Ditraktir Mulu

1080 Kata
Hari ini aku menemani Banun makan siang di rumah makan padang belakang area pabrik. Bukan menemani sih, lebih tepatnya kami makan bareng, karena kebetulan memang hanya kami berdua yang mau makan makanan padang siang hari ini. Tapi, kemudian kami harus memutar jalan karena tidak ada akses langsung yang terhubung dengan kawasan itu meski lokasinya tepat berada di belakang pabrik. Dengan jalan dan medan yang tidak mudah, harus menempuh jalan setapak, juga beberapa kali menerabas pagar pembatas yang dibuat untuk membatasi kawasan pabrik dan perumahan warga, juga jalanan yang licin, membuatku tidak mudah melewati. Kalo aja rumah makan padang ini ada di aplikasi online, bayar lebih mahal seribu dua ribu, gak apa-apa, deh. Ya, mau gimana lagi. Aku juga nekat banget tadi, ikut aja ajakan Banun, karena dia gak mau juga kalo aku titipin. Napasku terengah karena Banun berjalan terlalu cepat. Padahal jika jalan lebih santai pun tidak apa-apa, entah apa yang dikejarnya, tidak akan terlambat masuk kantor mengingat jam istirahat hampir satu jam lamanya. “Nun, pelan dikit jalannya, bisa kali. Engap, nih, napasku.” Protesku pada perempuan dengan hijab yang lebar itu. “Aduh, Mbak. Kasian Pak Prana kelamaan nunggu. Mbak, sih, terlalu subur jadinya jalan segini aja udah kayak naik gunung Rinjani.” Aku hampir menangis mendengar selorohan Banun, memangnya memiliki badan besar itu salah, ya? Jalan terengah-engah karena lelah apakah sebuah tindak kejahatan? Aku tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan Banun. Bisa tidak, sih jangan menyakiti orang dengan berkata-kata. Hampir saja pertanyaan itu aku lontarkan, tetapi aku sadar tidak ada gunanya. Iya, Prana nitip makan siang ke Banun, dan dia meng-iya-kan, sementara menolak titipan makan siang untukku, “Gak deh, Mbak. Aku mau makan di sana, maaf, bukan gak mau beliin.” Tapi berbeda dengan Prana, ketika dia ngomong ke Banun bahwa minta dibelikan nasi padang, “Nun, mau ke warung makan padang di belakang pabrik, ya? aku nitip, boleh, kan?” tanpa berpikir, Banun langsung mengangguk, “Lauknya seperti biasa, kan, kesukaan Bapak satu bungkus nasi rames lengkap dengan lauk ayam serundeng atau kalau tidak ada ayam serundenganya diganti rendang, betul?” Prana mengangguk, “Yap. Tepat sekali. Ini uangnya, sekalian untuk kamu beli makan dan Bu Tania, ya.” Aku yang mendengar Prana ngomong gitu, langsung menyanggah, “Eh, aku sih gak usah. Aku baya sendiri aja, untuk Banun aja. Yuk, Nun.” Ajakku tanpa memerdulikan Prana yang sepertinya mau protes karena penolakanku tersebut. Aku tahu, aku sadar sepenuhnya, bahwa tidak bisa ditutupi lagi bahwa Banun menaruh rasa pada Prana, makanya siang ini dia bela-belain jalan kaki, terburu-buru demi dapetin satu bungkus nasi rames lengkap dengan lauk ayam serundeng atau rendang kesukaan Prana. Dia takut banget kalo gak dapet pesanan Prana, jadi mengabaikan perasaanku dengan mengatakan hal yang tidak menyenangkan itu. “Mbak, cepetan!” ajak Banun. Aku mengangguk lantas menyusulnya dengan langkah lebar-lebar. Sesampainya di rumah makan Padang, Banun memesan dua nasi bungkus, nasi bungkus ayam serundeng untuk Prana dan nasi bungkus telur kari untuknya. Sedangkan aku dibiarkannya memilih sendiri makanan yang akan aku jadikan santapan siang ini, gak ada tuh basa basi nawarin aku atau apa gitu. Jadi ya, sudah, aku menunjuk daging cincang juga ikan kembung. Uda penjual nasi dengan cekatan mengambilkan pesananku, menuangkan bumbu-bumbu yang membuat air liurku menetes karenanya. Aku pernah bermimpi ingin memiliki rumah makan juga kafe dan mengelolanya dengan Ibu di kampung. Semoga suatu saat nanti cita-citaku ini dapat terwujud. Aku tau, sebentar lagi, bakal ada pakar kesehatan yang akan mengomentari pesanan makan siangku. “Mbak, sebaiknya hindari makanan berlemak, pilih yang sehat-sehat saja.” Satu menit dua menit, aku sedang menunggu pesananku selesai dibungkus, keluarlah kata-kata itu. Tepat seperti dugaanku, Banun mengomentari pesananku. Maka dengan “Aku makan tau batasan, kok, Nun. Gak gragas, selama dalam batas wajar, kan gak apa-apa, lagipula makanan ini sehat, kok, ya kan Uda?” Uda penjual nasi hanya tersenyum, mengangguk, dan menimpali, “Makan ini mah gak bakal bikin sakit, justru bikin perut kenyang dan bahagia. Yang lebih nyakitin itu, ucapan yang asal keluar dari mulut, tanpa dipikir dulu, dan asal nyeplos. Itu menurut saya, loh. Tenang aja, Mbak, asal dimakan dengan bismillah, dan gak setiap hari juga, makanan ini masih aman.” Banun langsung kicep, terdiam. Aku gak memperdulikan Banun, bagus lah kalo dia merasa gak enak sama omongan Uda ini, karena memang sekali-sekali, orang model banun gini, harus dikasih shock therapy, biar eling sama ucapannya dan lebih berhati-hati. Aku lalu menyerahkan uang kembalian kepadaku. Tiba giliran Banun membayar ke kasir, membawa makanannya juga dengan makanan untuk Prana, dengan langkah riang, entah apa yang ada di pikirannya, bahkan sesekali aku melihatnya tersenyum, ingin aku tanya dia kenapa, senyum-senyum sendiri gitu, tapi sudahlah. Aku kan juga sudah mengetahui, kenapa dia begitu, itu pasti karena dia berhasil menyelesaikan misi yang diberikan Prana kepadanya, membelikan nasi padang dengan lauk ayam serundeng. Rasanya apa pun akan dilakukan Banun untuk Prana, bahkan jika tidak beli nasi padang seperti hari ini, toh Banun sering banget sengaja membawa bekal untuk Prana. Dia sangat perhatian dan perhatiannya itu selalu disambut dengan baik oleh Prana, dengan sangat baik, bahkan. Hal ini pula yang membuatku selalu merasa tidak nyaman. Karena kemarin, secara terang-terangan Prana mendekatiku bahkan beberapa kali nyerempet-nyerempet pernikahan, bahas kehidupan setelah pernikahan, sampai hatiku berloncatan, seperti naik roller coaster. Namun, dia lebih sering tidak menjaga hatinya, seperti sikapnya pada Banun ini, dia tetap saja baik pada semua orang yang berlebihan, dan bahkan menyebabkan orang lain menyalah artikan kebaikan tersebut. Banun salah satunya, yang jelas-jelas terlihat banget salah tingkah dibuat Prana. Sesampainya di kantor, dengan jalan yang dibuat-buat, iya, benar-benar dibuat-buat, bukan sekedar pengelihatanku saja, Banun langsung menuju ke ruangan Prana, “Pak Prana, ini nasi bungkus lauk ayam serundengnya ada, semua sesuai pesanan. O iya, uang Bapak cuma dipake buat bayar makan siang Pak Prana dan saya, Mbak Tania gak mau dibayarin. Ini kembaliannya, makasih, ya, Pak. Ini makan siang pasti deh, rasanya lebih nikmat. Selamat makan siang, Pak.” Prana seperti mau protes, kenapa aku gak mau dibayarin, tapi aku gak nengok ke arahnya, langsung berjalan ke pantry untuk makan di sana. Dan seperti biasa, Prana pasti ngikutin, “Kenapa sih, gak pernah mau dibayarin, harus banget dipaksa dulu, atau dibeliin langsung, biar bisa nraktir kamu, Tan. Ini uangnya halal, loh, hasil kerjaku. Masa orang lain yang nikmatin.” Aku diam, menyendokkan makan siang ke mulutku, tidak mau terprovokasi dengan ucapan Prana. Ucapan Prana ditutup dengan adegan dia duduk di depanku, dan menyendokkan nasi ke mulutnya, dan adegan ini ditutup dengan Prana yang makan sambil melihatku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN