannya. Karena aku mencoba berontak dan menjerit, dia menyumpal mulutku dengan bajuku sendiri, lalu mengikat kedua tanganku ke ujung tiang ranjang. Aku benar-benar dibuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Dia berkutat dengan tubuhku, aku mencoba menendang, bergerak sebisa mungkin untuk menghindari dari ganas perilakunya. Aku menangis, aku menjerit tapi itu semua tertahan. Dan di bawah sana, aku bisa melihat dia sudah berhasil menguasainya, dia berhasil menghilangkan jarak antara kami, dia berhasil memasukiku. Iya, dia melakukannya. Dengan kasar, tanpa memedulikan aku yang kesakitan, tanpa memedulikan air mataku yang sudah banjir, justru di tengah suaranya, dia masih bisa mengintimidasiku dan berkata yang menyakitkan hati, “Apa rasanya, Tania. Sekarang enak kan, sekarang lebih bisa kamu nikmati, kan, apa yang aku lakukan ini, jawab, bilang kalo enak. Jangan sungkan, aku akan melakukannya sampai kamu lemas tidak berdaya. Aku akan buktikan sama kamu kalo aku bisa bikin kamu lemas karena nikmat ini.” Aku hanya bisa menangis dan berdoa, semoga ada yang datang dan bisa menyelamatkanku dari manusia jahat ini. Aku tidak tau sudah berapa lama dia melakukannya, yang pasti rasanya sudah seabad dia melakukan ini terhadap tubuhku. Beberapa kali dia menjeda dan mengambil napas untuk kemudian meneruskan kegiatannya atas tubuhku. Aku pasrah, aku sudah tidak ada tenaga, karena entah sudah berapa lama Abizar melakukannya, yang pasti sejak tadi aku lihat jam setengah enam dan keadaan langit yang masih lumayan gelap, sekarang aku bisa melihat semburat matahari pagi yang menyusup melewati celah lubang udara di kamarku. Aku mencoba untuk bernapas sebisa yang aku lakukan, karena dalam kondisi seperti ini keringatku, keringat Abizar, belum lagi air mata yang dari tadi tidak berhenti terus menerus turun tanpa bisa kutahan. “Mana suaramu, Tania, ayok keluarkan, biar aku lebih semangat lagi, kemarin waktu kita masih nikah, suaramu itu berisik sekali, tapi itu yang justru bikin aku bersemangat, ayok bersuara,” bersamaan dengan ucapannya tersebut dia menjambak rambutku. Tidak putus aku berdoa agar kesakitan dan ada seseorang, Mang Darma, atau tetangga siapa pun yang mengetuk pintu kamarku agar aku bisa keluar dari kesakitan dan rasa yang tersiksa ini. Tidak berapa lama, lenguhan panjang terdengar dari Abizar, dia sudah mencapai puncaknya. Setelahnya dia duduk di ranjangku dan membiarkan aku dalam keadaan seperti ini, tidak ada sehelai benang pun menempel di tubuhku. Aku hampir kehilangan kesadaran karena semua perlakuan Abizar barusan. “Gimana, sekarang kamu gak bisa menghinaku lagi, kan? Barusan kamu juga menikmati, kan? Istirahatlah dulu, habis ini aku akan kembali melakukannya lagi, kita akan mengenang masa pacaran kita dulu, ketika kamu masih tergila-gila padaku, dan aku akan membuatmu kembali tergila-gila padaku, paham?” dia menjambak rambutku dan hal itu membuatku kesakitan. Abizar mengambil rokok dari saku celananya, “Kamu masih benci sama orang yang merokok, Tan? Tapi khusus aku, yang sudah bikin kamu merasakan kenikmatan tadi, boleh, ya, ngerokok di sini.” Lalu memantik api dan aku melihatnya mulai menghisap rokok tersebut dalam-dalam, lalu dengan sengaja menghembuskannya ke arahku, ke wajahku lebih tepatnya. Aku yang masih disumpal mulutnya lalu dihembuskan asap rokok seperti itu, mendadak sesak, tidak bisa bernapas, belum lagi AC di ruangan ini hidup, udara dan asap rokok bersatu, membaur, dan aroma tidak sedap menguar di kamar ini, aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi. Setelah habis setengah batang rokok dihisapnya, Abizar mematika rokok tadi di lantai, kemudian mendatangiku lagi, kali ini tanpa basa basi langsung memaksa miliknya masuk ke dalam sana, aku menangis lagi, sakit, tubuhku sakit, di bawah sana, sakit, aku malu, bahkan tidak berani membuka mata karena malu melihat kondisi tubuhku yang seperti ini, dan Abizar melakukannya lagi, tanpa ampun membuatku benar-benar tidak berdaya, tersiksa, dan malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN